Kurniasih Mufidayati
Ketua Poksi IX FPKS DPR-RI
Bulan ini genap dua tahun sudah Presiden Jokowi dan Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin menjadi nakhoda negeri ini. Dua tahun pemerintahan yang diwarnai dengan dua kali reshuffle kabinet yaitu 23 Desember 2020 dan 28 April 2021. Bidang Kesehatan dan bidang ketenagakerjaan menjadi bidang yang paling banyak menimbulkan perbincangan sekaligus sorotan terkait dengan kebijakan pemerintah dalam merespon keadaan dalam dua tahun perjalanan pemerintahan ini. Dalam bidang ketenagakerjaan, pemerintah akhirnya menerbitkan UU No. 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja dengan tujuan membuka pintu investasi sebesar-besarnya dan menciptakan lapangan kerja. Namun kemunculan UU yang mendorong deregulasi besar-besaran ini justru menimbulkan banyak kontriversi. Sementara di bidang kesehatan, pemerintah dihadapkan pada pandemi Covid-19 yang melanda dunia.
Bidang Kesehatan : Rapor Merah Penanganan Pandemi Covid-19
Pandemi Covid-19 di Indonesia yang secara resmi dimulai di akhir Maret 2020, ditandai dengan pernyataan Presiden tentang ditemukannya dua kasus covid-19 di Indonesia. Sampai pertanggal (26/10), dalam data Worldmeters Covid-19, Indonesia mencatat 4,249,479 kasus dan berada di peringkat ke-14 di dunia, nomor ke-3 di Asia dan nomor ke-1 di ASEAN. Dibanding negara ASEAN lain jumlah kasus Covid-19 Indonesia juga jauh lebih tinggi. Indonesia juga telah mencatat 143,235 kasus kematian akibat Covid-19 atau menjadi nomor ke-7 di dunia, nomor ke-2 di Asia dan nomor 1 di ASEAN untuk jumlah kematian. Bahkan Indonesia pernah menjadi tertinggi di dunia dalam jumlah kematian harian pada saat gelombang kedua melanda di bulan Juli lalu.
Penanganan Covid-19 di Indonesia bisa dikatakan identik dengan gugup dan terlambat melakukan antisipasi, kebijakan pembatasan yang maju-mundur, data yang semrawut dan ketidaksiapan fasilitas kesehatan dalam menghadapi ledakan kasus. Ketika Presiden menyampaikan kasus pertama Covid-19 di awal Maret, banyak pihak termasuk kalangan ahli meyakini bahwa Covid-19 sudah masuk Indonesia sebelum itu dan jumlah kasus sudah cukup banyak. Pemerintah dinilai terlambat melakukan antisipasi dengan melakukan pembatasan pendatang dari luar khususnya dari negara yang sudah mengalami peningkatan kasus Covid ketika wabah Covid-19 sudah ramai di awal tahun. Pemerintah diawal pandemi bahkan cenderung menganggap remeh melalui berbagai pernyataan dari beberapa pejabat negara. Pemerintah terkesan menolak peringatan-peringatan yang disampaikan lembaga dunia dan penelitian-penelitian berbagai universitas dunia bahwa Covid-19 bisa saja menyerang Indonesia. Akibatnya fasilitas seperti laboratorium (Lab) pemeriksaan maupun fasilitas kesehatan (faskes) di rumah sakit (RS) tidak cukup siap ketika kasus terus meningkat.
Banyak kalangan juga meyakini bahwa data jumlah kasus maupun kematian akibat Covid-19 yang dilaporkan pemerintah juga tidak mencerminkan kasus sebenarnya dan banyak kasus yang unreported. Selain karena diyakini kasus Covid-19 sudah ada sejak awal tahun 2020, terbatasnya jumlah laboratorium pemeriksaan diawal pandemi, pelacakan kasus yang kurang massif dan masyarakat yang takut menjalani tes serta jumlah tes yang minim menjadi alasan banyaknya kasus yang tidak dilaporkan. Sampai saat ini total jumlah tes yang sudah dilakukan oleh Indonesia baru 45,3 juta tes atau baru 164 ribu tes per satu juta penduduk. Sementara India dengan jumlah kasus yang juga tinggi mencapai 430 ribu tes per 1 juta penduduk dan Malaysia yang mencapai 1 juta tes per 1 juta penduduk. Biaya tes PCR yang tinggi di Indonesia juga menjadi penyebab rendahnya tes dan banyaknya kasus yang tidak dilaporkan. Pemerintah baru membuat kebijakan membatasi biaya tes PCR setelah pandemi berlangsung 1,5 tahun dan melewati gelombang kedua.
