Oleh : Dr. Hj. Kurniasih Mufidayati, M. Si.
(Anggota Komisi IX Fraksi PKS DPR RI)
Genap hampir 10 bulan setelah pengumuman kasus pertama pada 2 Maret 2020, Indonesia sudah menghadapi pandemi covid-19. Belum ada tanda-tanda tren penurunan kasus harian. Setelah sempat menembus angka 8 ribu pada 3 Desember dan selanjutnya diatas 7 ribu dalam beberapa hari sebelumnya, pada tanggal 27 Desember kasus harian covid-19 di Indonesia berjumlah 6528 sehingga total menjadi 713,365 kasus.
Kasus kematian akibat covid juga kembali di atas 200 atau tepatnya 243. Sementara di lapangan, masyarakat seperti mengalami kelelahan dan kejenuhan yang luar biasa atas situasi pandemi sehingga himbauan untuk disiplin menjalankan 3M (memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan menjaga jarak) sudah banyak diabaikan, bahkan pada daerah-daerah yang masuk zona merah dan menjadi episentrum pandemi.
Jika diawal pandemi pada bulan Maret sampai Mei mayarakat masih cukup disiplin menjalankan 3M dan mengurangi aktivitas di luar, pusar keramaian (pasar, mall, perkantoran, terminal/stasiun) terlihat sepi dan masyarakat memilih banyak di rumah saja. Maka sejak Agustus bisa dikatakan situasi hampir kembali seperti normal.
Gagap Langkah dan Kebijakan Menghadapai Pandemi
Banyak kalangan menilai Indonesia salah langkah sejak awal dalam menghadapi pandemi covid-19. Dimulai dari kesan meremehkan ancaman pandemi ini dengan menolak pendapat ahli bahwa covid-19 sudah masuk ke Indonesia pada bulan Februari, pernyataan pejabat bidang Kesehatan bahwa covid-19 tidak berbahaya dan bisa sembuh sendiri, kurangnya perhatian serius terhadap peringatan dari WHO yang sudah menetapkan 2019-nCov ini sebagai public health Emergency of International Concern (PHEIC).
Pemerintah juga terlihat gamang dalam membuat kebijakan pembatasan kedatangan dari luar negeri yang berujung terlambat dalam menutup kedatangan dari luar negeri. Ketika covid-19 mulai menyebar, Indonesia justru mempromosikan destinasi wisata dan mengundang wisatawan dari luar untuk datang dengan berbagai insentif.
Akibatnya pertambahan jumlah kasus covid-19 sudah menuju ke grafik eksponensial. Dibanding negara-negara tetangga, Indonesia termasuk yang paling akhir dalam menutup kedatangan dari negara-negara yang sudah terjadi pandemi covid-19.
Kegamangan juga terjadi dalam melakukan kebijakan karantina wilayah untuk mencegah penyebaran covid-19. Peringatan dari WHO untuk Indonesia segera menetapkan pandemi covid-19 sebagai Status Darurat Nasional sejak 10 Maret, namun baru 16 Maret Pemerintah menetapkan sebagai bencana Nasional dan juga aturan dan langkah-langkah yang akan dilakukan dalam pengendalian penyebaran covid-19.
Pemerintah hanya menyerukan imbauan untuk melakukan social distancing dan physical distancing serta menghindari kerumunan. Demikian pula dengan permintaan WHO untuk menambah jumlah laboratorium uji PCR mengingat potensi penyebaran covid-10 yang tinggi, baru dilakukan pada pertengahan Maret dengan penambahan dari hanya 1 Lab menjadi 13 Lab yang sebetulnya juga masih sangat kurang
Lebih ironi lagi, terjadi perbedaan pendapat antara pemerintah pusat dengan daerah dalam melakukan langkah pembatasan melalui karantina wilayah. Inisiatif beberapa daerah termasuk Jakarta untuk melakukan pembatasan kedatangan secara ketat untuk pendatang dari luar dalam rangka pengendalian penyebaran covid-19 justru ditolak oleh Pemerintah Pusat.
Pemerintah Pusat lebih memilih kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk membatasi pergerakan dan menerapkan social distancing dengan proses yang birokratis dan pembatasannya juga tidak terlalu ketat.
Kebijakan PSBB ini sebagai turunan dari penetapan Darurat Kesehatan akibat wabah covid-19 ini yang baru ditetapkan pemerintah pada 31 Maret 2020 sebagai amanat dari UU No. 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.
