Terjadinya defisit yang besar dan terus meningkat dalam pengelolaan BPJS Kesehatan sesungguhnya menyiratkan adanya persoalan besar dalam pembangunan kesehata di Indonesia.
Keuangan BPJS terkuras untuk biaya pengobatan peserta BPJS di seluruh Indonesia yang sekaligus menunjukkan banyaknya peserta yang memerlukan pengobatan, peawatan intensif ataupun penanganan yang membutuhkan dana yang besar.
Faktanya Indonesia memang sedang menghadapai persoalan kesehatan yang serius. Kita belum lagi selesai dengan persoalanan penyakit menular dan penyakit akibat kemiskinan yang sudah terjadi sejak awal kemerdekaan, kini sudah dihadapi oleh penyakit akibat gaya hidup tidak sehat yang meningkatkan resiko kematian dan biaya pengobatan yang mahal.
Tantangan Berat Pembangunan Kesehatan
Hasil pengukurahn Indeks kesehatan global (Global Health Indeks) menunjukkan kondisin yang memprihatinkan bagi Indonesia. Indonesia menempati urutan ke 101 dari 149 negara dalam indeks tahun 2017 didasarkan pada kesehatan fisik, mental, infrastruktur kesehatan dan perawatan guna pencegahan berbagai wabah atau penyakit.
Indonesia sangat jauh tertinggal dibanding Singapura yang berada di posisi kedua. Dibandingkan negara ASEAN lainnya pun posisi Indonesia masih kalah seperti oleh Thailand yang menempati posisi 35 dan Malaysia menempel Thailand di posisi 38. Indonesia bahkan kalah dari Vietnam yang berada di posisi 69 atau Laos di posisi 94.
Beberapa indikator utama dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) yang dilakukan tahun lalu setidaknya menunjukkan masih banyaknya tantagan yang dihadapai dalam pembangunan sektor kesehatan.
Tingkat Gizi Buruk dan Gizi kurang dari hasik Riskesda 2018 menunjukkan angka 17,7%. Meskipun membaik dibanding 2013 yang mencapai 19,6%, namun angka ini masih lebih tinggi dari target di RPJMN yaitu sebesar 17%.
Bahkan khusus untuk tingkat Gizi Kurang, dalam 5 tahun, pengurangan hanya sebesar 0,1% dari 13,9% di 2013 menjadi 13,8% di 2018. Selanjutnya untuk gizi pendek dan sangat pendek atau yang dikenal dengan istilah Stunting, masih di angka 30,8%.
Meskipun tingkat stunting meningkat cukup baik dibanding 2013 yang berada di kisaran 37,2%, namun masih jauh dari target WHO sebesar 20%. Porporsi Gizi Kurus pada Balita dalam 5 tahun terakhir juga hanya turun sebesar 0,1% dari 6,8% di 2013 menjadi 6,7% di 2018.
Dari sisi kesehatan ibu, kondisi yang memprihatinkan adalah meningkatnya proporsi Anemia ibu hamil dari 37,1% di 2013 menjadi 48,9% di 2018. Padahal Indonesia juga masih menghadapai Angka Kematian Ibu (AKI) saat melahirkan yang tinggi yaitu 305 per 1000 kelahiran.
Dalam hal AKI ini, Indonesia bahkan menempati urutsan terendah kedua setelah Kamboja diantara negara-negara ASEAN. Indikator yang juga mengalami penurunan dalam Riskesda adalah cakupan imunisasi dasar yang menurun dari 59,2% di 2013 menjadi 57,9% di 2018. Ini menunjukkan kampanye untuk imunsasi dasar bagi bayi masih belum cukup efektif mencapai sasaran.
Selain persaoalan kesehatan akibat faktor kemiskinan dan daya beli, Indonesia juga masih menghadapai persoalan dengan penyakit menular, khususnya paru.
Meskipun kampanye untuk memberantas penyakit TB Paru dan pelayanan pengobatan untuk penyakit TB Paru ini terus diupayakan, namuan dalam 5 tahun tidak terjadi perbaikan yang signifikan.
Hasil Riskesda menunukkan Prevalensi TB Paru berdasarkan diagnosis dokter tidak mengalami pergeseran dari 2013v ke 2018b yakni sebesar 0,4%. Sementara prevelensi pneumonia justru meningkat dari 1,6% menjadi 2%. Kualitas udara yang makin buruk akibat polusi, hunian yang tidak layak dan kebakatran hutan yang terus melanda sebagian wilayah Indonesia akan semakin memperberat persoalan kesehatan paru ini.
