AKHIRNYA, pada tanggal 15 April 2020, Presiden Joko Widodo secara resmi menunjuk Benny Ramdhani menjadi Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) yang baru. Baru diangkat, Benny langsung dihadapkan dengan persoalan besar dan berat.
Jutaan PMI di Malaysia dan negara lain terjangkit Covid 19 menanti perlindungan dari Pemerintah Indonesia. BP2MI wajib melakukan perlindungan PMI yang terdampak pandemi global virus Covid-19. Ketika hampir semua negara di dunia mengalami wabah Convid-19 ini, maka secara langsung hal tersebut berpengaruh terhadap PMI yang bekerja disana. BP2MI ini adalah lembaga yang dibentuk oleh UU No. 18 tahun 2017 tentang Perlidungan Pekerja Migran Indonesia (PMI).
PR yang Tertunda
Berbicara mengenai PMI, tanpa mengecilkan semua langkah yang telah dilaksanakan oleh pejabat terdahulu, BP2MI ini memiliki berbagai Pekerjaan Rumah (PR) tertunda yang banyak dan berat.
Sebut saja tiga hal di antaranya. Pertama, peran BP2MI yang dirasakan belum maksimal, baik dalam masa persiapan, masa pengiriman, masa perlindungan kerja dan masa purna PMI.
Kedua, penjaminan dan perlindungan PMI, terutama asuransi pekerja yang belum menjamin dan memberikan perlindungan kepada PMI. Ketiga, kurangnya BP2MI dalam melakukan koordinasi dan kerjasama dengan negara pengguna jasa PMI.
Kondisi PMI di Malaysia patut diberi perhatian khusus. Ada beberapa alasan yang mendasarinya, di antaranya, karakteristik PMI di Malaysia relatif berbeda dengan negara-negara lain, yaitu sebagian (besar) PMI di Malaysia justru bekerja sebagai pekerja ilegal atau undocumented.
Hal ini dikarenakan beberapa hal, seperti banyaknya pintu masuk non resmi di perbatasan Indonesia-Malaysia, sedangkan kebutuhan pekerja sangat besar dan harapan gaji yang lebih besar dibandingkan bekerja di dalam negeri.
Hal lain, karena belum ada kesepakatan tertulis di antara kedua negara. Informasi terakhir, MoU antara pemerintah Indonesia dengan Malaysia sudah berakhir dan hingga saat ini belum ada perpanjangan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak.
Di satu pihak, jumlah PMI yang besar dan juga sudah berlangsung lama, sedangkan di lain pihak, belum ada dasar hukum antar negara yang mengatur. Hal ini biasanya akan sangat merugikan PMI jika terjadi suatu hal yang berkaitan hukum.
Hal lainnya lagi adalah jumlah PMI di Malaysia sangat besar. Data terakhir, sebanyak 2,5 – 3juta WNI berada di Malaysia, dengan sebagian besarnya adalah PMI (baik yang legal maupun undocumented).
Dengan sejumlah kondisi di atas, sangat realistis jika pada saat ini BP2MI wajib menaruh perhatian lebih besar dan fokus dengan kondisi PMI di Malaysia.
WNI dan Covid-19 di Malaysia
Per tanggal 16 April 2020, Kementerian Kesihatan Malaysia (KKM) merilis data resmi yang menyebutkan ada 108 WNI positif terinfeksi Covid-19. Namun, kalau kita melihat rilis dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI, ternyata datanya amat berbeda.
Kemenlu RI menyatakan bahwa di Malaysia terdapat 44 WNI yang positif Covid-19, dengan 7 dinyatakan sembuh, 35 stabil dan 2 meninggal dunia. Tentu saja perbedaan data ini sangat disesalkan.
Dengan perbedaan data tersebut, maka perlindungan terhadap WNI juga akan terganggu. Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) akan sangat sulit melakukan perlindungan terhadap WNI yang tidak mampu mereka data atau tidak mereka ketahui.
Akibatnya, WNI tersebut tidak akan mendapatkan bantuan dan perlindungan yang selayaknya. Oleh karena itu, perlu didorong adanya kerja sama antar negara dengan negara terkait, dalam hal ini Malaysia, agar data yang disampaikan sama dan sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
Sampai saat ini, BP2MI belum mampu memiliki data yang dapat dijadikan pegangan terkait jumlah PMI yang ada dan bekerja di Malaysia. Jika melihat data PMI yang dirilis oleh BP2MI, akan tampak bahwa data tersebut sangat jauh di bawah data yang sebenarnya ada.
Bahkan, data PMI yang dimiliki oleh KBRI ternyata orangnya sudah tidak ada lagi di Malaysia. Hal ini tampak pada saat dilakukan pemungutan suara dalam rangka Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 lalu. Sebagian besar data pemilih yang tercantum dalam DPT Malaysia, ternyata tidak valid.
