Akhirnya RUU Cipta Kerja disahkan menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna dadakan pada hari senin (5/10) malam lalu. Penetapannya dalam rapat Badan Lesgislasi untuk pengambilan keputusan tingkat pertama juga dilakukan pada tengah malam pada sabtu (3/10) sehingga tidak banyak diketahui publik. Penetapan RUU Cipta Kerja sebagai Undang-Undang ini terkesan sangat tergesa-gesa karena masih banyak pasal-pasal yang kontroversial dan mendapat banyak penolakan khususnya terkait dengan lingkungan dan ketenagakerjaan. Penolakan bukan hanya dari kalangan pekerja, namun juga dari kalangan akademisi dan LSM yang menganggap omnibus law ini kebablasan dan tidak sesuai dengan tujuannya untuk menciptakan lapangan kerja. Wajar kemudian ketika akhirnya RUU ini “dipaksakan” untuk disahkan, kritik, penolakan bahkan demonstrasi untuk menolak UU Cipta Kerja ini langsung deras.
Bermasalah Sejak Awal
UU Cipta Kerja ini bisa dikatakan bermasalah dan banyak kontraversi sejak awal diusulkan. Pertama kali diusulkan dengan nama RUU Cipta Lapangan Kerja dengan konsep sebagai sebuah Omnibus Law yaitu suatu produk hukum undang-undang yang membatalkan atau mengubah pasal-pasal dari undang-undang lain yang terkait dengan tema dari Omnibus Law tersebut. Dalam konteks RUU Cipta Kerja ini, cukup banyak Undang-Undang dan peraturan yang diubah atau dihapuskan isinya dengan Undang-Undang ini. Dari sisi bentuk, Omnibus Law menjadi kontraversi karena model omnibus ini biasanya digunakan di negara-negara yang menganut azas atau sistem common law. Sementara Indonesia bukan penganut common law dan dalam sejarah hukum Indonesia juga belum pernah mengeluarkan produk hukum sejenis Omnibus Law ini.
Kontraversi berikutnya adalah tidak transparannya proses perencanaan dan penyiapan dari RUU ini. Publik hanya mendengar isu tentang omnibus law ini tapi tidak pernah mengetahui konsep muatan maupun naskah akademiknya. Berikutnya justru yang muncul adalah beredarnya banyak versi dari draft RUU yang kemudian dibantah oleh pemerintah bahwa yang beredar itu adalah bukan draft RUU Cipta Lapangan Kerja. Sejak dibahas pada akhir 2019, berbulan-bulan kemudian drafnya baru dibuka ke publik usai presiden mengirimkan surat disertai naskah akademik dan draf UU pada 7 Februari 2020. Tidak transparannya proses penyaipan juga terlihat dari minimnya pelibatan partisipasi publik dalam proses penyusunan naskah RUU ini seperti dalam dengar pendapat publik ataupun mengundang para pakar untuk dimintai pendapatnya dalam proses penyusunan RUU. Pelibatan publik dalam proses penyusunan lebih banyak bersifat klaim saja atau lebih didominasi unsur pengusaha tanpa partisipasi nyata dari stakeholder seperti kalangan pekerja, serikat pekerja dan akademisi dalam satgas yang dibuat Kementerian Perekonomian. Di dalam satgas yang dibuat oleh pemerintah misalnya tidak terlihat ahli di bidang ketenagakerjaan dan lingkungan. Publik juga terbatas aksesnya terhadap dokumen RUU dan baru tersedia setelah RUU tersebut selesai dirancang oleh pemerintah dan diserahkan ke DPR.
Dari sisi kerangka muatan peraturan, Omnibus Law Cipta Kerja ini juga menyalahi beberapa prinsip hukum peraturan perundang-undangan. Omnibus lLw Cipta Kerja ini dalam beberapa bagian menghidupkan kembali aturan yang sudah dimatikan oleh Mahkamah Konstitusi dalam produk hukum sebelumnya karena tidak sesuai dengan konstitusi. Omnibus Law ini bahkan lebih dahsyat lagi karena menghapuskan aturan di banyak Undang-Undang. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menyebutkan setidaknya Omnibus Law ini “menghapuskan” lebih dari 400 peraturan yang sudah ada sebelumnya.