Penyakit KekiniaAkibat Gaya Hidup
Pada saat penyakit menular masih menghantui, penyakit akibat gaya hidup justru menunjukkan prevelensi meningkat. Prevelensi kanker meningkat dari 1,4% menjadi 1,8% dan penyakit kanker ini tidak lagi mengenal kelas ekonomi maupun kelompok usia.
Prelevensi penyakit stroke yang juga disebabkan oleh gaya hidup tidak sehat juga meningkat cukup tajam dari 7% mennadi 10,9% dalam 5 tahun. Peningkatan yang tinggi juga terjadi pada prevelensi hipertensi yang naik hampir 10% dalam 5 tahun dari 25,8% menjadi 34,1%.
Peningkatan prelevesi terjadi pada hampir semua jenis penyakit yang terutama disebabkan oleh gaya hidup tidak sehat seperti penyakit ginjal kronik, diabetes melitus dan obesitas.
Prelevensi obesitas ini cenderung terus men ingkat signifikan dalam 10 tahun terakhir dan berpotensi akan meningkatkan provelensi pentyakit lain yang timbul akibat obesitas ini. Peningkatan prevelensi penyakit yang bisa disebut kekinian ini tentunya berpotebsi akan semakin membebani pembiayaan upaya kuratif untuk penyakit-penyakit tersebut.
Hal yang memprihatinkan adalah sejalan dengan peningklatab prelevensi penyakit tidak menular, sumber-sumber penyebab penyakit ini jiga menunjukan prelevemsi yang meningkat dan pada usia yang semakin muda.
Prevelensi merokok pada usia remaja (10-18 tahun) terus meningkat dalam 5 tahun dari 7,2% pada 2013 mennadi 9,1% pada 2018. Hal yang sama terjadi pada prevelensi konsumsi minuman beralkohol yang meningkat dari 3% menjadi 3,3%.
Tantangan berat lain di sektor kesehatan bersumber dari penyakit non fisik. Hasil Riskesda 2018 menunjukkan peningkatan proporsi gangguan jiwa yang signifikan yaitu dar 1,7% menjadi 7%.
Angka penyakit gangguan jiwa yang mencapai 7% ini merupakan persoalan serius yang harus mendapat perhatian besar. Prelevensinya akan terus meningkat ditengah tekanan hidup yang semakin besar yang dialami penduduk.
Kebijakan Preventif dan Promotif yang Minim
Tidak terjadinya perbaikan kualitas kesehatan yang signifikan dalam 5 tahun terakhir yang ditunjukkan oleh indikator-indikator penting dalam Riskesda 2018 semakin memperberat tantangan yang harus dihadapi oleh Menteri Kesehata yang baru.
Tentu saja Menteri Kesehatan diharapkan memiliki kinerja yang lebih baik lagi dalam memperbaiki kualitas kesehatan penduduk Indonesia dan tidak mengulangi apa yang sudah terjadi dalam 5 tahun terakhir. Visi besar dengan misi yang kuat dan jelas harus dimiliki dan menjadi dasar dalam pembangunan sektor kesehatan dengan mendayagunakan sumberdaya yang dimiliki.
Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian adalah pada upaya-upaya dan kebijakan preventiuf di bidang kesehatan yang dinilai masih sangat kurang. Jika mengacu pada anggaran 2018, alokasi anggaran untuk upaya pencegahan dan pengendalian penyakit hanya 1,62 trilun atau hanya 3,34% dari total anggaran Kementerian Kesehatan.
Anggaran untuk Promkes (preventive-promotve juga hanya 0,37 triliun atau hanya 0,77% dari total anggaran). Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah pada sektor kesehatan.
Misalnya, dari segi pencegahan, masih banyak warga yang kurang sadar melakukan imunisasi. Termasuk kesadaran menjaga lingkungan agar terhindar dari berbagai penyakit.Hingga kini, 120 juta warga masih hidup dalam lingkungan dengan sanitasi yang buruk. Setiap tahun bencana asap mengancam saluran pernafasan warga di Sumatera dan Kalimantan.
Mutu air sungai di Indonesia termasuk buruk karena 52 sungai berstatus tercemar berat. Sementara anggaran habis tersedot untuk upaya-upaya kuratif termasuk alikasi anggaran untuk bantuan iuran BPJS yang tersu membengkak dan menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi Menteri Kesehatan baru.
Tantangan Menteri Kesehatan baru memang sangatlah besar. Bukan hanya karena 5 tahun terakhir tidak terjadi perbaikan kualitas kesehatan yang signifikan.
Namun kondisi ekonomi 5 tahun mendatang yang dibayangi krisis dan stagnasi pertumbuhan juga diperkirakan akan semakin memperburuk kualitas hidup penduduk. Ini menjadi PR besar bagi Menteri Kesehatan dalam memperingati Hari Kesehatan Nasional tahun ini