Pandemi covid-19 masih menjadi perhatian utama sektor kesehatan di 2021. Sampai 28 Desember 2021, total kasus covid-19 yang terkonfirmasi di Indonsia mencapai 4.262.157 kasus dengan 144.071 meninggal dunia akibat wabah ini. Bahkan Tahun 2021 menjadi tahun yang kelam bagi dunia kesehatan Indonesia, khususnya terkait dengan pandemi covid-19 yang berkepanjangan. Tidak ada yang menyangka bahwa puncak pandemi covid-19 di Indonesia justru terjadi pada tahun 2021 ini, bahkan setelah kita melewati satu tahun pandemi.
Saat kita mencoba menjalankan jargon new normal dan aktivitas di masyarakat sudah mulai berjalan, justru kita tidak siap menghadapi gelombang pandemi. Tahun 2021 juga ditandai dengan dimulainya program vaksinasi covid-19 di Indonesia dengan segala dinamikanya. Dari sisi anggaran, pemerintah menetapkan untuk dilakukannya refocusing anggaran di tingkat pusat (APBN) maupun daerah (APBD) untuk penanganan covid-19.
Dua Puncak Gelombang Pandemi Covid-19
Setelah melakukan pelonggaran dan menuju ke arah new normal, Indonesia justru memgalami puncak gelombang pandemi pertama di awal tahun 2021. Harapan bahwa tahun 2021 pandemi covid-19 akan menghilang justru terjadi sebaliknya. Dampak dari libur natal dan tahun baru dimana banyak warga masyarakat melakuan mobilitas disertai dengan berbagai aktivitas yang sudah berjalan kembali setelah terhenti di awal pandemi.
Puncak gelombang pertama covid-19 di Indonesia terjadi di akhir Januari dimana pada rentang 26 Januari – 7 Februari 2021 kasus harian berada di atas 10 ribu kasus dan puncaknya di 30 Januari dengan 14.518 kasus serta kematian harian mencapai 476 di 28 Januari. Pada peruode ini pula kasus covid-19 di Indonesia menembus angka 1 juta dan sudah terjadi di seluruh propinsi di Indonesia.
Lonjakan kasus pada periode ini telah memaksa pemerintah menambah RS-RS rujukan untuk penanganan pasien covid-19. Hampir semua RSUD di Jakarta juga sudah menjadi RS rujukan. Di sisi lain, penyebaran kasus covid-19 yang cepat menyebabkan beberapa fasilitras kesehatan seperti Puskesmas dan RSUD juga menutup pelayanan sementara akibat tenaga medisnya terpapar covid-19.
Kasus covid-19 mengalami pelandaian pada periode April-Mei 2021 sejalan dengan telah dimulainya program vaksinasi dengan kasus harian dibawah 5000. Namun setelah itu kasus covid-19 melonjak tajam seiring dengan merebaknya varian delta terutama di India. Ledakan kasus di India akibat varoan Delta setelah terjadinya pelonggaran tidak diantisipasi oleh Indonesia. Banyak pendatang dari India yang masuk di bulan Mei untuk menghindari gelombang pandemi di negaranya diduga memberi kontribusi besar terhadap merebaknya varian Delta di Indonesia yang menyebabkan ledakan kasus.
Gelombang kedua mencapai puncaknya pada periode 14-17 Juli 2021 dimana kasus baru harian mencapai lebih dari 50 ribu kasus dengan puncak pada 15 Juli yang mencapai 56.757 kasus. Kematian harian pada gelombag kedua ini sempat mencappau 2.069 pada 26 Juli. Pada periode ini ada sekitar 180 tenaga kesehatan yang wafat akibat puncak gelombang kedua covid-19 di Indonesia.
Gelombang kedua covid-19 ini tidak hanya ditandai dengan kelengahan dalam mengantisipasi merebaknya varian Delta yang masuk dari luar dan tidak dilakukan pengetatan aktivitas di dalam negeri dalam masa libur sekolah. Gelombang kedua juga ditandai dengan ketidaksiapan sistem kesehatan kita mengantisipasi lonjakan kasus dan banyaknya pasien dengan gejala sedang dan berat.
Tingkat okupasi ruang rawat dan ruang ICU sudah mencapai 100 persen sementara banyak pasien yang menunggu untuk bisa masuk ruang perawatan maupun ICU. Akibatnya hampir seluruh sudut RS dipenuhi pasien, IGD dipenuhi pasien covid-19 yang membutuhkan perawatan, tenda perawatan darurat banyak didirikan. Bahkan kita mengalami kelangkaan obat-obatan dan juga oksigen.