Data PMI yg terdata hingga saat ini, di Malaysia, terdapat sekitar 704.175 PMI. Mereka tersebar dan bekerja di berbagai sektor. Di perladangan/plantation tercatat 201.050 PMI, pembinaan (konstruksi) 153.470 PMI, manufacturing/pabrik 139.163 PMI, pekerja domestik 92.405 PMI, pertanian/farming 75.061 PMI, jasa/service 43.026 PMI.
Kondisi PMI di Malaysia di tengah pandemi Covid-19 saat ini sangat memprihatinkan. Malaysia saat ini menerapkan Perintah Kawalan Pergerakan (PKP) yang pada pokoknya adalah kebijakan lockdown di wilayahnya.
Atas kebijakan ini, semua pihak dalam negara Malaysia dilarang untuk melakukan berbagai aktivitas dan pekerjaan yang semestinya mereka lakukan. Akibatnya, banyak PMI yang bekerja sebagai tenaga kerja harian kehilangan mata pencahariannya.
Hal ini ditambah berat dengan kebijakan pelarangan untuk bepergian sehingga menyebabkan adanya kendala dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Dalam hal ini, Pemerintah Malaysia memberikan bantuan langsung bagi warga negaranya, sedangkan bagi warga negara asing, tidak ada bantuan dan jaminan kehidupan sebagaimana warga negara Malaysia.
Dampaknya sangat luar biasa bagi seluruh masyarakat yang ada di Malaysia. Terkhusus bagi WNI (dan PMI), mereka merasakan kondisi yang sangat buruk. Mereka tak memiliki uang dan makanan. Karena sebagian dari mereka tidak terdata oleh pemerintah Indonesia, maka keberadaan mereka juga tidak dapat dijangkau oleh pemerintah Indonesia dalam hal ini KBRI.
Di sinilah tantangan besar yang diemban BP2MI saat ini. Sebagai kepala BP2MI, tugas utamanya adalah memastikan perlindungan bagi PMI dan keluarganya. Perlindungan tersebut mencakup pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia, perlindungan hukum, ekonomi dan sosial. Ini merupakan tugas dan kewajiban langsung BP2MI sebagaimana tercantum dalam UU. Suatu tugas yang amat sangat berat.
Untuk itu, sudah sepatutnya BP2MI, segera melakukan hal-hal sebagai berikut.
Pertama, menjalin kerjasama yang erat dengan pihak KBRI, serta bersama dengan Kemenlu RI segera melakukan pembicaraan bilateral dengan pihak negara Malaysia.
Kedua, menjalin kerja sama dengan berbagai lembaga kemanusiaan, lembaga sosial masyarakat yang selama ini berjuang dan beroperasi di Malaysia, sehubungan dengan perlindungan terhadap PMI.
Ketiga, segera mendorong pemerintah Malaysia untuk secepatnya melakukan pembicaraan dan penandatanganan kerja sama antar negara terkait PMI.
Keempat, segera menolong PMI yang saat ini sedang menderita di negara tetangga
Hal ini sangat diperlukan sebagai dasar bagi pemerintah Indonesia dan PMI sebagai bagian dari perlindungan baik di bidang ketenagakerjaan maupun aspek lainnya.
*Selamatkan PMI di Malaysia : Marwah Bangsa *
Sedang langkah mendesak yang harus segera dicarikan jalan keluarnya saat ini juga adalah melakukan kesepakatan dengan pemerintah Malaysia agar dapat menjangkau dan memberikan bantuan kemanusiaan bagi seluruh PMI dan WNI yang ada dan sedang dalam kondisi yang memprihatinkan. Sejumlah sumber menginformasikan bahwa PMI banyak yang sudah kesulitan makanan. Ada yang 2 hari sekali makan.
Harapannya, selain pemerintah Indonesia (melalui KBRI), pemerintah Malaysia juga dapat memberikan izin dan keleluasaan bagi berbagai lembaga kemanusiaan untuk memberikan bantuan bagi masyarakat Indonesia di Malaysia. Karena banyak lembaga yang ingin membantu tapi kesulitan dalam perijinan dan hal lainnya
Langkah lain yang bisa dilakukan adalah BP2MI menjemput PMI pulang kembali ke Indonesia, jangan biarkan PMI hidup terlunta di negara tetangga
Selain itu, BP2MI juga harus segera bekerja sama dengan KBRI agar dapat membujuk pemerintah Malaysia untuk memberikan jaminan perlindungan hukum bagi PMI, terutama dalam hal jaminan penggajian yang seharusnya diterima oleh PMI agar tetap dapat diterima.
Hal ini sangat penting karena banyak keluarga yang sangat berharap dan bergantung kepada keluarganya yang bekerja di Malaysia.(*)