Selama beberapa tahun, tuntutan yang selalu mengemuka dari kalangan pekerja dan serikat pekerja di Indonesia dalam memperingati Hari Buruh berpokok pada beberapa isu yaitu pengupahan, kontrak kerja dan outsourcing, jaminan kesejahteraan pekerja, hubungan industrial dan perlindungan terhadap pemutusan hubunhgan kerja (PHK) sepihak. Dalam beberapa tahun terakhiur, isunya bertambah dengan penolakan terhadap derasnya arus masuk tenaga kerja asing dan belitan iuran BPJS yang harus dibayar pekerja bukan penerima upah. Di sisi lain, pemerintah dalam beberapa tahun terakhir juga selalu membanggakan diri dengan menurunnya jumlah pengangguran di Indonesia.
Isu pengupahan masih terus mengemuka dalam tuntutan pekerja. Mulai dari tuntutan untk revisi PP Nomor 78 Tahun 2015 agar melibatkan serikat pekerja dalam penentuan UMP, tidak lagi menggunakan parameter inflasi dan pertumbuhan ekonomi dalam penentuan UMP dan penggunaan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dngan menggunakan 84 item (saat ini 64 item), sampai dengan perluasan bidang-bidang yang dapat ditetapkan upah minimum sektor yang biasanya lebih tinggi dari UMP. Sehingga para pekerja di masing-masing sektor bisa mendapat upah yang lebih tinggi dari UMP yang ditetapkan. Namun saat ini persoalan upah masih belum dapat penyelesaian yangh baik. Kalangan pengusaha menganggap bahwa dalam kondisi ekonomi yang masih lesu, sulit unuk bisa memenuhi tuntutan upah pekerja. Bahkan upah dianggap menjadi salah satu penghambat masuknya investasi di Indonesia.
Keadaan ekonomi yang sulit dan persaingan yang semakin ketat pula yang membuat kalangan pengusaha menyiasati dengan lebih banyak menggunakan tenaga kerja dengan sistem kontrak dan outsourcing. Sehingga tidak ada implikasi pemberian pesangon maupun jaminan hari tua ketika keadaan membuat perusahaan melakukan pengurangan tenaga kerja dan melakukan pemutusan hubungan kerja. Bagi pekerja, kondisi ini tentu saja sangat tidak memberikan keamanan dan jaminan kelangsungan hidup karena sewaktu-waktu bisa diputus kontrak kerja dan outsourcing-nya
Kartu Prakerja dan Harapan Pekerja
Alih-alih memenuhi tuntutan kalangan pekerja untuk memperbaiki kebijakan dan aturan pengupahan, jaminan kesejahteraan dan kelangsungna nasib pekerja, pemerintah justru muncul dengan program Kartu Prakerja dengan anggaran yang cukup besar. Program Kartu Prakerja yang diperuntukkan bagi para pengangguran dan pencari kerja ini menjadi tidak sinkron dengan gembar-gembor pemerintah yang menyatakan angka pengangguran terus menurun. BPS misalnya menyebutkan bahwa Tingkat Pengangguran terbuka (TPT) menurun dari 2015 ke 2019 sebesar 0,9%. TPT tahunan juga menurun dari 5,34 pada Agustus 2018 menjadi 5,28 pada Agustus 2019.
