INDONESIA menjadi salah satu negara yang paling menjadi sorotan dunia internasional dalam pandemi global Covid-19 ini. Di awal pandemi, beberapa negara dan badan internasional seperti WHO dan lembaga penelitian menyoroti Indonesia karena dianggap tidak serius dalam menghadapi wabah Covid-19. Saat wabah kian meluas, Indonesia disorot karena banyaknya dokter dan paramedis meninggal dunia.
Jumlah resmi orang yang positif terpapar Covid-19 ini 6.575 -an orang (data Minggu 19 April 2020). Dari sisi rasio jumlah dokter dan paramedis yang meninggal akibat terpapar covid-19 terhadap jumlah orang teridentifikasi positif Covid-19, Indonesia menempati urutan teratas.
Padahal para dokter dan paramedis ini menjadi andalan utama dan pejuang di garis terdepan dalam menghadapi wabah Covid-19. Pada saat yang sama, mereka juga menjadi orang yang paling berisiko terpapar SAR Cov-2 ini dari pasien yang ditangani.
Hingga pertengahan April 2020 atau 1,5 bulan setelah Presiden mengumumkan kasus pertama Covid-19 di Indonesia, Serikat Pekerja Farmasi mencatat, sampai 12 April 2020, 44 tenaga medis yang gugur dalam menjalankan tugas merawat pasien covid-19 ataupun tertular ketika menangani pasien umum yang ternyata positif covid-19. Jumlah ini terdiri dari 32 dokter dan 12 perawat di berbagai fasilitas kesehatan (faskes) di seluruh wilayah.
Tenaga medis yang meninggal ini tidak mengenal usia dan kualifikasi dokter. Dari guru besar kedokteran maupun kesehatan masyarakat yang sudah senior, sampai dengan dokter yang masih muda yang sedang menjalani program pendidikan dokter spesialis (PPDS).
Dari dokter spesialis sampai dengan dokter umum, bahkan juga dokter gigi. Dari perawat yang merawat langsung pasien sampai dengan petugas di laboratorium yang harus menangani spesimen sampel pasien Covid-19.
Kegagalan Mencukupi Kebutuhan APD
Kurangnya Alat Pelindung Diri (APD) yang dibutuhkan oleh paramedis yang menangani langsung pasien Covid-19 di berbagai rumah sakit dan faskes awalnya menjadi penyebab utama terpaparnya dokter dan petugas medis. Jumlah pasien yang semakin banyak di awal-awal kasus tidak diimbangi dengan penyediaan APD yang mencukupi.
Padahal, semua dokter, perawat dan petugas lain sampai dengan petugas Cleaning Service yang membersihkan ruangan perawatan pasien Covid-19 harus menggunakan APD agar terhindar dari tertular virus SAR Cov-2 ini.
APD tersebut bersifat sekali pakai. Sehungga dibutuhkan banyak APD seiring dengan semakin banyaknya pasien. Sayangnya, pemerintah justru lamban dalam penyediaan APD ini. Bahkan, ada APD yang justru (diizinkan) diekspor ke luar negeri. Ironisnya, hal ini baru diketahui publik setelah Indonesia mendatangkan APD dari luar negeri yang ternyata buatan Indonesia.
Minimnya dukungan APD maupun perlengkapan lain yang disediakan pemerintah membuat akhirnya berbagai komponen masyarakat menggalang dana untuk membantu penyediaan APD bagi paramedis. Satu sisi, langkah ini patut disyukuri dengan munculnya kembali semangat gotong royong dan saling bantu di berbagai elemen masyarakat untuk mendukung para pejuang garda terdepan melawan Covid-19 ini. Namun, di sisi lain ini merupakan tamparan bagi pemerintah karena gagal dalam mempersiapkan diri untuk memberikan dukungan bagi kerja paramedis ini menghadapi wabah Covid-19.
Pemerintah bahkan lambat bereaksi dalam memenuhi kebutuhan APD ini sehingga banyak jatuh korban tenaga medis yang harus berjuang di tengah semakin banyaknya orang yang terpapar virus, sampai diri mereka sendiri ikut terpapar dan akhirnya gugur.