Diakui atau tidak, ada rasa tidak percaya diri dan keyakinan yang kuat di pemerintah terkait pengajuan RUU ini. Selain dari lambatnya pengajuan draft resmi yang bisa dibuka ke publik, ketidakpercayaan diri ini setidaknya terjadi dalam dua hal. Pertama, dari sisi penamaan, awalnya RUU ini bernama Cipta Lapangan Kerja. Karena isinya yang dinilai lebih banyak merugikan pekerja dan berpotensi menimbulkan dampak lingkungan, maka berbagai kalangan membuat akronim dari RUU Cipta Lapangan Kerja ini sebagai RUU Cilaka. Karena konotasi negatif dari akronim ini (meskipun berasal dari publik) maka kemudian pemerintah mengganti namanya menjadi RUU Cipta Kerja atau sering disingkat Ciker atau Ciptaker.
Kedua, dalam draft awal RUU ini terdapat klausul bahwa pemerintah pusat bisa mengubah Undang-Undang di luar wewenang Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) dan tidak wajib mendapat persetujuan DPR. Tentu saja klausul ini banyak mendapat kritik keras dari berbagai kalangan. Kemudian pemerintah menghapus klausul tersebut dengan alasan “salah ketik”. Alasan yang tentu saja sulit diterima karena ini bukan salah dalam satu kata, tapi kesalahan yang sangat substansif. Justru terkesan pemerintah ingin mengelabui publik dan DPR dengan adanya klausul ini di tengah tebalnya draft RUU ini
Substansi yang Tidak Menjawab Persoalan
Sesuai namanya, RUU ini bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja melalui peningkatan investasi yang masuk ke Indonesia dengan melakukan pemangkasan beberapa aturan yang dianggap menghambat investasi. Namun alih-alih membuat pasal-pasal yang sesuai dengan tujuan tersebut. Muatan RUU ini dalam hal perizinan justru sangat terkesan mengembalikan ke sentralisasi perizinan dan menarik kembali kewenangan daerah dalam mengeluarkan perizinan yang terkait dengan investasi dan usaha. Padahal kebijakan perijinan terpadu satu pintu yang selama ini sudah dikembangkan di daerah-daerah, bertujuan untuk menyederhanakan perijinan usaha dan investasi.
Meskipun bernama RUU Cipta Kerja, isi UU ini memuat banyak hal diluar pengaturan tentang tenaga kerja seperti minerba, eksplorasi sumberdaya alam, lingkungan dan juga pemerintah daerah. Ini terutama karena banyak sekali perijinan yang diubah pengaturannya dalam RUU Cipta Kerja. Bahkan melalui RUU Cipta Kerja ini, pemerintah terkesan ingin mengubah beberapa aturan yang sebelumnya gagal dilakukan perubahan dalam perundang-undangan masing-masing sektor, karena adanya penolakan dari publik. Istilahnya sekali jaring berbagai kepentingan pemerintah bisa tercapai meskipun memiliki dampak yang banyak.
Sesungguhnya dalam konteks iklim investasi yang kondusif, berbagai regulasi sudah diterbitkan setidaknya dalam 15 tahun terakhir. Upaya memangkas birokrasi perijinan juga sudah dibuat, termasuk mengembangkan sistem informasi untuk menyederhanakan proses perijinan investasi. Hal yang dibutuhkan oleh investior adalah kepastian hukum atas berbagai regulasi yang sudah dibuat serta membuat regulasi dengan kualitas yang baik. Rencana membuat Badan Pusat Legislasi Nasional (BPLN) juga sejatinya diarahkan untuk terbentuknya suatu sistem manajemen regulasi (regulatory management systam) untuk memastikan dihasilkannya regulasi yang berkualitas dan kepastian atas berjalannya regulasi tersebut. Alih-alih mewujudkan gagasan tersebut, pemerinah justru memilih untuk menerbitkan omnibus law.
