Jakarta — Pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019 memiliki taret Perokok anak turun menjadi 5,4 persen pada 2019. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan ada peningkatan prevalensi merokok penduduk umur 10 Tahun dari 28,8% pada tahun 2013 menjadi 29,3% pada tahun 2018. Sementara prevalensi merokok pada populasi usia 10-18 Tahun naik sebesar 1,9% dari tahun 2013 (7,2%) ke tahun 2018 (9,1%) serta 2019 (9,1%).
Anggota Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati menyebut pemerintah gagal menurunkan angka perokok anak sesuai target sesuai RPJMN 2014-2019. Prevalensi angka merokok pada anak dan remaja (10-18 th) pada 2019 masih sangat tinggi 9,1 persen dari target 5,4 persen.
“Momentum peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2022 kali ini jangan hanya jadi seremoni tahunan tanpa progess berarti dalam upaya kita bersama melindungi anak-anak dan remaja dari bahaya merokok,” sebut Kurniasih dalam peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia, Senin (31/5/2022).
Angka perokok anak dan remaja yang masih tinggi adalah angka perokok aktif. Sementara anak-anak dan remaja adalah masa-masa berkumpul bersama teman-temannya sehingga anak-anak perokok pasif yang juga sama-sama mendapatkan bahaya akan jauh lebih tinggi.
“Salah satu faktor anak dan remaja terjerumus dalam rokok adalah dibujuk teman. Jadi pergaulan anak dan remaja memang harus jadi perhatian semua bukan hanya pemerintah tapi yang terpenting adalah keluarga dan juga sekolah.
Di sisi lain angka prevalensi perokok anak 10 tahun ke atas di Indonesia adalah ketiga tertinggi dunia setelah Cina dan India berdasarkan data Global Youth Tobacco Survey.
“Artinya perokok anak Indonesia kita tinggi sekali, paling tinggi di Asia Tenggara. Kita sudah mengerti semua tentang bahaya rokok terhadap kesehatan apalagi ini anak-anak kita, butuh keseriusan lebih untuk melindungi generasi kita ini,” papar Kurniasih.
Kurniasih mengingatkan anak-anak Indonesia berhak mendapatkan hak kesehatan serta hak untuk tumbuh. Salah satunya selain jauh dari paparan rokok juga mendapatkan asupan pangan yang bergizi.
Rokok, papar Kurniasih, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2011 menempati distribusi pengeluaran tertinggi kedua dalam keluarga termiskin setelah beras.
“Jadi dalam rumah tangga termiskin, adiksi akan rokok lebih mengalahkan pengeluaran untuk sewa rumah, listrik, membeli sayur-sayuran dan lauk seperti ikan, telur dan juga mengalahkan pengeluaran untuk pendidikan dan biaya kesehatan. Kalau kita ingin masa depan anak-anak Indonesia ini cerah harus ada yang berubah dalam paradigma pembangunan keluarga kita ini,” kata Kurniasih.