Korban tenaga medis yang harus gugur menghadapi wabah covid-19 ini semakin meningkat ketika pemerintah juga gagal membendung penyebaran Covid-19 keluar ke berbagai daerah. Sejalan dengan semakin meluasnya penyebaran Covid-19 ini ke berbagai daerah, maka resiko bagi petugas medis untuk terpapar Covid-19 ini semakin tinggi mengingat ketersediaan APD di daerah-daerah tidak sebaik di Jakarta.
Jika di Jakarta saja, pada 8 April 2020 Pemda DKI menyebutkan ada 130 tenaga medis yang terpapar covid-19, maka di daerah-daerah dengan peralatan dan APD yang lebih terbatas, potensi paramedis yang terpapar bahkan sampai meninggal dunia semakin besar.
Jika di awal-awal korban meninggal dunia dari paramedis akibat covid-19 ini masih banyak terjadi di Jakarta dan sekitarnya, maka kini korban meninggal dunia dari paramedis ini sudah menyebar ke berbagai daerah dan kota kecil di luar Jawa. Terakhir, tanggal 16 April 2020 lalu terkonfirmasi 57 petugas medis di RS Dr. Karyadi Semarang tertular SARS Cov-2 ini.
Pasien yang Tidak Jujur
Faktor kedua yang menyebabkan banyak paramedis terpapar dan sampai meninggal dunia adalah pasien yang tidak jujur terhadap riwayat kontaknya dengan orang yang positif Covid-19 maupun berstatus PDP. Pasien yang datang dengan gejala sakit ringan atau menunjukkan gejala ringan Covid-19 banyak yang tidak jujur pernah melakukan kontak dengan orang yang positif Covid-19, PDP maupun baru saja melakukan perjalanan ke daerah atau negara yang banyak terpapar Covid-19 saat datang dan diperiksa di faskes.
Akibatnya, petugas medis memperlakukannya sebagai pasien biasa dan tidak dengan protokol penanganan pasien Covid-19, termasuk dalam pemakaian APD. Padahal, sang pasien ternyata sudah terpapar SARS Cov-2 dan kemudian menularkannya ke petugas medis.
Hal ini pula yang menyebabkan paramedis yang terpapar tidak hanya dari paramedis yang bertugas langsung menangani pasien Covid-19, namun juga paramedis di IGD, menangani pasien umum dan lainnya. Pada kasus penularan yang dialami oleh dokter dan petugas medis lain di RS Dr. Karyadi Semarang, banyak berasal dari pasien yang tidak jujur ini.
Ketidakjujuran pasien itu sendiri disebabkan masih adanya anggapan bahwa terpapar Covid-19 adalah aib yang tidak boleh diketahui orang lain, karena akan dijauhi orang lain. Akibatnya dia berusaha menyembunyikan statusnya.
Faktor lain adalah masih kurangnya pemahaman tentang siapa saja yang bisa berstatus sebagai ODP atau PDP yang diakibatkan oleh kontak langsung dengan yang positif Covid-19. Di samping itu, masih banyak masyarakat yang belum paham bahwa orang yang terinfeksi covid-19 tidak selalu menunjukkan gejala sebagaimana banyak yang diinformasikan. Sehingga saat mengalami sakit ringan dan datang ke rumah sakit atau faskes, tidak menggunakan masker dan tidak diperlakukan sebabagu suspect covid-19.
Dalam kondisi seperti ini, pemerintah perlu lebih gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang bahayanya penularan Covid-19 dari Orang Tanpa Gejala (OTG) yang bisa menularkannya kepada orang lain terutama tenaga medis.
Pemerintah juga perlu lebih gencar menghimbau agar semua pasien jujur dalam menyampaikan riwayat kesehatan, riwayat perjalanan dan riwayat kontak dengan orang berstatus PDP atau positif Covid-19 pada saat datang atau berobat ke faskes dan memakai masker. Kampanye pemakaian masker bagi orang yang sehat pun perlu lebih digencarkan karena setiap orang berpotensi menjadi carier.
