AWAL Februari ini, pemerintahan Jokowi-Ma’ruf (Kabinet Indonesia Maju) telah melewati 100 hari masa kerja. Sebagaimana lazimnya, pemerintahan di semua level, masa 100 hari pertama biasanya dipenuhi janji untuk mencapai target tertentu.
Wajar jika banyak kalangan mengharapkan, di 100 hari pertama pemerintahan Jokowi-Ma’ruf ini ada gebrakan yang signifikan di berbagai bidang, termasuk bidang kesehatan dan ketenagakerjaan.
Dalam sebuah organisasi, lazim adanya quick win program yang biasanya juga menjadi program yang akan segera dilaksanakan dan bisa terlihat hasilnya, yang dalam pemerintahan kemudian sering dijadikan program 100 hari. Agak mengherankan, sejauh ini tidak terdengar secara masif bahwa pemerintahan Kabinet Indonesia Maju memiliki program 100 hari kerja.
Karena itu, sulit mengukur keberhasilan apa yang dilakukan dalam 100 hari kerja Jokowi-Ma’ruf. Padahal, adanya program 100 hari membuat Kementerian bisa melakukan evaluasi atas kinerjanya di awal periode sehingga bisa melakukan perbaikan.
Memuncak persoalan Pembangunan Bidang Kesehatan
Sebagai sorotan, 100 hari pertama Kementerian Kesehatan masih disibukkan dengan urusan defisit yang dialami oleh BPJS Kesehatan sebesar 32T, termasuk tunggakan pembayaran ke Rumah Sakit dan fasilitas kesehatan lainnya yang menembus angka di atas 20T (Nov 2019).
Kementerian Kesehatan periode ini semula diharapkan membawa angin segar kemajuan pembangunan kesehatan. Namun pada akhirnya terjebak pada polemik BPJS Kesehatan, terutama sejak keputusan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang kontroversial karena kenaikannya cukup tinggi.
Berkali-kali rapat marathon dengan DPR terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini tidak menghasilkan keputusan yang menggembirakan rakyat Indonesia. Sejak Presiden mengeluarkan Perpres No. 75 Tahun 2019 tentang kenaikan iuran BPJS pada semua kelas, terjadi penolakan dari rakyat dan Pemda. Hal ini terbukti dengan terjadinya migrasi turun kelas peserta BPJS Kesehatan dari kelas tinggi ke kelas yang lebih rendah.
Walaupun ada upaya dan ide solusi kenaikan iuran BPJS kelas 3 PBPU dan BP dari Menteri Kesehatan yaitu agar kenaikan iuran kelas 3 mandiri bisa ditutupi oleh pemerintah dari surplus kenaikan iuran PBI, namun solusi ini batal direalisasikan hingga kini.
Padahal, solusi ini telah tercatat secara resmi sebagai hasil kesimpulan bersama rapat Komisi IX dengan Kemenkes, BPJS Kesehatan, DJSN dan Dewas BPJS Kesehatan. Sampai sekarang, kesepakatan tersebut masih menunggu pelaksanaannya secara tekhnis oleh BPJS Kesehatan.
Di sisi lain, banyak PR besar di sektor kesehatan yang masih belum teratasi. Belum terlihat gebrakan program untuk mengurangi Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan yang masih tinggi, bahkan nomor dua tertinggi di antara negara ASEAN.
Demikian pula dengan gebrakan untuk mengatasi stunting dimana tingkat stunting di Indonesia masih sekitar 30 persen. Jauh di atas target WHO, yakni 20 persen. Ekonomi yang lesu dan cenderung memburuk membuat upaya mengatasi stunting ini akan semakin sulit. Hasil riset kesehatan dasar tahun 2018 juga menunjukkan bahwa proporsi gizi kurus pada balita dalam 5 tahun terakhir hanya turun 0,1%.
Indonesia juga masih mengalami persoalan dengan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan ketersediaan obat-obatan. Masih ditemui kasus-kasus pasien yang tidak mendapat penanganan dengan baik, peserta BPJS Kesehatan yang harus antri panjang untuk mendapatkan pelayanan, pengurangan jenis tindakan ataupun obat-obatan yang bisa dicover oleh BPJS, kesalahan diagnosis, malpraktek petugas kesehatan dan sebagainya.