Kartu Prakerja sendiri menyimpan beberapa potensi permasalahan maupun kerancuan pengelolaan dalam implementasinya. Sejak awal dimunculkan, program ini menimbulkan kontroversi dan banyak pertanyaan. Pada saat diluncurkan, janji manis Kartu Prakerja semakin jauh dari harapan karena terungkap bahwa insentif yang diberikan kepada para i peserta program ini yang diberikan dalam bentuk tunai sangat kecil. Meskipun alokasi anggaran untuk insentif ini berkisar antara Rp 3,65 juta sampai Rp 7,65 juta per peserta, namun insentif ini akan diberikan dalam empat bentuk yaitu pelatihan, serifikasi, insentif pasca pelatihan dan biaya pengisian survey. Biaya yang diterima oleh peserta dalam bentuk tunai hanya insentif pasca pelatihan sebesar Rp. 500.000-an
Pada tahap implementasi, Kartu Prakerja juga menyimpan potensi permasalahan seperti masalah kepesertaan mengingat jumlah peserta awalnya hanya 2 juta orang sementara jumlah pencari kerja faktanya sangatlah besar, termasuk mereka yang saat ini bekerja di sektor informal. Hal ini akan menyulitkan dalam mengelola pendaftaran dan proses seleksi untuk mendapatkan peserta program. Selain itu, Project Management Office (PMO) program ini yang berada di Kementerian Koordinator Perekonomian juga dipertanyakan, karena untuk hal yang sifatnya teknis namun dikelola oleh Kementerian Koordinator. Padahal Kementerian Tenaga Kerja harusnya lebih tepat mengelola progra ini karena bisa berkoordinasi dengan Dinas Tenaga Kerja Daerah dan juga memiliki unit-unit teknis pelatihan tentu juga bisa lebih memudahkan pengelolaan program ini yang didalamnya ada unsur pelatihan dan sertifikasi.
Ketika pandemi covid-19 melanda negeri ini dan bahkan menjadi bencana nasional, alih-alih menunda pelaksanaan program pra kerja, Pemerintah justru memperbesar volume program dengan menaikan anggaran menjadi Rp. 20 riliun dan jumlah peserta menjadi 5 juta. Kartu Prakerja ini harusnya dijadikan sebagai salah satu program stimulus dalam rangka penyelematan jiwa dan jaring pengaman sosial akibat dampak wabah covid-19. Program ini harusnya dapat berdampak besar terhadap pemulihan kehidupan para pekerja terdampak Pandemi, dimana banyak aktivitas ekonomi yang harus ditutup sehingga berlanjut pada pemutusan hubungan kerja, pekerja yang dirumahkan dan pekerja harian yang menurun atau bahkan kehilangan penghasilan.
Dalam kondisi pandemi dan kebijakan social distancing, menjadi sulit untuk melaksanakan program-program yanhg memerlukan tatap muka langsung dan melibatkan banyak orang. Akibatnya proses pendaftaran, seleksi maupun program mengandalkan mekanisme online yang berujung pada berbagai bentuk kekisruhan. Mulai dari waktu pendaftaran dan seleksi tahap 1 yang berubah-ubah, jumlah yang lolos seleksi tahap 1 yang lebih rendah dari yang direncanakan, padahal total pendaftar sudah lebih dari 8 juta. Pelaksanaan ttraining juga menjadi mengandalkan pelatihan berbasis online sehingga kualitasmya juga menjadi pertanyaan. Belum lagi adanya konflik kepentingan dalam pelaksanaan program ini karena ketidakjelasan penunjukkan penyedia pelatihan, sampai adanya perusahaan milik staf khusus presiden yang ditunjuk menjadi penyedia jasa pelatiha berbasis online dengan kompetensi yang tidak sesuai dengan jenis pelatihan yang diberikan. Alih-alih memberikan jawaban terhadap permasalahan pekerja, progra kartu prakerja bahkan tidak memuaskan bagi para pengangguran baru akibat dampak wabah covid-19.
Pengelolaan program kartu prakerja harus trasparan, tepat sasaran dan menjadi solusi bagi situasi pekerja yang sangat banyak terdampak Pandemi. Kewenangan pengelolaan sebaiknya dikembalikan ke Kementrian tenaga kerja dan jajarannya sampe ke daerah sehingga bisa lebih adil dan merata ke seluruh Indonesia. Pemerintah harus lebih realistis dengan kebutuhan pekerja saat ini. Mereka butuh jaminan ketersediaan kwbutuhan pokok dan stimulus recovery kondisi ekonomi pasca pandemi.
Hantu Omnibus Law Cipta Kerja
Pemerintah juga datang dengan program baru dalam bidang ketenagakerjaan dengan rencana memberlakukan Omnibus Law Cipta Kerja yang diajukan ke DPR untuk dibahas. Undang-Undang sapu jagat yang katanya untuk menciptakan lebih banyak lapangan kerja melalui berbagai kemudahan investasi dan usaha itu, justru menuai banyak kontroversi, bahkan ditolak keras kalangan serikat pekerja. Tidak itu saja, Ombibus Law ini juga dipertanyakan kalangan usaha dan dikritik kalangan akademisi dan pakar ekonomi.