Gugurnya Tenaga Medis Adalah Kehilangan Besar
Jumlah tenaga medis yang meninggal dunia saat menjalani tugas penanganan pasien Covid-19 maupun tertular dari pasien umum, hendaklah tidak dilihat sebagai sebuah catatan statistik belaka. Gugurnya tenaga medis ini adalah sebuah kehilangan yang teramat besar.
Bahkan, ketika ada tenaga medis yang sakit atau terpapar yang menyebabkan dirinya harus menjalani isolasi saja, maka berkurang tenaga medis yang harusnya tersedia di RS dan faskes untuk menangani pasien covid-19 selama minimal 14 hari, yang berarti juga beban kerja yang lain bertambah berat.
Gugurnya dokter dan tenaga medis dalam menangani pasien Covid-19 menjadi sebuah kehilangan besar karena sangat tidak mudah untuk mencetak dokter, perawat, petugas laboratorium dan paramedis baru lainnya di negara kita yang kapasitas sumber daya manusianya belum sepenuhnya maju.
Di samping membutuhkan waktu yang lama untuk mencetak dokter, perawat atau petugas laboratorium, pendidikan kedokteran, keperawatan dan tenaga kesehatan masih belum sebanyak pendidikan di bidang lain. Orang-orang yang bisa menempuhnya juga masih terbatas dan tidak banyak karena fakor kesulitan kemampuan kecerdasan maupun kemampuan biaya.
Karena itu, gugurnya tenaga medis dalam jumlah yang besar di Indonesia merupakan sebuah musibah besar bagi dunia kesehatan dan medis di negeri kita.
Kegagalan dalam penyediaan APD untuk melindungi dokter dan paramedis dari paparan covid-19 harusnya tidak boleh terjadi. Apalagi jika kemudian sampai menyebabkan bergugurannya tenaga medis yang sangat dibutuhkan dalam perang melawan Covid-19 ini.
Kekurangan APD yang sangat dibutuhkan oleh paramedis di semua RS yang menangani pasien covid-19 ini juga tidak boleh berlanjut. Adanya OTG dan pasien yang tidak jujur membuat kebutuhan APD ini juga tidak hanya untuk RS rujukan atau yang menangani pasien Covid-19, namun juga pada semua RS dan faskes yang menyediakan layanan kesehatan.
Amanat Undang-Undang
Jika ditilik lebih jauh, jaminan penyediaan APD untuk para petugas medis adalah amanat Undang-Undang. Dalam UU No. 26 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, pada pasal 57 di huruf (d) disebutkan bahwa salah satu hak tenaga medis dalam menjalankan tugasnya adalah memperoleh pelindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai agama.
Demikian juga dengan kejujuran informasi dari pasien yang dilayani juga menjadi hak tenaga medis sebagaimana disebutkan dalam huruf (b) yaitu memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari Penerima Pelayanan Kesehatan atau keluarganya.
Dalam kondisi perang melawan wabah Covid-19 yang semakin berat ini, bahkan para dokter dan tenaga medis ini tidak hanya membutuhkan perlindungan terhadap dirinya dalam bertugas. Para tenaga medis ini juga membutuhkan perlindungan terhadap keluarga yang ditinggal.
Para keluarga yang ditinggal ini bukan hanya berpotensi tertular dari para tenaga medis saat mereka pulang ke rumah, namun juga membutuhkan dukungan psikologis, rasa aman dan rasa tenang pada saat anggota keluarganya bertugas di rumah sakit dan faskes lainnya.
Sudah banyak ungkapan hati yang disampaikan oleh para tenaga medis yang bertugas tentang kerinduan pada anggota keluarga, kekhawatiran akan keselamatan, perlindungan dan kondisi psikologis keluarga yang ditinggalkan.
Tidak jarang juga mereka mendapatkan kecurigaan dari lingkungan tempat tinggalnya akan menularkan virus SAR Cov-2 ini di lingkungannya, karena aktivitas anggota keluarga di RS dan faskes yang menjadi pusat penyebaran virus.
