Oleh: Dr. Kurniasih Mufidayati, M.Si
Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera
KETIKA merumuskan arah perjuangannya, sekitar 600 perempuan peserta Kongres Perempuan di sebuah pendopo, 22-25 Desember 1928, memfokuskan perjuangannya pada bidang pendidikan bagi perempuan. Para perempuan dari berbagai daerah di Nusantara ini menuntut pemerintah Hindia Belanda saat itu untuk menambah sekolah dan menyediakan beasiswa bagi anak perempuan, memberantas buta huruf dan menghambat pernikahan di usia belia.
Tuntutan yang mereka rumuskan mencerminkan tiga keinginan yaitu keinginan untuk bangkit dari ketertindasan dominasi kaum pria, keinginan untuk cerdas dan terpenuhi kebutuhan kognitifnya serta tetap bermartabat dengan terjaga jati diri sesuai fitrahnya (Wiryaningsih, 2014).
Cita-cita untuk berdaya, maju dalam pemikiran dan berkontribusi untuk bangsa sesungguhnya telah terpatri dalam perempuan Indonesia sejak dulu, dengan tetap ingin menjaga fitrahnya sebagai perempuan. Momen lahirnya cita-cita besar perempuan nusantara inilah yang kemudian diabadikan setiap tahun sebagai hari ibu.
Kini, 91 tahun sejak hasrat dan cita-cita itu dirumuskan, perempuan Indonesia memang telah mencapai kesetaraan pendidikan dan akses pendidikan yang terbuka pada semua jenjang. Perempuan bergelar Profesor sudah bukan lagi bilangan puluhan, namun ratusan, dan tersebar pada berbagai bidang ilmu. Begitu juga perempuan yang menjadi Menteri karena keahliannya, kepala daerah, anggota legislatif di berbagai leval, maupun posisi puncak di berbagai perusahaan multinassional. Mereka yang memiliki potensi, kesempatan, daya dukung dan mampu memanfaatkan, maka akan mampu meraihnya.
Pekerja Migran: Sisi Lain Perempuan Indonesia
Di balik berbagai pencapaian perempuan Indonesia, kita juga menyimpan sisi lain perempuan Indonesia yang berjuang untuk keluarganya. Perempuan Indonesia yang karena tuntutan ekonomi, sulitnya pekerjaan di kampung halaman dan keinginan untuk memperbaiki nasib keluarga, mengharuskan mereka untuk bekerja jauh meninggalkan keluarga, kampung halaman bahkan negeri tercinta sampai keluar negeri,
Bahkan, perempuan pekerja migran ini jumlahnya lebih dominan dibanding laki-laki. Data Migrant Care menyebutkan, dari sekitar 4,5 juta pekerja migran yang tersebar di berbagai negara, 70% adalah perempuan. Sementara data lain dari BNP2TKI menyebutkan bahwa dalam kurun 2011-2016, pekerja migran perempuan mencapai 53% dari pekerja migran Indonesia dan data Oktiber 2017 proporsinya mencapai 67% dari keseluruhan pekerja migran Indonesia.
Sebagian besar pekerja migran perempuan ini bekerja di sektor domestik yaitu pembantu rumah tangga, perawat anak, orang sakit atau manula, atau sektor-sektor yang penuh resiko (3D: Dark, Dirty, Dangerous).
Sebagaimana lazimnya perempuan sebagai kelompok yang rentan, maka pekerja migran perempuan pun berada dalam kondisi yang rentan. Kerentanan pekerja migran perempuan bahkan terjadi sejak dalam tahap perekrutan dimana kelompok ini sangat rawan dengan penipuan. Keinginan untuk membantu meringankan keluarga, memperbaiki nasib membuat pekerja perempuan gambang terbujuk berbagai tawaran. Akhirnya, mulai dari pemalsuan umur, jenis pekerjaan sampai dengan trafficking terjadi pada proses rekrutmen. Tidak sedikit juga kasus dimana pekerja migran perempuan dijadikan sebagai kurir narkoba dalam jaringan perdagangan narkoba internasional.
Pada tahap bekerja di luar negeri, masih banyak pelanggaran terhadap hak pekerja perempuan, seperti pelanggaran hak cuti melahirkan, hak memberikan asi dan hak cuti haid. Di sisi lain, masih rendahnya pendidikan dan keterampilan buruh migran Indonesia, masih banyak keluarga buruh migran yang belum dapat menggunakan hasil pendapatan bekerja (remitansi) dengan baik, rentannya ketahanan keluarga buruh migran, hingga masih belum terpenuhinya hak anak buruh migran.
Bekerja menjadi pekerja migran bagi perempuan, terutama di pedesaan di daerah tertinggal menjadi mata rantai kemiskinan yang bahkan menjadi “budaya”. Masih adanya pandangan bahwa perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi karena nantinya akan menjadi istri, membuat ketika kebutuhan hidup tinggi, maka menjadi pekerja migran adalah pilihan mengatasi kesulitan ekonomi dengan jenis pekerjaan yang berputar di sektor domestik.