Banyak pasien covid-19 yang wafat karena tidak mendapatkan oksigen medis maupun obat-obatan, tanpa memandang status dan kedudukan. Ada kepala daerah yang tidak mendapat ruang perawatan RS bahkan di daerahnya sendiri. Ada pemilik perusahaan oksigen industri skala besar yang tidak kebagian oksigen medis. Kita terlambat melakukan konversi oksigen industri untuk kebutuhan medis. Kita terlambat menyiapkan obat-obatan dan ruang perawatan tambahan bagi pasein covid-19.
Kita lemah dalam melakukan tes dan tracing untuk pelacakan kasus di saat tren menunjukkan kenaikan sejak akhir Mei. Kita kehilangan banyak aset orang-orang penting, cerdas, pendidik, guru besar, pemuka agama, tenaga medis dan lainnya selama masa gelombang kedua ini. Lahan pemakaman khusus covid-19 pun terus ditambah. Sungguh sebuah kehilangan yang sangat besar akibat kelengahan dan keterlambatan antisipasi gelombang kedua dari varian Delta.
Dinamika Vaksinasi Covid-19
Tahun 2021 ini juga dimulainya program vaksinasi untuk penanggulangan covid-19 yang secara resmi ditandai dengan vaksinasi kepada Presiden Jokowi pada 13 Januari 2021. Vaksinasi awal yang ditujukan untuk petugas medis yang menjadi garda terdepan penanganan covid-19 ini juga menjadi sorotan ketika ada seorang selebgram yang memamerkan bahwa dirinya sudah divaksin di periode awal ini.
Bagaimana bisa ketika masih banyak orang menantikan program vaksinasi ini, bahkan banyak tenaga medis dan petugas layanan publik yang belum divaksin, namun justru ada selebgram yang sudah lebih dulu divaksin. Pelaksanaan vaksin ini juga semapat diwarnai dengan keinginan untuk mempercepat pelaksanaan vaksinasi pada saat uji klinis tahap 3 belum keluar dan BPOM selaku otoritas belum mengeluarkan Emergency Use of Authorization (EUA).
Patut diapresiasi pada akhirnya program vaksinasi berjalan dengan baik dan upaya percepatan terus dilakukan. Kolaborasi dengan berbagai pihak juga mendukung percepatan vaksinasi ini. Sampai 28 Desember 2021 telah dilakukan vaksinasi suntikan pertama sebanyak 157,8 juta dan suntikan kedua 111,56 juta suntikan.
Vaksin booster juga dilakukan untuk tenaga medis sebanyak 1.284.589 suntikan. Vaksininasi covid-19 untuk anak 6-12 tahun juga telah dimulai dilakukan. BPOM juga telah mengeluarkan EUA untuk 10 jenis vaksin yaitu Sinovac, AstraZeneca, Sinopharm, Moderna, Pfizer, Novavax, Sputnik-V, Janssen, Convidencia, dan Zifivax.
Namun masih banyak pekerjaan rumah tercecer dari program vaksinasi ini, utamanya soal data dan cakupan vaksinasi yang sesungguhnya. Apalagi kemudian ditemukan adanya joki vaksin dimana ada seorang yang mengaku sudah 17 kali disuntik vaksin dengan menjadi joki bagi orang lain yang menolak di vaksin. Pada sebagian kecil masyarakat juga masih ada penolakan terhadap vaksin.
Namun hal memprihatinkan justru terjadi pada pengembangan vaksin dalam negeri. Pengembangan vaksin dalam negeri yang muncul beberapa bulan setelah pandemi melalui skema vaksin Merah Putih yang melibatkan beberapa lembaga penelitian dan perguruan tinggi, sampai saat ini belum sampai pada uji klinis tahap 3. Padahal salah satu BUMN farmasi yaitu Biofarma selama ini cukup dikenal di dunia internasional sebagai pengembang dan produsen vaksin.
Alih-alih ada perkembangan baik dalam pengembangan vaksin Merah-Putih, kita justru dikejutkan dengan vaksin “dalam negeri” lain dengan nama Vaksin Nusantara yang pengembangannya melibatkan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Bahkan BPOM seperti mendapat tekanan agar vaksin ini segera mendapatkan EUA untuk dapat digunakan luas, sementara uji klinis tahap 3 nya masih dipertanyakan.
Belum lagi pengembangannya yang justru lebih banyak didominasi pihak perusahaan asing. Sementara Biofarma juga akhirnya lebih disibukan untuk mengolah bulk/seed vaccine dari vaksin impor untuk dijadikan vaksin yang akan digunakan di dalam negeri. Nampaknya pengembangan vaksin covid-19 di dalam negeri masih menjadi tantangan untuk menjawab kebutuhan vaksin dalam menganggulangi pandemi.