Oleh karena itu, para dokter dan tenaga medis bukan hanya membutuhkan perlindungan fisik dari paparan Covid-19, namun juga perlindungan psikis agar lebih tenang dan fokus dalam menjalankan tugas berat ini.
Karena itu pula, perlindungan yang paling dasar adalah melalui penyediaan APD lengkap untuk mereka menjalankan tugas mulia ini, tidak boleh lagi terabaikan. Jangan sampai semakin bertambah lagi tenaga medis yang harus gugur dalam menjalankan tugas perang semesta melawan Covid-19 ini.
Pembagian shift kerja juga harus lebih diatur agar tidak terjadi kelelahan. Selain itu, asupan nutrisi dan kenyamanan tempat istirahat harus terpenuhi secara optimal.
Perhatian pemerintah harus menyeluruh kepada seluruh dokter dan tenaga kesehatan, baik yang bertugas melayani pasien Covid-19 maupun yang melayani pasien non Covid-19.
Menurut data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, tenaga kesehatan yang menjadi korban selama masa pandemi ini, sebagian besar adalah tenaga kesehatan yang justru melayani pasien non Covid-19. Bayaknya pasien tanpa gejala, membuat tenaga kesehatan tidak tahu bahwa pasien yang dilayani atau dirawat ternyata sudah terjangkit Covid-19.
Maka perlu ada SOP dalam pelayanan pasien non Covid 19 tanpa harus menimbulkan ketakutan pasien dan tanpa mengurangi hak layanan berobat pasien. Pemeriksaan Covid-19 bagi pasien yang akan berobat bisa menjadi solusi bagi keamanan pasien maupun tenaga kesehatan.
Sejauh ini, belum ada kebijakan spesifik bagi perlindungan tenaga medis yang bertugas dalam menghadapi wabah covid-19 ini. Arahan dan kebijakan lebih banyak berasal dari organisasi profesi dari paramedis tersebut.
Sementara Kemenkes hanya meminta agar para dokter yang dibutukan untuk menangani wabah Covid-19 ini untuk mengurangi jam praktik, yang berimplikasi pada menurunnya pasien yang mendapat pelayanan dari dokter.
Kebijakan pemerintah paling mudah dilihat dari alokasi anggaran dalam rangka menghadapi wabah Covid-19 ini secara nasional. Kemenkes telah mengajukan anggaran tambahan dalam APBN-P untuk penanganan Covid-19 ini sekitar Rp. 70-75 Triliun.
Namun, dari total anggaran ini, alokasinya masih didominasi untuk upaya pengobatan. Sebanyak 63,7 persen dari anggaran tersebut, yaitu untuk klaim pembiayaan kesehatan serta penyediaan obat dan farmasi.
Sementara alokasi anggaran untuk penyediaan APD dan logistik kesehatan lainnya hanya sekitar 16 – 17 persen dari total anggaran serta insentif untuk tenaga medis dengan alokasi 7 – 8 persen.
Dari sisi alokasi anggaran ini, baik yang berasal dari refocusing anggaran maupun tambahan anggaran, harus dihitung ulang secara lebih detil dan rinci dengan proyeksi anggaran untuk situasi terburuk pandemi di Indonesia, walau kita tidak berharap hal ini terjadi. Anggaran harus dapat mencukupi dan memberikan dukungan bagi pelayanan pasien Covid-19 dan non Covid-19, juga untuk perlindungan tenaga medis.
Harus dipastikan ketersediaan alokasi anggaran yang besar untuk pengadaan APD, alkes, obat dan logistik lainnya. APBN-P juga untuk insentif tenaga medis yang harus mengurangi jam prakteknya.
Anggaran menjadi kunci penting dalam perlindungan tenaga kesehatan. Menjadi hal yang sangat penting saat ini adalah realisasi segera dari alokasi anggaran tersebut dengan mendahulukan anggaran untuk pengadaan APD yang sangat dibutuhkan oleh para dokter dan tenaga medis lain. (*)