Menurut pendiri PSHK Bivitri Susanti, pilihan untuk mengeluarkan Omnibus Law sebetulnya tidak menyentuh akar permasalahan regulasi di Indonesia. Pendekatan yang digunakan melalui penghapusan, pencabutan atau pembatalan pasal-pasal dari lebih 80-an Undang-Undang dan peraturan lain, mungkin saja akan memperbaiki keadaan dalam jangka pendek. Namun dalam jangka panjang akan menimbulkan persoalan yang lebih besar. Akar masalah dalam hal meningkatkan investasi di Indonesia justru tidak disasar dalam Omnibus Law tidak mampu mencapai itu. Hal ini terbukti dengan terjadinya bongkar pasang muatan pasal-pasal maupun sektor/klaster yang diatur dalam akhir-akhir pembahasan RUU Ciptaker ini. Hal terpenting dalam reformasi regulasi adalah kualitas substansi regulasi, dan itu tak akan tercapai tanpa adanya sistem manajemen regulasi.
Sementara dalam kasus RUU Cipta Kerja ini, pembahasan bahkan dilakukan sangat tergesa-gesa. Sejak disampaikan draft RUU oleh Presiden pada Februari, praktis hanya dalam waktu 7 bulan RUU ini dibahas, bahkan ditengah situasi pandemi covid-19 yang mengahruskan dilakukannya pembatasn berbagai kegiatan. Berbagai penolakan dari berbagai kalangan, kritik dari LSM, aktivis dan akademisi maupun diajukannya draft sandingan dari kalangan pekerja juga nyaris diabaikan demi mengejar waktu untuk segera disahkan. Dalam kondisi demikian, bagaimana bisa membuat regulasi yang berkualitas.
Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM sendiri menilai RUU Cipta Kerja bukan solusi atas persoalan regulasi yang ada di Indonesia. Banyak pendelegasian wewenang yang terdapat dalam RUU ini tidak mencerminkan simplifilkasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan. Secara substansi RUU Cipta Kerja mengarah pada sentralisasi kekuasaan yang rentan terhadap potensi korupsi. RUU ini juga memberikan kewenangan yang besar kepada pemerintah pusat yang dapat mengurangi desentralisasi di Indonesia
Muatan peraturan yang paling banyak mendapat kritikan dan penolakan justru pada klaster ketenagakerjaan. Alih-alih ingin menciptakan lapangan kerja, muatan RUU justru melemahkan tigal prinsip dalam hukum ketenagakerjaan yaitu adanya kepastian pekerjaan (job security), jaminan pendapatan (income security) dan kepastian jaminan sosial (social security). RUU Cipta Kerja dinilai justru sangat kurang memberikan perlindungan bagi pekerja, bahkan sangat mengurangi kesejahteraan yang selama ini didapat oleh pekerja.
Kalangan pekerja sendiri mencatat setidaknya ada 12 point penting muatan pengaturan yang sangat merugikan pekerja seperti dikuranginya pesangon untuk pekerja, dan bahkan sebagiannya dibebankan ke pemerintah, dihapuskannya upah minimum sektoral dan ditetapkannya persyaratan untuk UMK, berkurangnya cuti, kemungkinan penerapan upah per jam yang bisa menguraangi penghasilan pekerja, dihilangkannya pembatasan jenis pekerjaan yang bisa dilakukan dengan outsourcing, kontrak kerja yang bisa berlaku seumur hidup sehingga bisa menutup kesempatan untuk menjadi pekerja tetap, sampai dengan mudahnya dilakukan pemutusan hubungan kerja dan sebaliknya kemudahan bagi tenaga kerja asing untuk masuk dan bekerja di Indonesia. Wajar kalau UU Cipta Kerja ini justru mendapatka penolakan keras dari kalangan pekerja dan belum tentu memberikan harapan bagi calon pekerja karena investor punya hitungan lain untuk berinvestasi di Indonesia.
Pengesahan Yang Dipaksakan
Kesan terburu-buru dan dipaksankan dari penetapan RUU Cipta Kerja untuk menjadi Undang-Undang sudah terlihat sejak 2 bulan terakhir. Bahkan ketika Indonesia sedang mengalami kenaikan kasus baru covid-19 yang tinggi dalam sebulan terakhir, pemerintah sudah yakin bahwa RUU ini bisa ditetapkan di awal Oktober. Berbagai penolakan yang terus muncul bahkan juga pembahasan pasal-pasal yang masih alot tidak mengendorkan keyakinan bahwa RUU ini bisa segera. Perdebatan bahkan bukan hanya pasal, namun sampai pada tingkat klaster dengan permintaan untuk mengeluarkan beberapa klaster seperti klaster pendidikan dan klaster ketenagakerjaan agar tidak masuk dalam RUU Cipta Kerja.