Penurunan Kualitas Kesehatan Ibu-Anak
Salah satu yang cukup terdampak akibat pandemi covid-19 adalah kualitas kesehatan ibu dan anak. Terganggunya pelayanan di faskes akibat nakes yang terpapar covid-19 dan terhentinya pelayanan posyandu di awal pandemi telah berdampak cukup signifikan terhadap kualitas kesehatan ibu dan anak. Data Direktorat Kesehatan Keluarga menunjukkan adanya korelasi positif antara jumlah kasus covid-19 di suatu daerah dengan tingkat kematian ibu dan bayi.
Hasil survey juga menunjukkan terjadinya penurunan akses pelayanan kesehatan termasuk kesehatan ibu dan anak yang berdampak meningkatnya morbiditas, mengingat pelayanan kesehatan ibu dan anak menjadi kunci kematian ibu dan bayi. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) pada Juli 2021mencatat sebanyak 536 ibu hamil dinyatakan positif Covid-19 selama setahun terakhir dan 3 persen diantaranya dinyatakan meninggal dunia. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebut kasus Covid-19 pada anak di Indonesia dalam rentang Desember 2020 hingga Maret 2021 adalah tertinggi di Asia dengan jumlah mencapai 260 ribu kasus.
Padahal di saat yang sama, kita juga masih memiliki pekerjaan rumah besar untuk kesehatan ibu dan anak. Prevalensi stunting Indonesia ada di peringkat ke-108 dari 132 negara, tertinggi ke-4 di Asia dan tertinggi kedua setelah Kamboja di Asia Tenggara. UNICEF bahkan memperkirakan ada sekitar 31,8% anak di Indonesia mengalami stunting pada 2021. Artinya hampir sepertiga anak di Indonesia mengalami masalah dalam pertumbuhannya.
AKB dan AKI diperkirakan masih belum dapat memenuhi target pembangunan berkelanjutan SDGs. Pada 2020 AKI Indonesia masih mencapai 230 per 100 ribu kelahiran, masih jauh dari target MDGs sebesar 102, apalagi target SDGs sebesar 70. Data Kemenkes juga menyebutkan 84% pelayanan kesehatan terdampak dalam 6 bulan awal pandemi dan 83,6% Puskesmas mengalami penurunan kunjungan pasien.
Ditengah pandemi covid-19 yang justru mencapai puncak gelombangnya di 2021, kualitas kesehatan ibu dan anak menjadi semakin perlu mendapat perhatian. Pelayanan kesehatan ibu dan anak harus kembali dipulihkan dan tetap menjadi fokus perhatian. Namun sayangnya kebijakan pemerintah justru belum mendukung upaya tersebut.
Alokasi anggaran untuk peningkatan kesehatan ibu dan anak di tahun 2021 hanya 0,8 triliun atau hanya 1% dari total anggaran prioritas nasional bidang kesehatan dan hanya 0,9 % dari total anggaran reguler Kemenkes. Adanya gap besar antara target dan capaian dalam dua indikator kesehatan ibu dan anak harus jadi perhatian serius. Belum lagi kita bicara soal penyebab kematian ibu dan perempuan seperti kanker payudara dan kanker serviks.
Ujian Keandalan dan Independensi BPOM
Tahun 2021 juga ditandai dengan ujian independensi BPOM sebagai otoritas untuk pengawasan peredaran obat dan makanan. Institusi yang selama ini sudah sangat disibukan dengan peredaran obat dan kosmetik palsu yang dilakukan oleh para mafia pemburu rente, pada era pandemi bertambah beban dengan memberikan penilaian dan rekomendasi EUA untuk beberapa jenis vaksin yang akan digunakan untuk program vaksinasi nasional.
Bukan hal yang mudah bagi BPOM untuk menjaga independensi ini mengingat impor dan penggunaan vaksin ini akan melibatkan rupiah dalam jumlah sangat tinggi mengingat vaksinasi covid-19 ini menjadi program nasional dalam rangka mencapai herd immunity.
Ujian pertama datang ketika pemerintah hendak menyegerakan program vaksinasi covid-19 pada bulan Desember 2020 padahal uji klinis vaksin yang saat itu didatangkan yaitu Sinovac. Kita harus memberikan apresiasi pada akhirnya BPOM tetap berpegang bahwa EUA baru bisa diberikan setelah uji klinis tahap 3 selesai dilakukan dan hasilnya menunjukkan bahwa vaksin bisa digunakan untuk kebutuhan darurat. Ujian berikutnya adalah ketika munculnya vaksin Nusantara yang sebelumnya belum pernah disampaikan sebagai bagian dari skema pengembangan vaksin di dalam negeri.
Bahklan ketika vaksin Merah Putih masih tahap riset untuk pengembangan, vaksin Nusantara didesak untuk bisa digunakan dengan klaim sebagai vaksin anak bangsa. Sekali lagi BPOM masih bisa menunjukkan independensinya ditengah tekanan politik yang cukup kuat.