Lambatnya kebijakan pembatasan pendatang menjadi pemicu kenaikan kasus yang cepat. Setelah Covid merebak di dunia di awal tahun, baru pada akhir Maret pemerintah melakukan pembatasan kedatangan dari negara-negara yang sedang terjangkit Covid-19. Namun kedatangan dari China sebagai episentrum pandemi justru masih dimungkinkan selama bukan penerbangan langsung dari China. Pembatasan yang lambat terjadi lagi pada Mei 2021 ketika India sedang diamuk Varian Delta yang menyebabkan peningkatan tajam kasus dan kematian akibat Covid. Pemerintah tidak mengantisipasi masuknya pendatang dari India yang masuk termasuk untuk menghindari wabah di negaranya.
Akibatnya Indonesia dilanda gelombang ke-3 dengan kasus harian tembus 50 ribuan dan kematian harian tembus 3000 an. Pelayanan rumah sakit pun kolaps dan banyak nakes yang terpapar bahkan wafat. Mengutip dari Katadata, sampai 15 September sudah 2021 tenaga kesehatan yang wafat akibat covid-19 dan 730 diantaranya adalah dokter, mulai dari dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis bahkan guru besar. Sungguh ini sebuah kehilangan yang besar mengingat masih sulit memenuhi kebutuhan dokter di Indonesia. Bahkan kita mengalami kelangkaan oksigen medis yang menjadi penyebab banyak kematian ketika gelombang kedua Covid-19 mencapai puncaknya.
Disisi lain, janji untuk pengembangan vaksin, alat kesehatan dan farmasi yang disampaikan pemerintah juga sangat lambat realisasinya. Dalam penanganan Covid-19, Indonesia menjadi sangat bergantung pada produk impor baik dalam bentuk test kit, alat bantu pernafasan, obat-obatan sampai dengan vaksin. Padahal untuk vaksin, Indonesia memiliki Biofarma yang sudah dikenal dunia dalam pengembangan dan produksi vaksin. Vaksin Merah-Putih yang diwacanakan sejak semester 2 tahun 2020, sampai hari ini masih belum jelas perkembangan uji klinis nya. Padahal hari ini vaksinasi dosis 1 sudah diberikan kepada 113,4 juta orang dan dosis 2 sudah ke 68,3 juta orang yang kesemuanya menggunakan vaksin asal impor. Demikian pula dengan pengembangan alkes untuk penanganan covid-19 yang hampir tidak ada kabar perkembangannya, bahkan ketika kita sangat membutuhkan alkes tersebut saat puncak gelombang ke-2.
Bidang Kesehatan: Stunting dan Kesehatan Ibu dan Bayi Belum Membaik
Dua tahun pemerintahan ini juga ditandai dengan belum membaiknya upaya penurunan stunting dan peningkata kualitas kesehatan ibu dan anak. Permasalahan stunting masih menjadi pekerjaan besar. Berdasarkan Global Nutrition Report pada 2018, Prevalensi Stunting Indonesia dari 132 negara berada pada peringkat ke-108, sedangkan di kawasan Asia Tenggara prevalensi stunting Indonesia tertinggi ke dua setelah Kamboja dan nomor 4 di Asia. Data SSGBI 2019 juga menunjukkan angka stunting Indonesia mencapai 27,7% dan balita underweight mencapai 16,3%. UNICEF bahkan memperkirakan ada sekitar 31,8% anak di Indonesia mengalami stunting pada 2021. Artinya hampir sepertiga anak di Indonesia mengalami masalah dalam pertumbuhannya.
Pemerintah melalui Kementerian Sekrertariat Negara memang telah membentuk Tim Nasional Percepatan Pencegahan Nasional. Namun kebijakan penanganan stunting ini masih menunjukkan koordinasi yang lemah. Hal yang paling sederhana misalnya adalah meskipun BKKBN telah ditunjuk sebagai koordinator untuk percepatan pencegahan stunting, namun anggaran penanganan stunting terbesar justru ada di Kementerian Kesehatan. Di lapangan juga komunikasi antar intansi ini masih terjadi. Ada ego sektoral yang masih terjadi yang harus segera diatasi.