Dengan target untuk mempercepat pengesahan, maka berbagai keganjilan pun muncul menjelang dan setelah RUU ini ditetapkan oleh DPR. Dengan dalih bahwa sedang dalam kondisi pandemi covid-19, alih-alih menunda pembahasan, justru memaksakan untuk terus melakukan pembahasan secara tertutup dimana perkembangan hasil-hasil pembahasan juga tidak didistribusikan ke publik. Partisipasi publik dalam pembahasan menjadi semakin tertutup sebagaiman yang terjadi pada awal perancangan
Ketika masih ada isu bongkar pasang muatan peraturan seperti keinginan agar klaster pendidikan dan klaster ketenagakerjaan dikeluarkan dari RUU ini serta isu bahwa pekerja migran akan masuk dalam RUU Cipta Kerja ini, tiba-tiba pembahasan di Badan Legislatif dikatakan sudah hampir final. Bahkan ketika pembahasan pasal-pasal di klaster ketenagakerjaan masih alot dan banyak penolakan, tiba-tiba saja sudah akan rampung dibahas di tingkat 1. Sampai akhirnya kemudian pengesahan di tingkat 1 dilakukan pada Sabtu (3/10). Beberapa keganjilan yang muncul dalam pengesahan di tingkat pertama ini adalah selain disahkan di tengah malam yang membuat publik luput mengawasi, juga dalam prosesnya tidak dilakukan pembacaan naskah RUU yang akan ditetapkan. Karena draft final yang masih tertutup pula yang menyebabkan tidak dilakukannya penandatanganan naskah RUU sebelum diambil keputusan untuk melanjutkan pada pembicaraan tingkat 2.
Keganjilan juga terjadi pada pengesahan dalam persetujuan tingkat 2 di Paripurna. Dimulai dari undangan yang sangat mendadak dan dipaksakan untuk disahkan pada hari Senin (5/10) sebelum adanya demontrasi buruh pada Selasa (6/10). Pada saat paripurna untuk pengesahan RUU menjadi UU pun, anggota DPR yang menghadiri paripurna tersebut tidak memegang naskah dari RUU yang akan disahkan menjadi UU yang harusnya ada di tangan mereka. Draft RUU yang tebal dan tim administrasi yang kurang siap dalam penyiapan materi yang menjadi alasan tidak dibagikannya RUU tersebut, justru menjadi pertanyaan mengapa RUU ini tergesa-gesa disahkan. Apalagi masih dalam suasana pandemi dan banyak anggota Baleg yang terpapar covid-19.
Ketidakwajaran lain adalah meskipun ada penolakan terhadap RUU Cipta Kerja ini oleh beberapa fraksi sampai dengan penetapan di tingkat 1, namun tidak diberikan kesempatan untuk melakukan pemungutan suara (voting) secara individu untuk pengambilan keputusan pengesahan. Sikap fraksi sudah dianggap sebagai sikap individu anggota. Padahal dalam beberapa RUU lain sebelumya, dilakukan pengambilan keputusan dengan voting individu jika masih ada penolakan terhadap RUU yang akan disahkan.
Keganjilan lain adalah masih sulitnya UU yang sudah disahkan ini untuk diakses oleh publik. Sampai 2 hari setelah disahkan oleh DPR, publik masih sulit mengakses dokumen tersebut. Apalagi kemudian muncul pernyataan dari Sekretaris Jenderal DPR dan juga pimpinan Baleg menyatakan bahwa masih akan dirapikan yang menjadi alasan belum bisa diaksesnya rancangan final UU yang sudah disahkan. Padahal dalam RUU lainnya, publik bisa segera mengakses dokumen UU yang sudah disahkan. Menurut pakar hukum, tindakan merapikan naskah setelah UU disahkan dalam rapat paripurna menunjukkan adanya cacat formal. Lagi-lagi jumlah halaman yang sangat banyak menjadi alasan bahwa diperlukannya proses perapihan setekah disahkan. Lalu mengapa pengesahan RUU yang sudah menjadi kontraversi ini dilakukan terburu-buru, penetapan di tingkat 1 dilakukan di tengah malam dan paripurna untuk pengambilan keputusan tingkat 2 terkesan mendadak ? Apalagi kita masih dalam masa pandemi covid-19 dengan angka kasus harian yang masih tinggi