Keandalan dan independensi BPOM juga diuji dalam pemberian ijin bagi obat-obatan yang akan digunakan untuk pasien covid-19 gejala sedang dan berat. Kontroversi penggunaan ivermectin sebagai obat covid-19 maupun penggunaan beberapa jenis antibiotik menjadi isu yang harus menjadi perhatian BPOM juga.
Antara kebutuhan untuk segera penanganan pasien covid-19 agat bisa terselamatkan dengan standard obat yang aman untuk digunakan. Hal ini tentu membutuhkan terobosan langkah di satu sisi dan pertimbangan yang matang di sisi yang lain untuk menghadapi tantangan berikutnya.
Tantangan Kedepan: Menyiapkan Diri Menghadapi Era Pemulihan
Pandemi covid-19 belum selesai dan kita juga masih dibayangi penyebaran varian Omicron yang sedang menyebar luas di Eropa, Amerika dan beberapa negara Asia. Meskipun sebagian pakar juga meyakini bahwa covid-19 di Indonesia sudah berubah menjadi endemi dan Indonesia juga sudah mencapai herd immunity dari imunisasi maupun kekebalan yang terbentuk dari orang yang sudah terpapar covid-19 dan tidak menunjukkan gejala. Kelompok kedua ini disinyalir jumlahnya cukup besar dan tidak terdeteksi karena testing kita yang rendah. Namun demikian kita perlu mempersiapkan diri menghadapi tantangan ke depan.
Menghadapi varian Omicron, tidak ada pilihan lain adalah agar terus mengkampanyekan disiplin protokol kesehatan 5M dan meminta semua pihak untuk tidak melakukan kegiatan yang menimbulkan kerumunan serta mobilitas yang tidak penting. Pemerintah juga tetap meningkatkan 3T sejalan dengan temuan kasus serta melakukan whole genome sequencing (WGS) untuk setiap kasus yang ditemukan. Pengetatan pendatang tetap harus dilakukan disertai pemberlakuan karantina bagi kedatangan dari luar negeri.
Namun kebijakan karantina ini tidak boleh menimbulkan adanya kartel atau mafia penyedia jasa karantina yang membebani masyarakat yang memang ada kebutuhan untik melakukan perjalanan luar negeri. Lama waktu karantina juga harus terus dilakukan kajian dan sesuai dengan kebutuhan dengan tidak membani masyarakat maupun keuangan negara. Maksimalkan tempat-tempat karantina yang memang selama ini sudah digunakan.
Sarana dan fasilitas kesehatan harus kembali dipulihkan dan disiagakan menghadapi kemungkinan terburuk dari penyebaran varian omicron di Indonesia. Kita harus belajar dari kelengahan ketika varian Delta menimbulkan banyak korban dan membuat fasilitas kesehatan nyaris kolaps. Disisi lain, vaksinasi harus tetap digencarkan dan opsi vaksin booster juga tetap perlu dikaji.
Jika memang dibutuhkan vaksin booster bagi masyarakat, maka harus dibuat skema seperti vaksin 1 dan 2 yang digratiskan bagi masyarakat dan dipersilahkan vaksin booster mandiri berbayar bagi perusahaan yang ingin memberikan bagi karyawannya dengan tidak memotong dari gaji pegawai. BPOM dan Biofarma perlu belajar dari apa yang sudah berlangsung di masa pandemi untuk meningkatkan kapasitas dan kemampuannya sesuai tugas yang diberikan.
Pemulihan kesehatan ibu dan anak harus mendapat perhatian khusus. Penurunan kualitas kesehatan ibu dan anak serta meningkatnya AKI dan AKB selama pandemi akibat pelayanan kesehatan ibu dan anak yang terganggu perlu menjadi prioritas untuk dipulihkan. Kebijakan kesehatan perlu dibuat lebih adaptif dan agile untuk merespon berbagai kemungkinan kondisi pasca pandemi.
Promosi kesehatan untuk ibu dan keluarga tentang pentingnya pemanfaatan pelayanan kesehatan perlu dilakukan secara massif. Pemerintah juga harus terus mengupayakan terobosan untuk melakukan intervensi pelayanan kesehatan di masa transisi menuju pemulihan ini. Pemeriksaan kesehatan untuk ibu hamil, bayi dan balita yang selama ini terhambat perlu ditingkatkan termasuk dengan menggratiskan pelayanan tersebut. Untuk itu dukungan anggaran mutlak diperlukan.
Kebijakan penanganan stunting perlu lebih fokus. Jika BKKBN sudah ditetapkan sebagai Leader dalam penanganan stunting ini, maka perlu didukung dengan kebijakan anggaran dan kewenangan program yang cukup. Secara bertahap dilakukan pengalihan kewenangan, program, anggaran dan sumberdaya dalam penanganan stunting ini dari Kementerian Kesehatan kepada BKKBN sehingga kebijakan penangannya menjadi lebih fokus dan terpadu.