Kebijakan menekan angka kematian bayi lahir (AKB) dan angka kematian ibu melahirkan (AKI) juga masih belum menunjukkan keberhasilan yang signifikan. AKB dan AKI diperkirakan masih belum dapat memenuhi target pembangunan berkelanjutan SDGs. Pada 2020 AKI Indonesia masih mencapai 230 per 100 ribu kelahiran, masih jauh dari target MDGs sebesar 102, apalagi target SDGs sebesar 70. Demikian pula dengan AKB yang mencapi 21 per 100 ribu kelahiran, yang masih jauh dari target SDGs sebesar 12 kematian per 100 ribu kelahiran.
Pandemi Covid-19 yang berkepanjangan memperburuk upaya peningkatan kesehatan ibu, bayi dan balita. Menurunnya penyelenggaraan Posyandu dan pelayanan kehamilan rutin bagi ibu hamil akibat Puskesmas dan (Rumah Sakit Umum Daerah) RSUD yang sempat tutup. Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) misalnya menyebutkan 84% Pelayanan Kesehatan Terdampak dalam 6 bulan awal pandemi dan 83,6% Puskesmas mengalami penurunan kunjungan pasien. Disisi lain alokasi anggaran untuk peningkatan Kesehatan Ibu dan anak di tahun 2021 hanya 0,8 triliun atau hanya 1% dari total anggaran prioritas nasional bidang kesehatan dan hanya 0,9.% dari total anggaran Reguler Kemenkes.
Carut-Marut BPJS Kesehatan dan Ujian Otonom BPOM
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) yang diharapkan menjadi jaring pengaman sektor kesehatan juga masih menyimpan persoalan dalam 2 tahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Terakhir adalah rencana penghapusan 9 juta data Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Kesehatan dengan alasan sudah banyak perubahan data, padahal Kemensos dan Pemda belum lagi melakukan pendataan keluarga pasca pandemi dalam rangka pembaruan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). PR lama soal data BPJS Kesehatan juga belum lagi diperbaiki oleh manajemen BPJS Kesehatan terkait dengan rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Kebijakan menaikan iuran BPJS Kesehatan juga telah menyebabkan migrasi peserta yang cukup besar terutama bagi peserta iuran mandiri dari kelas 1 ke kelas 2 maupun kelas 2 ke kelas 3.
Komisi IX DPR RI telah berkali-kali mengingatkan agar manajamen BPJS Kesehatan memperbaiki data kepesertaan dulu sebelum menaikan tarif. Agar bisa terlihat dimana sebetulnya persoalan keuangan BPJS yang menyebabkan terjadinya defisit. Padahal disaat yag sama juga banyak rumah sakit yang belum dibayarkan klaimnya oleh BPJS Kesehatan. Beljum lagi persoalan fraud yang juga belum diselesaikan oleh BPJS Kesehatan.
Dua tahun pemerintahan ini juga ditandai dengan ujian otonom Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) terutama di masa pandemi. BPOM berkali-kali mendapat “tekanan” terkait independensinya dalam mengeluarkan ijin edar obat maupun penilaian atas hasil uji klinis vaksin. Hal ini membuat BPOM juga menjadi kurang fokus dalam melakukan pengawasan terhadap peredaran obat, kosmetik dan makanan ilegal ataupun kadaluarsa di masyarakat. Kepanikan masyarakat akibat pandemi covid-19 dimanfaatkan dengan banyaknya beredar obat dan suplemen ilegal di masyarakat. Bulan lalu bahkan Polri mengungkap peredran obat ilegal dengan barang bukti hasil kejahatan mencapai 531 miliar rupiah
Bidang Ketenagakerjaan : UU Cipta Kerja dan Kartu Prakerja yang Belum Memberi Harapan
Dua tahun pertama pemerintahan Jokowi-Ma’ruf juga jalan terus untuk mengeluarkan dua kebijakan yang kontriversial yaitu mengesahkan UU Cipta Kerja dan meluncurkan Kartu Pra Kerja. Sejak awal inisiasinya, UU Cipta Kerja sudah banyak mendapat sorotan selain karena konsep Omnibus Law yang diajukan tidak lazim dalam sistem perundang-undangan Indonesia, juga karena prosesnya yang tidak transparan dan cenderung dipaksakan untuk disahkan. Belum lagi dengan perbedaan draft yang muncul ke publik sampai dengan perbedaan jumlah halaman atas UU yang sudah disahkan.
