Jakarta — Anggota Komisi IX DPR F-PKS Kurniasih Mufidayati menyayangkan pemotongan insentif bagi tenaga kesehatan (nakes). Pemotongan insentif sangat ironis ditengah angka kasus Covid-19 yang terus meningkat dan sudah tembus lebih dari 1 juta kasus.
“Inikah cara pemerintah berterimakasih kepada tenaga kesehatan yang selama pandemi menjadi pahlawan tanpa tanda jasa? Pembayaran untuk tenaga kesehatan daerah masih banyak tertunda dan tiba-tiba sekarang besaran insentif tenaga kesehatan diturunkan. Sungguh sangat tidak manusiawi,” kata Mufida dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (4/2/2021).
Mufida menekankan beban kerja dari para tenaga kesehatan ini semakin berat. Menjadi sangat ironis ketika beban kerja semakin tinggi, insentif bagi pejuang benteng terakhir penanggulangan covid-19 ini justru dikurangi sangat besar.
Menurut Mufida, Pemerintah seperti tidak punya kepekaan terhadap beban kerja para tenaga kesehaan hari-hari ini yang harus berjibaku dengan pasien yang membludak, bahkan Instalasi Gawat darurat (IGD) penuh dengan peralatan yang juga terbatas. Padahal dalam bekerja, para tenaga kesehatan ini mempertaruhkan nyawa mereka dengan risiko tinggi terpapar covid-19.
“Sampai 27 Januari sudah 647 tenaga kesehatan yang wafat terpapar covid-19 dan menjadi yang tertinggi di Asia. Paling banyak juga terjadi di bulan Desember ketika jumlah kasus positif sedang tinggi seperti juga di awal tahun ini,” terang dia.
Belum lagi pengorbanan para tenaga kesehatan untuk berpisah dengan keluarga sementara waktu untuk mengurangi risiko penularan. Sementara sarana perlindungan diri mereka dalam bertugas seperti ketersediaan APD juga seringkali kurang memadai.
“Bahkan tidak sedikit tenaga medis yang harus memproteksi diri dengan perlengkapan yang dibeli dengan uang sendiri karena masih terbatasnya APD. Banyak diantara tenaga medis yang tertular ini karena APD yang tidak memadai dan harus bertukar APD,” papar Anggota DPR RI Dapil DKI Jakarta II ini.
Wakil Sekretaris Fraksi PKS DPR RI ini mengkhawatirkan penurunan insentif yang cukup besar bisa berakibat menurunnya semangat juang dan mental para petugas medis ini, meskipun ia meyakini jiwa pengabdian para tenaga kesehatan ini sangat tinggi.
Belum lagi perilaku masyarakat yang masih abai terhadap protokol kesehatan yang menambah beban berat kerja para tenaga kesehatan. Oleh karena itu Mufida meminta Menteri Kesehatan meninjau kembali kebijakan ini.
Mufida meminta agar insentif tenaga kesehatan dikembalikan seperti semula, bahkan seharusnya bisa ditambah lagi dengan kondisi beban kerja yang sangat tinggi saat ini.
“Hargai dan berikan apresiasi yang layak kepada para tenaga medis yang berjuang dalam penanganan covid ini. Mereka berjuang demi kemanusiaan dan menjadi yang paling banyak berkorban diantara kelompok masyarakat lain dalam penanganan pandemi ini. Apalagi selama ini masalah insentif ini juga sudah banyak persoalan seperti insentif yang telat cair terutama di daerah-daerah,” tegasnya.
Mufida menyerukan agar dalam situasi kritis seperti ini pemerintah jangan ada pengurangan anggaran apapun untuk kesehatan. Jika perlu kurangi anggaran sektor lain untuk selamatkan kesehatan. Pemerintah harus belajar dari kesalahan tahun lalu yang lebih berat ke ekonomi, namun kesehatan jadi babak belur karena pandemi semakin menjadi-jadi.
Pemerintah memutuskan untuk mengurangi insentif bagi tenaga kesehatan yang menangani pandemi covid-19 di tahun 2021 ini. Dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan No. S-65/MK.02/2021 tentang besaran insentif tenaga kesehatan ini, tenaga kesehatan dan peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) ditetapkan insetuf bagi dokter spesialis Rp. 7,5 juta, peserta PPDS Rp. 6,25 juta, dokter umum dan gigi Rp. 5 juta bidan dan perawat Rp. 3,75 juta dan tenaga kesehatan lainnya sebesar Rp. 2,5 juta.
Sementara santunan kematian yang diberikan sebesar Rp. 300 juta. Besaran insentif ini berlaku mulai Januari 2021 sampai Desember 2021 dan dapat diperpanjang. Jika dibandingkan dengan insentif sebelumnya, besaran insentif ini berkurang cukup besar yaitu tinggal separuhnya (50%)