Hal ini pula yang menyebabkan pada kalangan menengah-atas lebih memilih berobat ke luar negeri seperti Singapura, Penang (Malaysia) atau Tiongkok. Pelayanan rumah sakit pemerintah juga masih identik dengan antrian yang panjang, kurang ramah dan seadanya. Belum lagi persebaran petugas kesehatan yang masih minim dan kurangnya dukungan bagi paramedis yang bertugas di daerah terpencil.
Belum selesai masalah-masalah di atas, merebak virus corona (2019-NCOV) yang berawal dari Wuhan, Tiongkok. Terlihat bagaimana penanganan pemerintah sempat lambat sehingga meresahkan masyarakat Indonesia ditambah lagi banyak simpang siur berita hoax.
Walaupun Kemenkes sudah melakukan SOP dari WHO, namun karena sosialisasi dan edukasi masyarakat di semua lini dan pelosok tanah air Indonesia yang masih sangat lemah mengakibatkan ketakutan dan kekhawatiran berlebihan di masyarakat. Bahkan pemulangan WNI dari Wuhan dan penempatan masa observasinya di Natuna sempat menimbulkan penolakan warga setempat.
Pahlawan Devisa tanpa Penghargaan
Kinerja 100 hari bidang ketenagakerjaan juga setali tiga uang. Belum ada gebrakan yang spesial dilakukan oleh Kementerian Ketenagakerjaan maupun BNP2TKI untuk memperbaiki persoalan pelik Pekerja Migran Indonesia (PMI).
Dari mulai perlindungan atas pekerja migran yang lemah, pembenahan yang tidak menyentuh sisi hulu awal mula pekerja migran berproses, sampai dengan masalah pelayanan bagi pekerja migram di luar negeri.
Lebih dari 3 juta PMI tersebar di berbagai negara, namun yang tercatat secara legal hanya berkisar 1.785.915 orang
Perubahan fundamental Tata Kelola Perlindungan PMI berdasarkan UU No 17/ 2017, belum bisa berjalan secara optimal karena turunan regulasi dari UU tersebut masih belum tersedia. Sehingga banyak persoalan perlindungan PMI belum dapat diselesaikan bahkan cenderung makin meningkat. Beberapa persoalan di antaranya adalah skema penempatan G to G masih banyak yang lemah di beberapa negara penempatan PMI, moratorium penempatan PMI belum berjalan optimal karena masih banyaknya pintu masuk ke negara penempatan secara illegal dengan visa wisatawan atau ibadah, masih banyak negara-negara tradisional penempatan yang menganggap bahwa PMI hanya bisa bekerja sebagai PLRT atau bekerja di sektor low level dan high risk dan banyak masalah2 lain lagi yang memprihatinkan.
Pekerjaan rumah terkait dengan permasalahan pekerja migran di atas belum banyak dituntaskan. Padahal jika mau, Kementerian Tenaga Kerja dan BNP2TKI bisa menjadikan upaya membenahi persoalan pekerja migran ini sebagai target awal dan program 100 hari bidang ketenagakerjaan, dengan membuat gebrakan pembenahan simpul-simpul kesemrawutan persoalan pekerja migran. Mulai dari upaya perlindungan pekerja migran, penjaringan calon pekerja migran yang mengarah ke penipuan dan human trafficking, nasib keluarga yang ditinggalkan maupun upaya menjadikan remittance dari pekerja migran untuk bisa menggerakan perekonomian keluarga.
Pekerja Migran Indonesia sering disebut sebagai Pahlawan devisa. Menurut Migrant Care, remitansi yang dihasilkan oleh PMI tahun 2019 sdh menembus di angka Rp 169 T. Angka yang sangat spektakuler untuk APBN Indonesia di tengah melemahnya pertumbuhan ekonomi negara kita dan tingginya nilai hutang negara. Namun sangat disayangkan, tak ada penghargaan berarti bagi para PMI dan keluarganya, terbukti dengan semakin meningkatnya persoalan-persoalan di atas yang tak kunjung selesai dari tahun ke tahun
Dinamika Tantangan Pembangunan bisang Ketenagakerjaan
Sementara di dalam negeri, meskipun secara statistik angka pengangguran menurun, namun sesungguhnya banyak “pengangguran nyata” yaitu orang yang bekerja serabutan, terpaksa yang tidak sesuai keinginannya, maupun bekerja tanpa kepastian penghasilan dan pekerjaan lanjutan. Angka penganguran Indonesia di antara negara ASEAN pun hanya lebih rendah dari Brunei Darussalam dan Filipina serta tertinggal dari negara ASEAN lain.