Muatan UU Cipta Kerja juga justru tidak memberikan manfaat dan tidak menjawab persoalan yang dihadapi pekerja saat ini. UU Cipta Kerja bahkan dinilai mengancam linkungan hidup, hak azasi manusia dan akan menimbulkan kegaduhan di daerah terkait eksistensi peraturan daerah yang ada. Alih-alih ingin menciptakan lapangan kerja, muatan UU Cipta Kerja justru melemahkan tiga prinsip dalam hukum ketenagakerjaan yaitu adanya kepastian pekerjaan (job security), jaminan pendapatan (income security) dan kepastian jaminan sosial (social security). UU Cipta Kerja juga dinilai kurang memberikan perlindungan bagi pekerja, bahkan sangat mengurangi kesejahteraan yang selama ini didapat oleh pekerja seperti ketentuan tentang pemutusan hubungan kerja, alih daya (outsourcing), ketentuan kontrak dan upah minimum.
UU Cipta Kerja yang diharapkan menciptakan lapangan kerja melalui kemudahan berinvestasi justru menghadapi ujian pertamanya dengan datangnya wabah covid-19. UU ini tidak berdaya ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa pandemi telah menyebabkan jutaan UMKM harus menghentikan usahanya atau berkurang jauh pendapatannya, peningkatan pengangguran (dari 4,9% menjadi 7%) akibat banyak usaha yang tutup permanen, tutup sementara atau pengurangan jam kerja, 9,77 juta pengangguran terbuka baru dan 27 juta angktan kerja terdampak pandemi. Padahal kita juga dihantui dengan kecenderungan meningkatnya pengangguran usia muda terutama akibat pandemi covis-19 ini. Lembaga CORE Indonesia mengatakan tingkat pengangguran muda Indonesia menjadi yang tertinggi se-Asia Tenggara dengan angka mencapai 20%, sementara negara-negara tetangga hanya dibawah 15%.
Sementara Kartu Prakerja yang diharapkan menjadi penyangga bagi para pencari kerja sekaligus meningkatkan kesiapan memasuki dunia kerja, ternyata juga belum memberikan hasil yang diharapkan. Kartu prakerja justru menjadi kontroversi karena pelatihan yang diberikan tidak sesuai kebutuhan atau yang bisa didapatkan secara gratis di berbagai sosial media, padahal dibiayai dari anggaran Kartu Prakerja ini. Belum lagi vendor untuk penyediaan pelatihan ini yang melibatkan perusahaan milik staf khusus Presiden. Kartu Prakerja yang sudah mencapai gelombang ke-22 sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang nyata dalam mengurangi pengangguran dan menciptakan wirausahawan baru. Lagi-lagi pandemi covid-19 menjadi tantangan untuk menguji efektivitas program Kartu Prakerja yang sudah menghabiskan anggaran yang cukup besar. Belum ada evaluasi yang komprehensif terhadap efektivitas program ini yang bisa dipertanggungjawabkan kepada publik.
Persoalan PMI dan Kisruh Dana BPJS Ketenagakerjaan
Rapor merah lain dibidang ketenagakerjaan adalah masalah perlindungan maupun penempatan pekerja migran Indonesia (PMI). Kasus-kasus baru menyangkut perlindungan PMI masih terus bertambah, dan bukan hanya pekerja pada sektor domestik atau perkebunan, bakan juga PMI yang bekerja di kapal-kapal ikan asing. Perlindungan terhadap PMI yang masih lemah menyebabkan banyaknya PMI yang bernasib memprihatinkan di luar nageri yang belum terselesaikan. Bahkan termasuk PMI yang meninggal dunia di negara tempatnya bekerjaa yang belum mendapatkan penanganan secara baik dan manusiawi. Koordinasi yang masih lemah antara Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) menjadi salah satu aspek yang harus diperbaiki.
Permasalahan terbaru PMI adalah terkait penempatan calon PMI ke negara tujuan bekerja yang tertunda akibat pandemi. Padahal pengiriman PMI ini diharapkan menjadi solusi persoalan pengangguran di dalam negeri. Penempatan PMI formal maupun informal menurun jauh dalam dua tahun terakhir dibanding tahun sebelumnya. Sementara penempatan kembali PMI disaat pandemi di negara tujuan kerja sudah menurun juga masih belum menemui kejelasan. Padahal para calon PMI sudah memenuhi semua peryaratan yang diminta.
