60-an Negara Blokir WNI, Mufida: Mengonfirmasi Kebijakan Covid-19 Belum Tepat

Jakarta — 60-an negara menurut laporan Kementerian Luar Negeri RI menutup pintu bagi masuknya WN Indonesia terkait tingginya angka Covid-19 di Indonesia. Malaysia menjadi salah satu negara yang melarang masuknya WN Indonesia.

Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKS Kurniasih Mufidayati mengatakan, larangan 59 negara terhadap masuknya WNI dengan parameter kasus Covid-19 mengindikasikan penanganan Covid-19 di Tanah Air masih belum berjalan baik.

Ia menyebut Indonesia jelas dirugikan dengan larangan 59 negara bagi masuknya WNI. Kemenlu juga melaporkan berbagai upaya untuk melobi negara-negara yang melarang masuknya WNI.

“Kebijakan 59 negara tersebut mengonfirmasi pendekatan penanganan Covid-19 di Indonesia belum pas. Berbagai lobi juga akan sia-sia kecuali satu hal dilakukan: menurunkan angka konfirmasi positif Covid-19. Tidak ada jalan lain,” terang Mufida dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (9/9/2020).

Mufida menyebut, untuk menurunkan angka konfirmasi positif Covid-19 jelas pemerintah wajib menomorsatukan kepentingan kesehatan diatas kepentingan lain.

“Sekarang secara ekonomi kita berada di jurang resesi, secara kesehatan angka konfirmasi positif dan kematian akibat Covid-19 terus melambung. Bahkan dalam pekan-pekan terakhir angka konfirmasi positif dalam sehari terus memecahkan rekor di atas 3 ribu kasus,” terang Anggota DPR RI Dapil Jakarta II yang meliputi Jakarta Pusat, Jakarta Selatan dan Luar Negeri ini.

Mufida meminta agar kebijakan testing dan tracing secara massif terus dilanjutkan. Ketimpangan rasio tes PCR antara provinsi satu dengan provinsi yang lainnya harus dikurangi. Setelah tes massif digalakkan, pemerintah perlu memperbanyak sarana isolasi mandiri bagi orang terkonfirmasi positif tanpa gejala.

“Sekarang OTG dengan klaster keluarga mulai dominan, tetapi sarana untuk isolasi mandiri belum tersedia secara merata di daerah-daerah. Agar ekonomi juga tetap berjalan, lakukan testing massif, telusuri dan pisahkan yang terkonfirmasi positif. Tentu ini semua menjadi kewajiban pemerintah pusat dan daerah untuk menyediakan sarana yang memadai,” ungkap dia.

Mufida menyebut pemerintah juga perlu mempertimbangkan kembali kebijakan PSBB yang ketat di beberapa wilayah. Ia menyebut, saat ini pemerintah perlu menginjak rem setelah melonggarkan aktivitas masyarakat dan transportasi antarwilayah saat kampanye new normal.

“Sekarang ada jargon umum “asal memakai protokol kesehatan” semua agenda diperbolehkan. Tapi fakta di lapangan tidak ketat memberlakukan protokol kesehatan. Pemerintah perlu menginjak rem terutama di provinsi-provinsi penyumbang kasus konfirmasi terbesar Covid-19,” papar Mufida.