Perempuan paling sering menjadi korban dari kemiskinan dengan berbagai bentuknya. Sulit keluar dari belitan kemiskinan karena terbatasnya akses ke sumberdaya ekonomi, namun paling menderita karena tekanan ekonomi
Pada situasi yang sulit, perempuan dihadapkan pada pilihan yang sempit, salah satunya dengan menjadi pekerja migran melalui proses atau prosedur yang tidak aman. Situasi ini diperburuk dengan meluasnya industri penempatan buruh migran (PJTKI) yang kerap mengabaikan unsur-unsur perlindungan bagi calon pekerja migran dalam proses migrasi yang dilakukan
Dilema Pekerja Migran Perempuan
Data Migrant Care menunjukkan 51% pekerja migran perempuan berperan sebagai istri (memiliki keluarga yang ditinggalkan). Bahkan 85% dari mereka juga telah memiliki anak yang berarti ada anak yang harus ditinggalkan demi bekerja). Mereka bekerja di luar negeri demi membiayai kebutuhan hidup keluarga di kampung yang tidak dapat dipenuhi oleh kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya.
Namun, pilihan untuk bekerja di luar negeri dan tercukupinya kebutuhan ekonomi keluarga bukan berarti persoalan selesai, bahkan justru timbul permasalahan baru.
Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPA) misalnya, menemukan permasalahan yang perlu ditangani secara serius terkait dengan keluarga pekerja perempuan migran yang ditinggalkan. Permasalahan yang dihadapi TKI dan keluarganya menyangkut tiga hal, yaitu (1) pengelolaan modal/remitan/kiriman hasil bekerja di luar negeri yang cenderung dimanfaatkan untuk keperluan konsumtif; (2) meningkatnya kasus-kasus keretakan hubungan rumah tangga, seperti meningkatnya perselingkuhan, bahkan berujung dengan meningkatnya perceraian dan penelantaran anak; (3) permasalahan pembinaan anak-anak TKI.
Penelitian yang dilakukan oleh Rahayu, Mubin dan Nurhidayati (2013) menemukan empat bentuk dampak yang terjadi pada keluarga yang ditinggalka oleh pekerja migran perempuan. Keempat dampak tersebut adalah pengalihan perhatian (displacement), sosial spiritual, pola aktivita harian dan investasi. Displacement bisa muncul dalam bentuk negative, suami yang ditinggalkan mengalihkan oerhatian pada wanita lain yang dapat berujung pada perceraian.
Sosial spiritual terkait dengan kondisi keluarga yang tidak utuh dalam kurun waktu tertentu, dapat berpengaruh pada kemampuan individu mengontrol dirinya dalam menjalankan prinsip-prinsip dalam hidup, dimana sosial sporitaul seperti memperbanyak ibadah, ikut pengajian, berdoa bisa menjadi alat pengontrol yang positif. Namun jika hal tersebut tidak ditemukan, maka kerentanan keluarga akan sangat besar dan aktivitas spiritual justru semakin menurun jauh.
Aktivitas harian yang negatif bisa muncul ketika suami atau keluarga yang ditinggalkan bekerja keluar negeri kemudian merasa tidak perlu lagi bekerja. Sehingga aktivita hariannya menjadi tidak produktif meskipun berada di usia yang produktif.
Perempuan pekerja migran juga dihadapkan pada perannya sebagai penyokong utama ketahanan keluarga . Perempuan memiliki tugas besar dalam pendidikan keluarga dan membentuk karakter anak-anaknya serta mengasah potensi yang dimiliki anak-anaknya. Di era modern dan keterbukaan informasi seperti saat ini, Para ibu semakin dituntut untuk memahami tugas besar pendidikan dan pembentukan keluarga.
Sebagai subjek, ibu berhadapan dengan anak-anak yang menjadi tanggung jawabnya. Ia wajib mendidik anak-anak itu hingga menjadi manusia berkualitas. Di atas segala aktivitasnya, peran di rumah untuk mendidik anak tak boleh terabaikan.
Ibu harus punya keteladanan dalam berbagai hal. Di rumah, sebagai ibu rumah tangga hingga di gedung parlemen sebagai politikus, ia harus menunjukkan teladan yang baik bagi anak-anaknya.
Fitrahnya sebagai perempuan dan ibu dari anak-anaknya, menjadikan perempuan pekerja migran juga menginginkan ini bisa dilakukan dalam keluarganya. Namun di sisi lain, kebutuhan ekonomi membuatnya harus meninggalkan keluarga dan hanya sedikit berinteraksi dengan anak-anaknya.
Langkah yang dibuat Kementerian PPA dengan memperkuat melalui Pelatihan Ketahanan Keluarga dan Pemenuhan Hak Anak patut untuk didukung dan diapresiasi. Namun tentu saja langkah yang dilakukan masih sangat terbatas karena baru dilakukan pada 1200 orang di tiga propinsi yang menjadi daerah “pengirim” terbanyak pekerja migran yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan NTB. Selain perlu ditingkatkan, program ini sudah seharusnya juga diperkuat dan diperluas juga oleh pemerintah propinsi maupun kabupaten yang warganya banyak menjadi pekerja migran.
Pekerja migran perempuan tentu ingin juga menjalankan peran ibu bagi keluarganya. Perempuan yang juga perlu untuk mengembangkan diskursus introspektif akan perannya sebagai pusat pendidikan generasi. Maka di peringatan Hari Ibu, kita semua perlu untuk memikirkan, mendukun g dan mencari jalan terbaik dalam mendukung pekerja migran perempuan untuk bisa menjalankan peran sebagai pendidik.
Sebagaimana yang dilakukan peserta Kongres Perempuan pertama, para ibu juga harus melakukan penyadaran kepada kaumnya untuk tugas utama ini, menjadi ibu berkualitas. (*)