Omnibus Law Cipta Kerja (CiKer) ini bahkan sudah kontroversial sejak awal akan diajukan. Dari mulai dianggap tidak sesuai untuk diterapkan di Indonesoa yang bukan penganut Common Law, tidak ada sejarah Indonesia menerapkan Omnibus Law, idak transparannya proses penyiapan karena tidak melibakan pihak-pihak terkait yang berkepentingan, sampai beredarnya banyak versi draft dari RUU Omnibus Law ini di publik. Omnibus Law juga dinilai menyalahi prinsip hukum perauran perundang-undangan karena dalam beberapa pasal di Omnibus Law CiKer ini bahkan menghiduopkan kembali aturan yang sudah dimatikan Mahkamah Konstitusi (MK). Padahal MK sendiri merupakan gerbang terakhir perjuangan untuk keabsahan suatu Undang-Undang untuk diberlakukan. Oleh karea iu sejak awal banyak kalang di DPR menolak keras RUU Omnibus Law CiKer.
Kalangan pakar dan pengamat hukum juga banyak mengkiritik usulan Omnibus Law Ciker ini. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) misalnua menilai RUU Ombibus Law ini kebablasan karena “menghapuskan” lebih dari 400 peraturan yang sudah ada sebelumnya dan menjadi sebuah langkah mundur reformasi regulasi. Pada saat yang Omnibus CiKer ini justru mengamantkan pembentukan peraturan yang cukup banyak yaitu 493 Peraturan Pemerintah, 19 Peraturan Presiden, dan 4 Peraturan Daerah. Ini tentu saja konrakdiktif dengan semangat Omnibus Law yang ingin menyederhanakan jumlah peraturan di Indonesia. PSHK Indonesia juga menilai Omnibus CiKer ini melanggar dua asas pembentukan undang-undang yaitu azas kejelasan rumusan dan azas dapat dilaksanakan. Direktur LBH Jakarta Arif Maulana menuding Omnibus Law CiKer ini cacat formil dan ada upaya penyelundupan hukum oleh pemerintah. Hal paling kontroversial tentu saja adalah ketentuan dalam RUU Omnibus Law adalah aturan bahwa Peraturan Presiden bisa membatalkan Peraturan Daerah dan aturah bahwa Peraturan Pemerinah bisa mengubah Undang-Undang.
Kalangan pekerja sudah pasti menjadi pihak yang paling menolak keras Omnibus Law ini. Bahkan ketika masih bernama Cipta Lapangan Kerja, kalangan serikat pekerja memplesetkan RUU ini menjadi Omnibus Law CiLaKa, sehingga pemerintah mengganti namanya menjadi Cipta Kerja. Alih-alih ingin menciptakan lapangan kerja, Omnibus Law ini sepertiu hantu yang menteror para pekerja karena muatannya yang banyak perugikan pekerja, bahkan menambah pengangguran dan kemiskinan baru. Omnibus CiKer dinilai sangat mengancam kepastian pekerjaan (job security), kepastian pendapatan (income security) dan kepasian jaminan sosial (social security) dari serangkaian aturan yang ada didalamnya. Dengan kata lain omnibus law tersebut tidak ada perlindungan bagi buruh bahkan menghilangkan kesejahteraan yang selama ini didapat oleh buruh.
Omnibus Law CiKer ini bahkan semakin menguatkan beberapa hal yang selama ini diperjuangkan kalangan pekerja untuk ditolak seperti ketentuan outsourcing dan kerja kontrak seumur hidup, PHK yang dilakukan dengan mudah dengan minim konsekuensi bagi pemberi pekerjaan. Implikasi dari outsourcing yang semakin luas dan kontrak kerja tanoa batas ini adalah tidak adanya kepastian jaminan sosial bagi pekerja yang dipekerjakan dengan sistem outsourcing dan kontrak kerja seperti jaminan pensiun, jaminan hari tua dan jaminan kesehatan. Akhirnya pekerja outsourcing dan pekerja kontrak tak ubahnya seperti pekerja bukan penerima upah.
