JAKARTA – Maraknya penggunaan vape di tengah masyarakat yang seolah tak bisa disentuh oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) karena alasan kewenangan diharapkan bisa diatasi dengan mengesahkan RUU Pengawasan Obat dan Makanan (RUU POM). RUU POM ini belum selesai dibahas di periode DPR 2014-2019.
Hal itu terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IX DPR RI dengan jajaran Direksi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Selasa (19/11/2019) siang. UU POM diharapkan memberikan payung hukum kepada BPOM, wewenang serta kemandirian dalam penyidikan dan penindakan terhadap produsen obat dan makanan yang nakal.
“UU POM harus mendorong BPOM berani melakukan penyidikan dan penindakan secara mandiri terhadap produsen obat dan makanan yang merugikan masyarakat,” ungkap Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Kurniasih Mufidayati.
Mufida menjelaskan, dengan payung hokum ini, setidaknya BPOM diharapkan bisa melakukan pengawasan terhadap produsen bahan-bahan kimia yang digunakan untuk vape, khusunya produsen liquid untuk vape yang memiliki dampak negatif bagi kesehatan.
“Di tangan BPOM-lah, nasib kesehatan dan keselamatan atas 269 juta jiwa penduduk Indonesia bertumpu. Kenapa? Karena keamanan obat dan makanan berada di bawah tanggung jawab BPOM,” tandasnya.
Karena itu, Mufida berharap, RUU ini segara disahkan dan BPOM bisa segera menindak para produsen yang nakal, siapapun dia, bahkan perusahaan besar sekalipun.
“Saya menitipkan kesehatan dan keselamatan jiwa penduduk Indonesia, yang bersumber dari obat dan makanan kepada BPOM,” tegas Mufida.
Ditambahkan, banyak persoalan dalam peredaran obat dan makanan di Indonesia. Dari kasus makanan dan obat yang lewat masa kadaluwarsa, hingga kasus makanan dan obat yang mengandung zat membahayakan kesehatan.
Data dari Laporan ESO 2015-2018 menunjukkan ada peningkatan kepatuhan industri farmasi dalam melakukan pemantauan keamanan obat. Namun masih berkisar di angka 57% industri farmasi yang patuh ketentuan (laporan BPOM 2018).
“Ini sungguh memprihatinkan,” tegasnya.
Bulan Oktober lalu, lanjut Mufida, BPOM menyatakan menarik 67 merk Obat berbahan Ranitidin yang memiliki kandungan zat pemicu kanker. Dampak penarikan ini dahsyat sekali bagi semua pihak. Masyarakat pengguna obat ini dibuat shock karena ada unsur pemicu kanker dalam Ranitidin. Sementara industri farmasi terkait pasti juga mengalami kerugian.
“Hal ini menimbulkan keresahan. Maka harus dibuat sistem dari hulu ke hilir yang lebih bagus dalam aksi preventif penarikan obat dan makanan yang membahayakan kesehatan serta keselamatan jiwa masyarakat Indonesia,” papar Mufida. (*)