Hal baru yang menonjol dari bidang Ketenagakerjaan adalah mulai disosialisasikannya Kartu Prakerja ke publik dengan target 2 juta peserta dengan anggaran 10 triliun. Namun wujud kartu prakerja ini juga sepertinya jauh dari apa yang dibayangkan oleh para pencari kerja sebagaimana jargon bahwa pencari kerja akan digaji. Atau harapan sebaliknya bahwa kartu pra kerja ini akan mendorong jaminan pekerja mendapat pekerjaan secara jangka panjang dengan gaji memadai.
Insentif yang diberikan kepada para pencari kerja sebesar antara Rp. 3,65 juta sampai Rp. 7,65 juta ternyata akan diberikan dalam empat bentuk yaitu membiayai pelatihan, biaya sertifikasi, insentif pasca pelatihan dan biaya pengisian survey. Insentif dalam bentuk uang tunai hanya diberikan sebesar Rp.500 ribu dan hanya diberikan sekali untuk kebutuhan mencari kerja. Belum lagi potensi masalah yang terjadi pada saat implementasi karena masalah pendataan dan Project Management Office (PMO) dari program ini yang berada di Kementerian Koordinator Perekonomian, bukan Kementerian tenaga Kerja.
Selain itu, sektor ketenagakerjaan juga masih menghadapi masalah-masalah klasik yang tak kunjung terselesaikan. Masih tingginya pekerja unskilled yang menyebabkan mereka sulit masuk ke lapangan kerja formal, atau hanya bisa masuk pasar kerja dengan tingkat upah atau gaji rendah.
Unskilled labour ini pula yang menyebabkan ketika mereka menjadi pekerja migran, hanya bisa masuk pada jenis pekerjaan kasar atau pekerja domestik dengan pendapatan rendah dan rawan muncul masalah ketenagakerjaan. Unskilled labour ini juga dikhawatirkan tidak dapat bersaing dengan masuknya tenaga kerja asing yang cukup deras di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) maupun kesepatan ekonomi global lainnya.
Akhirnya, unskilled labour ini berpotensi menjadi pengangguran baru atau hanya bekerja dengan jam kerja rendah. Sementara pengaturan Tenaga Kerja Asing (TKA) juga masih belum cukup kuat yang menyebabkan masih banyak persoalan dengan keberadaan tenaga kerja asing ini. Dari mulai masuknya TKA illegal, data identitas yang tidak lengkap dan perijinan yang minim, sampai dengan konflik dengan pekerja lokal maupun masyarakat di sekitar lokasi mereka bekerja. Begitu pula dengan TKA asal Tiongkok yang deras masuk sejalan dengan banyaknya proyek infrastruktur yang dibiayai pinjaman Tiongkok maupun investasi dari Tiongkok yang paling banyak menimbulkan permasalahan.
Dari sisi regulasi, persoalan ketenagakerjaan yang dianggap menghambat investasi coba diselesaikan dengan pembentukan Omnibus Law. Namun dari draft yang beredar maupun bahan paparan yang disampaikan pemerintah, pasal-pasal dalam Omnibus Law di bidang ketenagakerjaan ini justru berpotensi menimbulkan persoalan baru yang harus dihadapi dan diselesaikan instansi terkait.
Kalangan pekerja menilai Omnibus Law ini lebih pro kepada pengusaha dan akan semakin mempersulit posisi pekerja. Ketentuan seperti pengupahan, jam kerja, kontrak dan outsourcing, PHK dan pesangon dianggap akan merugikan pekerja. Sementara kalangan pengusaha juga berpendapat pengaturannya juga merepotkan pengusaha dan dikhawatirkan juga tidak menarik bagi investor. Kalangan ekonom sendiri berpendapat bahwa Omnibus Law bidang ketenagakerjaan ini belum memberikan harapan ke arah win-win solution.
Sekali lagi, ini masalah keinginan kuat, sejauh mana Pemerintah dan lembaga yang mengurusi angkatan kerja, pekerja dan pekerja migran ini mau melakukan langkah-langkah strategis pembenahan simpul persoalan di bidang ketenagakerjaan ini. Banyak quick win program yang bisa dibuat berangkat dari permasalahan yang ada, namun 100 hari kerja berlalu begitu saja tanpa gebrakan berarti. (*)