Jakarta — Pemerintah terus mematangkan penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) pada layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan.
Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKS Dr Kurniasih Mufidayati kembali mengingatkan agar perhitungan iuran BPJS Kesehatan kelas standar tidak memberatkan peserta BPJS Kesehatan terutama kelas III mandiri.
Kurniasih mengatakan, pada kelas III mandiri masih ada skema subsidi. Selain itu, saat kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan pada terjadi karena implementasi Perpres No. 64 tahun 2020, sebantak 5,1 persen peserta BPJS Kesehatan turun kelas. Rinciannya ada 1,3 juta peserta turun kelas dari kelas I dan kelas II menjadi kelas III.
“Artinya peserta yang kelas III terutama mandiri benar-benar kemampuannya berada di iuran yang saat itu mengalami kenaikan. Kalau nanti penerapan KRIS iurannya masih memberatkan terutama yang kelas III maka beban publik akan semakin berat,” terang Kurniasih dalam keterangannya, Senin (11/7/2022).
Terlebih saat ini BPJS Kesehatan tidak lagi mengalami defisit bahkan pengelolaannya mendapatkan surplus. Seharusnya dengan kondisi surplus, BPJS Kesehatan tidak lagi membebankan penyesuaian tarif kelas standar dengan menaikkan iuran terutama peserta kelas III.
Kurniasih menambahkan, persoalan pelayanan standar ini bukan hanya masalah Kelas Rawat Inap saja, namun juga harus diikuti dengan standarisasai pelayanan untuk kunjungan atau visit. KDK-KRIS ini harus juga meningkatkan pelayanan di Faskes Tingkat 1 terutama pedesaan atau pinggiran kota yang masih tertinggal jauh dibanding Faskes Tingkat 1 di perkotaan terutama untuk kelas Puskesmas.
“Jadi semangatnya adalah peningkatan pelayanan, bukan hanya pemerataan pelayananan, jadi hanya hanya berfokus pada rawat inap saja. Apalagi nantinya iuran BPJS juga akan satu tarif,” ungkap Kurniasih.
Ia menambahkan, selama ini banyak kesan Faskes Tingkat 1, terutama Puskesmas tidak mudah dalam memberikan rujukan bagi pasien untuk pemeriksaan lanjutan. Bahkan hal ini disampaikan oleh RS yang menjadi Faskes tingkat diatasnya seperti RSUD.
“Bagaimana implementasi KDK-KRIS ini bisa mengatasi permasalahan ini sehingga masyarakat peserta BPJS betul-betul bisa dipenuhi kebutuhan pelayanan kesehatannya sesuai dengan permasalahan penyakit yang dihadapi,” ungkap Kurniasih.
Ia juga memberikan catatan, penerapan KRIS ini akan memberikan tantangan bagi RS terutama RS Tipe C dalam menyediakan ruang perawatan kalau arah standarisasinya adalah kelas 1 atau minimal kelas 2.
“Bagi RS Tipe C, dengan standar ini, berarti akan ada pengurangan tempat tidur untuk memenuhi standar tersebut. Implikasinya ada dua yaitu pasien akan dioper dari satu RS ke RS lain karena ketidaktersediaan tempat tidur atau rujukan untuk dirawat akan semakin sulit karena keterbatasan tempat tidur di RS. Itu semua harus diantisipasi,” kata dia.