Penetapan darurat kesehatan ini sekaligus menunjukkan Pemerintah lebih memilih penerapan pembatasan melalui PSBB daripada Karantina seperti yang diharapkan banyak kalangan.
Ketika penyebaran covid-19 semakin meluas dan penambahan kasus harian yang makin tinggi dan penetapan tiga Rumah Sakit rujukan covid-19 sudah tidak lagi memadai, kita dihadapkan lagi dengan persoalan ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD) bagi tenaga medis maupun alat kesehatan (Alkes) yang penting seperti untuk ruangan tekanan negatif dan ventilator.
Ketidaksiapan sejak awal menyebabkan Pemerintah juga tidak siap dalam memenuhi kebutuhan APD dan Alkes untuk mendukung kerja tenaga medis dalam menangani covid. Kekurangan APBD yang sangat dibutuhkan terjadi dimana-mana, bahkan di RS yang menjadi RS rujukan utama seperti RS Persahabatan.
Banyak warga masyarakat yang menggalang dana untu memenuhi kebutuhan APD ini bagi para tenaga medis.
New Normal yang Terlalu Cepat dan Masyarakat yang Kebablasan
Ketika kasus positif masih belum menunjukkan tren menurun, pemerintah justru menggaungkan New Normal di akhir Mei. Mulai presiden sampai jajaran menteri maupun kepala daerah berbicara tentang new normal yang didukung pernyataan Presiden untuk “berdamai dengan covid-19”.
Upaya menghidupkan kembali kegiatan ekonomi menjadi alasan diberlakukannya New Normal di bulan Juni sehingga pusat perbelanjaan, rumah makan, perkantoran dan beberapa pusat keramaian kembali dibuka meskipun dengan pembatasan operasional. Padahal di 31 Mei, kasus baru harian sudah mencapai 700 dan total kasus konfirmasi positif sudah mencapai 17.552.
Wacana new normal ini seakan disambut gempiita oleh masyarakat dengan kembali beraktivitas. Lemahnya sosialisasi pemahaman tentang New Normal menyebabkan sebagian masyarakat memahami new normal sebagai kembali ke situasi normal, tanpa memahami bahwa protokol kesehatan tetap harus dilakukan secara ketat. Banyak kalangan menilai “kebijakan” pelonggaran melalui New Normal ini dilakukan tanpa kajian yang mendalam dan terlalu cepat dilakukan Pemerintah. Nampaknya pemerintah terjebak dalam dilema antara kesehatan dan ekonomi.
Pembatasan yang ketat terhadap beberapa aktivitas termasuk di setor ekonomi seperti pusat perdagangan, mall, perkantoran, rumah makan, hiburan dan ojek online memberikan dampak yang cukup besar bagi pelaku di sektor tersebut. Disisi lain, memberikan keleluasaan pada kegiatan-kegiatan tersebut di saat penyebaran belum terkendali, membuat situasi pandemi semakin parah. Kuncinya pada kedisiplinan para pelaku dan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan dan menjalankan 3M secara sadar yang disertai pengawasan secara ketat terhadap aktivitas di sektor-sektor tersebut.
Namun sayangnya kedua hal ini tidak berlangsung. Masyarakat cenderung kebablasan, sementara pengawasan terhadap penerapan protokol kesehatan juga kurang.
New normal yang kebablasan kemudian menyebabkan penyebaran virus menjadi tidak terkendali. Positive rate meningkat mencapai lebih 10% padahal ambang yang ditetapkan oleh WHO untuk dapat dikatakan terkendali adalah 5%.
Kasus positif harian yang di awal Juni masih di bawah 1000, memasuki awal Agustus sudah menembus lebih dari 2 ribu kasus dan diakhir Agustus menembus angka 3 ribu kasus.
Kasus kematian harian yang di awal Juni masih dibawah 50, memaasuki akhir Juli sudah menembus 100 dan sejak September nyaris konsisten diatas 100 kasus.
Peningkatan kasus positif covid-19 yang terus tinggi memaksa dilakukan kebijakan pengendalian ketat. Jakarta yang menjadi episentrum pandemi mengambil kebijakan mengehntikan PSBB Transisi dan menarik rem darurat pada 10 September untuk memperketat kembali aktivitas di sektor-sektor sosial-ekonomi.