Persoalan besar lain adalah dalam pengelolaan dana peserta BPJS Ketenagakerjaan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat portofolio investasi BPJS Ketenagakerjaan masih negatif Rp32,8 triliun per Juli 2021. Investasi minus disebabkan oleh unrealised loss penurunan kinerja saham yang diinvestasikan akibat pandemi covid-19. BPK juga menukan 20 kasus yang memuat 45 permasalahan dengan nilai Rp13,58 miliar dan meminta agar dilakukan cutloss enam saham yang diinvestasikan oleh BPJS Ketenagakerjaan. BPK juga merekomendasikan agar manajemen menyusun dan menerapkan langkah-langkah pemulihan unrealised loss secara rinci dengan tidak hanya menggantungkan pada faktor uncontrollable seperti IHSG serta memulihkan likuiditas dan solvabilitas program jaminan hari tua (JHT) minimal pada angka 100 %. Manajemen juga diminta melakukan rekomposisi kepemilikan reksa dana untuk mengantisipasi terjadinya ketidakstabilan pasar dengan mempertimbangkan risiko dan hasil investasi yang lebih optimal. Perlu dipertanyakan juga peran Dewan Pengasas BPJS Ketenagakerjaan terhadap loss investment dan menurunnya pertumbuhan bagi hasil investasi hampir di semua dana jaminan.
Ketahanan Keluarga yang Masih Rapuh
Dua tahun perjalanan pemerintahan juga ditandai dengan belum signifikannya upaya memperkuat ketahanan keluarga. Kasus perceraian keluarga terus mengalami peningkatan yang menunjukkan kerapuhan ketahanan keluarga. Pada 2020 persentase perceraian naik menjadi 6,4% dari 72,9 juta rumah tangga di Indonesia atau terjadi pada 4,7 juta keluarga. Data kemendagri juga mengkonformasi terjadinya peningkatan perceraian ini dimana hingga akhir Juni 2021 ada 3.97 keluarga berstatus cerai.
Pandemi yang belum dapat teratasi secara komprehensif, juga memberi dampak terhadap ketahanan ekonomi keluarga. Banyak keluarga yang pendapatan keluarganya berkurang drastis atau bahkan mandeg akibat meningkatnya jumlah PHK. Data BPS mencatat jumlah pengangguran di Indonesia di bulan Februari 2021, mencapai 8,75 juta orang. Maka jika diasumsikan bahwa 2 dari tenaga kerja yang menganggur tersebut ada dalam 1 keluarga, berarti terdapat 4 juta lebih keluarga yang mengalami dampak pengangguran tersebut. Gangguan ekonomi keluarga ini tentu saja berdampak luas terhadap ketahanan aspek lainnya dalam keluarga, seperti aspek ketahanan kesehatan keluarga dan juga aspek ketahanan sosial keluarga.
Angka kejahatan terhadap anak juga menunjukkan peningkatan dalam dua tahun terakhir. Laporan KPAI menunjukkan terjadinya peningkatan laporan kasus perlindungan anak dari 4368 kasus di 2019 menjadi 4634 di 2020. Sementara di 2021, sampai bulan Juli sudah ada 5463 kasus kejahatan terhadap anak dengan sebagian besarnya terjadi pada remaja (57%). Dari jumlah kasus tersebut, ironisnya 95% terjadi di dalam rumah tangga. Data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak periode Januari-Juni 2021 mencatat ada 6.096 kasus kekerasan, dan diantaranya terdapat 6.651 anak menjadi korban.
Data ini menunjukkan jumlah korban jauh lebih banyak daripada kasus yang dilaporkan. Di media massa, dalam setahun terakhir ini juga kita disajikan dengan berbagai kasus asusila di dalam keluarga seperti kasus kejahatan seksual dan pencabulan terhadap anak di berbagai daerah, anak yang dijadikan tumbal pesugihan, anak yang dipaksa bekerja dan anak yang diterlantarkan orang tuanya. Hampir tidak ada lagi tempat aman bagi anak-anak dan remaja khususnya perempuan. Mereka menjadi korban justru di tempat yang harusnya mereka mendapat perlindungan
Dua tahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf masih banyak janji yang belum tertunaikan pada sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Masih banyak persoalan yang belum diselesaikan di bidang kesehatan dan ketenagakerjaan di tengah tantangan yang semakin berat.