Kartu Pra Kerja, Jangan Sampai Bikin Kecewa

Mulai tahun 2020, Pemerintah mulai membagikan Kartu Pra Kerja yang menjadi janji program yang disampaikan Presiden Jokowi pada saat Debat Capres lalu. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IX DPR, Menteri Tenaga Kerja menyampaikan bahwa untuk pelaksanaan program ini, pemerintah menyiapkan anggaran Rp 10 triliun yang dialokasikan dalam APBN 2020 yang diperuntukan untuk 2 juta peserta.

Sejak awal dimunculkan, program ini menimbulkan kontroversi dan banyak pertanyaan. Bagaimana mungkin dengan kondisi keuangan negara yang sulit dan utang negara yang besar, justru memberikan “gaji” pada mereka yang menganggur ? Bukankah ini akan membuat orang akan semakin malas ? sehingga banyak joke satire yang menyatakan enaknya jadi penganggur di Indonesia karena akan diberikan “gaji”. Sulit membayangkan bagaimana bentuk pemberian uang pada pencari kerja melalui Kartu Pra Kerja tersebut.

Bentuk Insentif yang Tidak sesuai ‘Bayangan’

Dalam RDP dengan Komisi IX baru terungkap bahwa insentif yang diberikan kepada mereka yang belum bekerja yang menjadi peserta program ini tidak diberikan dalam bentuk tunai seluruhnya. Meskipun alokasi anggaran untuk insentif ini berkisar antara Rp 3,65 juta sampai Rp 7,65 juta, namun insentif ini akan diberikan dalam empat bentuk. Insentif akan digunakan untuk membiayai pelatihan, biaya sertifikasi, insentif pasca-pelatihan dan biaya pengisian survey. Dengan demikian yang akan diberikan dalam bentuk tunai kepada pencari kerja yang menjadi peserta hanyalah insentif pasca-pelatihan sebesar Rp 500 ribu dan hanya diberikan sekali untuk kebutuhan mencari kerja.

Formulasi ini tentu saja berpotensi memberikan kekecewaan bagi para angkatan kerja yang sudah berharap banyak pada program ini. Mereka yang sudah membayangkan akan mendapat insentif tiap bulan selama masa menunggu mendapat kerja sebagaimana yang dibayangkan saat kampanye Pilpres lalu. Sementara alokasi anggaran untuk pengisian survey sebesar Rp 150 ribu. Sedangkan untuk biaya sertifikasi, meskipun sudah mendapat subsidi dari pemerintah, subsidinya mencapai Rp 900 ribu.

Potensi Masalah Implementasi

Di luar persoalan bentuk insentif yang tidak sesuai harapan, ada beberapa potensi permasalahan yang muncul dalam implementasi progam ini di tataran operasional. Pertama adalah masalah pendataan yang menjadi sangat krusial karena peserta program Kartu Pra Kerja ini hanya 2 juta, sementara jumlah pekerja di Indonesia sangat besar. Sangat mungkin mereka yang tidak terhitung sebagai penganggur pada saat ini, adalah mereka yang bekerja di sektor informal atau semi informal (ojek online) hanya sebagai pekerjaan antara untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Dengan demikian diperlukan pendataan dan seleksi untuk menentukan jumlah peserta yang 2 juta.

Proses pendataan dan seleksi yang tidak akurat, tanpa menggunakan basis data yang baik apalagi jika tidak transparan bisa menimbulkan masalah ketidaktepatan sasaran peserta. Belajar dari program seperti BPJS Kesehatan yang ternyata di dalamnya terjadi ksemrawutan data khususnya data untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari pemerintah hingga BPKP pun meminta pihak BPJS melakukan cleansing data terhadap lebih dari 10 juta data peserta. Jika proses pendataan peserta tidak dilakukan dengan baik, pada akhirnya program ini bisa salah sasaran dan dinikmati oleh mereka yang tidak berhak menerimanya. Apalagi kalau kemudian program ini digunakan untuk kepentingan politik karena adanya unsur finansial yang diberikan kepada peserta. Maka potensi program ini akan tidak efektif dalam mengatasi persoalan pengangguran akan semakin nyata.

Kedua adalah masalah tata kelola program. Project Management Office (PMO) dari program ini yang berada di Kementerian Koordinator Perekonomian tentu saja layak dipertanyakan. Bagaimana mungkin setingkat kementerian koordinator mengurusi hal yang sangat teknis sampai dengan pendataan. Kementerian Tenaga Kerja yang memang bergelut dengan masalah tenaga kerja, pengangguran, pelatihan bagi pekerja tentu saja lebih tepat menjadi pengelola dan pelaksana program ini. Selain lebih mudah berkoordinasi denga Dinas Tenaga Kerja di propinsi maupun kabupaten/kota, Kementerian Tenaga Kerja yang memiliki unit-unit teknis pelatihan tentu juga bisa lebih memudahkan pengelolaan program ini yang didalamnya ada unsur pelatihan dan sertifikasi.

Bukankah program nasional seperti Program Keluarga Harapan (PKH) juga dikelola oleh Kementerian Sosial ? Demikian juga dengan program yang sifatnya teknis operasional lain yang dikelola oleh Kementerian teknis. Akan lebih baik jika kementerian koordinator lebih fokus pada masalah koordinasi di bidang perekonomian yang masih sering kacau dan tidak sinkron ? Kasus-kasus impor yang tidak tepat waktu dan komoditas dan iklim investasi yang buruk di tengah menurunnya sektor manufaktur hanya sekelumit contoh kasus buruknya koordinasi di bidang perekonomian ini. Pengelolaan program yang memberikan insentif kepada 2 juta pencari kerja oleh Kementerian yang tidak tepat dengan Menteri yang dipimpin oleh seorang ketua partai politik, wajar jika menimbulkan kecurigaan bahwa program Kartu Pra Kerja ini bisa disalahgunakan untuk kepentingan politik.

Program yang baik dengan tujuan yang baik haruslah dikelola dengan cara yang baik dan efektif juga. Apalagi ini melibatkan anggaran yang tidak sedikit ditengah anggaran kita yang terus defisit. Jangan sampai program ini menimbulkan kekecewaan ganda di masyarakat yang sudah berharap banyak. Kecewa karena bentuk insentif yang tidak sesuai bayangan, dan kecewa karena program banyak salah sasaran peserta dan tidak efektik mengurangi pengangguran.

Sumber: https://kumparan.com/media-mufida/kartu-pra-kerja-jangan-sampai-bikin-kecewa-1sSZodwHVb3