Beberapa daerah di Bodetabek juga kembali memberlakukan PSBB setelah sebelumnya melakukan pelonggaran. Secara nasional, kasus positif harian juga sudah menembus angka 4000 kasus di pertengahan September.
Problem Ketahanan Kesehatan Akibat Covid-19
Pandemi covid-19 sesungguhnya menimbulkan dampak buruk yang dahsyat terhadap ketahanan di sektor kesehatan masyarakat yang luput dari perhatian. Jika perhatian selama ini lebih banyak kepada dampak ekonomi seperti peningkatan pengangguran dan berkurangnya penghasilan.
Peningkatan kasus covid memaksa semakin banyak RS dan faskes yang menampung pasien covid dan menjadi RS rujukan covid. Sementara RS yang dijadikan RS rujukan juga semakin bertambah.
Penyebaran covid-19 yang terjadi di RS dan faskes yang diantaranya diakibatkan oleh pasien yang tidak jujur akan kondisinya , menyebabkan munculnya klaster-klaster penularan covid di RS dan faskes. Akibatnya banyak RS dan faskes yang terpaksa menutup pelayananya.
Hal ini berdampak pada pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang membutuhkan untuk jenis penyakit lainnya. RS dan faskes berubah menjadi tempat yang menyeramkan karena kekhawatiran tertular covid.
Peningkatan kasus yang terus terjadi dan tidak terkendali memasuki Oktober dan November juga membuat pelayanan RS untuk pasen covid-19 ini termasuk RS Darurat Wisma Atket nyaris kolaps.
Keterisian ruangan dan tempat tidur untuk pasien covid-19 nyaris penuh, apalagi ruang ICU. Pasien covid dengan gejala sedang dan berat mulai kesulitan untuk mendapatkan ruang perawatan khususnya di Jabodetabek karena ruangan yang penuh.
Situasi darurat sudah terjadi di beberapa RS dan faskes. Pasien tapa gejala maupun gejala ringan terpaksa diarahkan untuk menjalani isolasi mandiri di rumah atau di tempat isolasi di luar RS.
Dampak yang paling dirasakan dari pandemi di sektor kesehatan ini adalah bergugurannya tenaga medis akibat terpapar covid-19 maupun kelelahan yang amat sangat dalam menangangi covid. Kehilangan tenaga medis ini hampir terjadi di semua profesi baik dokter, perawat, petugas laboratorium, petugas pemulasaran jenazah bahkan sampai kru ambulamce. Dokter yang gugur pun beragam, dari dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis, bahkan sampai Guru Besar.
Dalam catatan LaporCovid-19, selama 10 bulan pandemi sampai 28 Desember, 507 tenaga medis telah gugur dalam menjalankan tugasnya dan terbanyak justru di bulan Desember sebanyak 98 orang. 507 tenaga medis yang gugur terdiri dari 228 dokter, 167 perawat, 68 bidang, 13 dokter gigi, 10 tenaga Lab dan 21 tenaga medis lainnya.
Wafatnya tenaga medis ini tentu merupakan sebuah kehilangan yang besar mengingat kita masih sangat kekurangan tenaga medis untuk melayani hampir 300 juta penduduk di wilayah yang luas dan tersebar. Mencetak satu tenaga medis juga bukan hal yang mudah dan membutuhkan biaya besar.
Berdasarkan data Bank Dunia, jumlah dokter di Indonesia terendah kedua di Asia Tenggara, yaitu sebesar 0,4 dokter per 1.000 penduduk. Dokter dan tenaga medis tentu saja perlu diselematkan karena mereka menjadi benteng terakhir dalam penanganan covid-19 di Indonesia.
Jika penularan semakin tinggi, beban kerja mereka menjadi semakin berat. Perlu perbaikan sistem beban kerja tenaga medis dan fase istirahatnya. Oleh karena itu kebijakan pemerintah untuk tetap melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah serentak dan kurang tegas terhadap adanya kerumunan-kerumunan bukanlah hal yang tepat.
Demikian juga dengan masyarakat yang abai dengan kondisi pandemi dengan tetap berkegiatan yang menimbulkan kerumunan, tidak menjalankan protokol kesehatan dan 3M juga merupakan tindakan yang kurang bijak. Wajar jika kalangan medis sempat menggaungkan taggar #IndonesiaTerserah karena kebijakan pemerintah dan prilaku masyarakat yang kurang mendukung upaya pengendalian penyebaran covid-19.
