JAKARTA — Angka kemiskinan Indonesia diprediksi akan kembali ke dua digit tahun 2022. Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) memprediksi tingkat kemiskinan pada 2022 bisa meningkat menjadi 10,81 persen atau 29,3 juta penduduk miskin di Indonesia.
Juru Bicara PKS Dr Kurniasih Mufidayati menyebutkan tekanan-tekanan terhadap ekonomi keluarga Indonesia akan semakin meningkat. Setelah kenaikan pertamax, beberapa komponen energi yang dikonsumsi juga diprediksi akan naik.
“Pemerintah sudah menyebut ada kemungkinan Pertalite dan gas LPG 3 Kg juga akan ikut naik. Sebelumnya premium dan solar subsidi sudah banyak menghilang dari pasaran. Keluarga Indonesia tidak punya pilihan selain terpaksa mengonsumsi apa yang tersedia di pasaran dengan harga yang meningkat,” sebut Kurniasih dalam keterangannya, Senin (4/4/2022)
Kenaikan harga bahan pangan juga pasti memukul ekonomi keluarga Indonesia. Ketua DPP PKS Bidang Perempuan dan Ketahanan Keluarga (BPKK) ini menyebut persoalan minyak goreng belum usai.
Setelah stok minyak goreng tiba-tiba melimpah di pasaran dengan harga tinggi, masyarakat seolah dibiarkan dilepaskan dengan sistem ekonomi bebas sesuai pasar.
“Tidak ada perlindungan terhadap keluarga Indonesia. Mereka seolah dilepaskan dengan sistem ekonomi liberal yang bebas. Ada barang tapi mahal, jika mau beli silahkan jika tidak maka tidak ada solusi dari pemerintah,” papar Kurniasih.
Belum lagi bicara beberapa kenaikan harga yang menjadi kabar buruk masyarakat Indonesia saat memasuki Ramadhan 2022.
“Harga PPN yang naik 11 persen juga pada akhirnya dibebankan ke konsumen lalu kabar kenaikan harga pulsa mengiringi kenaikan harga bahan pokok yang memang pasti terjadi saat Ramadhan hingga lebaran. Momentum kenaikan yang beruntun sebagai hadiah masyarakat memasuki bulan Ramadhan,” kata Kurniasih.
Kurniasih mengingatkan Indonesia menuju bonus demografi yang membuat segmen kelas menengah menjadi tulang punggung utama termasuk dalam ekonomi. Ia berpesan jangan sampai program pemulihan ekonomi dari pandemi justru hanya menguntungkan kelas menengah atas yang jumlahnya segelintir namun menikmati sumber ekonomi yang melimpah.
“Sementara kelas menengah yang saat ini dominan di keluarga Indonesia tidak mendapatkan akses terhadap pertahanan ekonomi keluarga. Program pemulihan ekonomi nasional harus berfokus pada keluarga Indonesia yang mendominasi kelas menengah dan menengah ke bawah, bukan sebaliknya,” ungkap Kurniasih.