Jakarta : Kasus baru positif Covid-19 di Indonesia per Sabtu (26/6/2021) bertambah 21.095 orang. Itu adalah rekor lonjakan harian positif baru selama pandemi Covid-19 di Indonesia. Dengan demikian, per hari ini, total akumulatif kasus Covid di Indonesia menjadi 2.093.962 sejak kasus pertama diumumkan pada 2 Maret 2020.
Bahkan, sejak Pemerintah Pusat pemberlakuan PPKM berskala mikro hingga hari ini belum ada tanda-tanda lonjakan Covid-19 akan menurun drastis.
Anggota Komisi IX DPR RI Dr. Kurniasih Mufidayati menilai pemberlakuan PPKM Mikro yang mulai berjalan sejak 22 Juni lalu gagal menekan lonjakan Covid-19 yang sudah sangat mengkhawatirkan. Bahkan dalam tiga hari ini angka kasus Covid masih bertengger diatas angka 18 ribu.
“Pada Kamis lalu ada rekor kasus harian Covid-19 di Indonesia yang mencapai 20.574 kasus. Pada Jumat kemarin ada 18.872 kasus baru. Dan hari ini rekor baru lagi dengan kasus mencapai 21.095 orang. Ini bukti PPKM Mikro gagal menekan lonjakan Covid-19,” kata Mufida, Ahad (27/6).
Ia pun menyayangkan pemerintah pusat yang masih percaya diri dengan PPKM Mikro akan menekan laju lonjakan angka Covid-19. Namun sejak diterapkannya kebijakan tersebut tidak merubah grafik penurunan kasus Covid. Sejumlah daerah seperti DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah masih menjadi tiga wilayah angka tertinggi kasus Covid di Indonesia.
“Dari 21.095 kasus harian itu. DKI Jakarta merupakan wilayah kasus tertinggi diangka 9.271 kasus, disusul Jawa Barat dengan 3.787 kasus dan Jawa Tengah 2.305 kasus harian. PPKM Mikro nyatanya masih belum melandaikan angka kasus Covid, apalagi menurunkan grafiknya,” terang Anggota DPR RI Dapil Jakarta 2 yakni Jakarta Selatan, Jakarta Pusat dan Luar Negeri ini.
Seharusnya, tegas Mufida, pemerintah pusat memberikan wewenang dan izin pada tiga provinsi yang memberikan kontribusi Covid tertinggi untuk menerapkan rem darurat atau pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang lebih ketat. Sehingga dengan pemberlakuan PSBB tersebut bisa mengurangi secara signifikan mobilitas masyarakat dan diharapkan mampu menekan mata rantai penularan Covid.
“Pemerintah seharusnya jangan menunda untuk memberlakukan rem darurat atau PSBB Ketat. Namun harus dipikirkan juga agar penerapan PSBB tsb bisa ramah secara ekonomi. Aturan PSBB Ketat pun bisa mengacu pada Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan,” ucapnya.
Pemberlakuan PSBB Ketat, jelas Mufida, sudah sangat mendesak di wilayah Jakarta dan Jawa Barat misalnya. Apalagi sejumlah rumah sakit ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) sudah tidak bisa menampung pasien Covid lagi. Angka BOR sudah melewati ambang batas angka WHO. Kasus harian yang sangat tinggi tentunya akan menambah beban tenaga kesehatan seperti dokter dan perawat. Belum lagi varian Covid Delta asal India yang cepat meningkatkan penularan serta pengurangan respons antibodi yang diduga menjadi salah satu musabab lonjakan Covid-19.
“Sejumlah rumah sakit sudah kolaps di Jakarta. Ruang IGD sudah tidak menampung lagi. Nakes seperti dokter dan perawat harus ekstra kerja keras dalam menangani pasien. Belum lagi risiko nakes tertular ketika menangani pasien Covid. Nakes jumlahnya tidak bertambah, namun pasien bertambah dalam jumlah besar-besaran. Ini khan masalah yang harus bisa diselesaikan dengan cepat,” tegasnya.
Selain itu, tambah Mufida, pemerintah pusat harus memikirkan pasien-pasien umum non Covid yang masuk ke IGD namun ditolak pihak di rumah sakit karena sudah penuhnya pasien Covid-19. Artinya pemerintah harus menambah kapasitas pasien Covid, namun jangan melupakan pasien darurat penyakit lainnya.
“Kondisi rumah sakit di Jakarta misalnya sudah membludak pasien Covid. Realitas di lapangan banyak pasien-pasien darurat dengan keluhan penyakit lain sampai ditolak pihak rumah sakit karena sudah tidak menampung. Ini yang harus dipikirkan solusinya bagaimana kapasitas pasien Covid ditambah namun ada juga ruangan khusus di rumah sakit yang menangani pasien darurat selain Covid. Sehingga semua pasien