Simpang Siur Vaksin
Vaksin covid-19 tentu saja menjadi harapan bagi umat manusia agar pandemi ini segera berakhir. Tidak terkecuali, Indonesia pun mengupayakan untuk bisa menyediakan vaksin untuk melakukan vaksinasi covid-19. Apalagi kita memiliki Biofarma yang sudah dikenal dunia Internasional menjadi salah produsen vaksin dan juga beberapa lembaga penelitian biologi molekular seperti Lembaga Eijkman yang bisa melakukan penelitian untuk pengembangan vaksin.
Bahkan sejak awal pandemi, Biofarma telah menggaungkan untuk segera bisa menghasilkan vaksin untuk mengatasi pandemi covid-19 di Indonesia.
Indonesia menempuh dua jalur untuk pengadaan vaksin yaitu dengan mendatangkan vaksin dari luar negeri baik vaksin siap pakai maupun seed vaccine dan mengembangkan vaksin sendiri melalui konsorsium dan Lembaga Eijkman dengan nama vaksin Merah Putih.
Simpang siur vaksin ini dimulai dari vaksin apa yang akan didatangkan dan digunakan, bagaimana uji klinisnya dan kapan akan digunakan.
Awalnya dinyatakan bahwa vaksin yang akan didatangkan adalah Sinovac dari China dan satu jenis vaksin dari Inggris. Vaksin Sinovac sendiri mulai dilakukan uji kloinis fase 3 di Indonesia pada 11 Agustus 2020.
Pada akhirnya melalui Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.01.07/Menkes/9860/2020 ditetapkan enam jenis vaksin yang akan digunakan yaitu Sinovac Biotech, Astra Zenica, Sinopharm, Moderna, Pfizer dan vaksin produksi Biofarma bersama Ejikman yaitu vaksin Merah Putih. Padahal sebelumnya disebutkan Indonesia juga akan mendatangkan vaksin Genexine dari Korea Selatan.
Simpang siur berikutnya terkait dengan kapan vaksinasi akan dimulai dan siapa saja kelompok yang akan mendapatkan priritas dan yang digratiskan. Awalnya Presiden menyampaikan vaksinasi akan dimulai pada November 2020. Kampanye dan sosialisasi pun gencar dilakukan. Pernyataan dan sosialisasi yang berlebihan bisa membuai masyarakat dan membangun harapan yang berlebihan sehingga bisa menyebabkan abai terhadap protokol kesehatan.
Apalagi hasil uji klinis fase 3 dari vaksin Sinovac yang paling awal akan didatangkan belum lagi ditunjukkan hasilnya. Para ahli medis sendiri sudah mengingatkan untuk tidak terburu-buru dalam melakukan vaksininasi mengingat belum adanya hasil uji fase 3.
Pelaksanan vaksinasi terhadap kelompok prioritas pun harus melalui ijin dari Badan POM alam bentuk Emergency Use Authorizaion (UEA) yaang bahkan sampai saat ini belum dikeluarkan. Pada akhirnya vaksin Sinovac sendiri baru datang ke Indonesi pada 6 Desember sebanyak 1,2 juta dosis.
Publik masih tetap mempertanyakan pemilihan vaksin ini mengingat Sinovac belum juga merilis hasil uji yang menunjukkan tingkat efektivitsanya sementara beberapa jenis vaksin covid-19 lain sepert Pfizer, Moderna, Astra-Zenica bahkan Sputnic sudah mengeluarkan rilisnya dengan tingkat efektivitas diatas 90%.
Berita yang muncul justru adanya permasalahan dalam hasil uji vaksin Sinovac di Brazil serta kasus suap yang melibatkan Sinovac-Biotech. Sekali lagi, perlu kehati-hatian yang amat sangat untuk vaksinasi covid ini meskipun kita sangat berharap pada vaksin untuk membantu mengendalikan pandemi. Apalagi jika vaksin yang akan digunakan adalah Sinovac.
Sementara beberapa negara lain di Eropa dan Amerika sudah memulai vaksin dengan menggunakan vaksin lain seperti dari Pfizer, Moderna dan Astra-Zenicca
Meskipun pemerintah sudah membuat road map untuk vaksinasi covid-19 ini, ada baiknya dilakukan review kembali terkait dengan waktu, tahapan prioritas sasaran serta jenis vaksin yang akan digunakan.
Untuk sasaran pemberian vaksin, Pemerintah yag semula hanya menggratiskan vaksin pada kelompok tertentu saja, atas desakan publik akhirnya menggatiskan vaksin untuk semua kelompok yang akan menjadi sasaran vaksin. Namun demikian, sosialisasi vaksin ini tetap harus diiringi dengan himbauan untuk tetap disiplin protokol kesehatan dan ketegasan dalam penegakan protokol kesehatan ini.
Bersyukur pada akhirnya Pemerintah membatalkan cuti bersama akhir tahun yang cukup panjanhg dan semakin tegas dalam membatasi mobilitas dengan kewajiban menyertakan hasil tes rapid antigen untuk mobilitas jarak jauh khususnya ke dan dari Jakarta.
Tantangan Menteri Kesehatan Baru
Di penghujung tahun, kita kembali dikejutkan dengan pergantian Menteri Kesehatan sebagai bagian dari reshuffle kabinet. Meskipun desakan pergantian Menteri Kesehatan ini sudah cukup lama, hal yang mengejutkan adalah Menteri baru tidak berlatar belaang kesehatan melainkan dengan background korporat khususnya perbankan.
Presiden mungkin lebih menilai bahwa problem penanganan covid termasuk masalah vaksin ada di sisi manajerialnya. Apalagipersaingan untuk mendapatkan vaksin yang diperebutkan seluruh dunia memerlukan pendekatan bisnis.
Hal yang sama juga ketika gugus tugas penanganan covid yang semula dipimpin kepala BNPB berubah menjadi Satuan Tugas Penanganan covid yang melibatkan aspek pemulihan ekonomi dan dipimpin Menteti BUMN.
Menteri Kesehatan baru tentu harus menjawab keraguan publik untuk bisa mengendalikan pandemi covid ini lebih baik dibanding sebelumnya.
Membuat kebijakan dan langkah-langkah yang tepat untuk mengendalikan penyebaran covid-19, meningkatkan testing-tracing-treatment, menjamin ketersediaan APD dan alkes yang dibutuhkan, menurunkan positive rate yang secara nasional saat ini di kisaran 15% dan death rate yang juga masih cukup tinggi dan tentu mendatangkan vaksin yang tepat sesuai kebutuhan.
Dengan kemampuan manajerialnya, Menteri baru juga diharapkan mampu mewujudkan slogan yang selama in digaungkan yaitu “Kesehatan Baik Ekonomi Pulih”. Jangan mengorbankan kesehatan untuk mengejar berjalannya ekonomi.
Menteri Kesehatan baru juga tidak boleh melupakan permasalahan kesehatan lain yang masih membayangu negeri ini agar tidak terjadi collateral damage. Persoalan stunting yang masih membayangi, angka kematian ibu melahirkan (AKI) dan angka kematan bayin (AKB) yang meningkat selama pandemi, monitoring kesehatan ibu hamil dan balita yang merosot karena Posyandu tutup dan pelayanan faskes terbatas akibat pandemi.
Hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) pada tahun 2019 bahkan menunjukkan bahwa prevalensi stunting mencapai 27,67 persen. Artinya, setiap 10 anak Indonesia, ada 3 orang diantaranya yang mengalami stunting.
Pandemi covid juga telah mengakibatkan 24 juta balita beresiko tinggi mengalami gizi buruk. Belum lagi prevelensi penyakit tidak menular seperti stroke, diabetes, jantung, hipertensi dan gagal ginjal yang masih tinggi. Perhatian terhadap kesehatan masyarakat perlu lebih tinggi, terutama selama masa dan post pandemi covid-19.
Menteri Kesehatan juga harus memberi perhatian pada pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui BPJS yang masih menyimpan banyak persoalan. Apalagi dengan keputusan pemerintah untuk menaikan iuran BPJS bagi peserta kelas I, II dan kelas III mandiri ditengah perekonomian yang terpuruk dan penghasilan masyarakat yang merosot tajam. Padahal pengelolaan BPJS kesehatan juh masih carut marut.
Menteri Kesehatan harus didukung dengan tim yang tepat dan solid, tidak memiliki agenda sendiri yang tidak sejalan dengan kepentingan bangsa. Menteri yang tidak berlatar belakang kedokteran perlu didukung dengan staf ahli dan staf khusus dengan latar belakang medis dan kesehatan masyarakat.
Sekali lagi, tim yang mendukung Menteri Kesehatan tidak boleh memiliki agenda sendiri, baik pribadi maupun kelompok/interest group.