Omnibus Law CiKer ini juga berpotensi menghilangkan ketentuan Upah Minimum karena upah yang didasarkan per satuan waktu. Perjuangan kalangan pekerja dalam memperjuangkan upah menjadi semakin berat karena dalam RUU Omnibus Law Ciker ini, upah minimum hanya didasarkan pada UMP dan menghilangkan UMK dan upah minimum sekoral. Sehingga harapan untuk mendapat upah yang lebh baik pada daerah atau sekor tertentu menjadi sulit. Belum lagi ketentuan upah minimum yang hanya berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang selama ini dinilai pekerja tidak memadai, serta akan adanya upah dibawah UMP akibat adanya jenis upah minimum oadat kerja di RUU CiKer ini. Sementara sanksi pidana bagi perusahaan yang membayarkan upah dibawah UMP justru dihilangkan.
Gelombang PHK ; Nasib Pekerja di Era Pandemi Covid-19
Hari Buruh Internasional tahun 2020 ini, kalangan pekerja seperti menghadapi 3 kado buruk sekaligus. Kartu Prakerja yang tidak menjawab tuntutan nasib pekerja yang selama ini diperjuangkan, RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang alih-alih menciptakan lapangan kerja, namun justru mengancam nasib pekerja yang saat ini bekerja, dan ancaman gelombang PHK akibat krisis ekonomi yang mengiringi wabah covid-19. Penyebaran covid-19 membuat masyarakat dan pekerja semakin sulit bergerak karena ancaman penularan yang berbahaya serta adanya berbagai kebijakan dengan tujuan social distancing untuk mencegah penularan covid-19. Penerapan PSBB dengan pembatasan sektor kegiatan yang masih boleh beroperasi, melemahnya daya beli dan mobilitas masyarakat yang dibatasi membuat befbagai sektor usaha dan ekonomi mengalami kelesuan.
Gelombang PHK mulai terlihat di beberapa perusahaan dan bidang usaha seperti manufaktur, retail pakaian, hiburan dan pariwisata. Sektor informal juga terpukul karena menurunnya pelanggan dan konsumen. Maka ketika pemerinah menawarkan Kartu Prakerja yang mulai dibuka di masa pandemi ini, langsung diserbu oleh para pencari kerja baru yang berasal dari korban PHK, pekerja yang dirumahkan maupun pekerja sektor informal yang mengalami penurunan penghasilan tajam. Namun jumlah peserta yang bisa diterima jauh dibawah peminat yang mendaftar. Belum lagu munculnya keraguan terhadap kompetensi dari lembaga yang memberikan pelatihan. Sangat dikhawatirkan penerima program hanya mengharapkan uang tunai yang bisa didapat dari menjadi peserta Kartu Prakerja.
Pekerja tentu saja berharap wabah covid-19 ini segera berlalu. Kesabaran mereka untuk tetap di rumah, menerima nasib penghasilan yang menurun atau bayangan ancaman PHK tentu saja ada batasnya. Sementara bantuan sosial yang diterima juga tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Apalagi ini berlangsung di bulan Ramadhan dan menjelang hari raya yang biasanya kebutuhan hidup cenderung meningkat. Maka kesabaran ekstra perlu dipersiapkan. Menghadapi kondisi ini, tentu saja memaksakan untuk melakukan pembahasan terhadap RUU Omnobus Law CiKer menjadi sangat tidak tepat. Bahkan RUU CiKer ini perlu ditarik dan dilakukan evaluasi lagi, terutama pada bagian-bagian yang sangat merugikan pekerja. Jangan sampai Omnibus Law CiKer ini beul-betul menjadi teror bagi pekerja dan memperburuk nasib mereka. Di hari buruh internasional ini, harapan agar tuntutan yang selama ini diperjuangkan bisa terpenuhi menjadi semakin sulit karena ancaman PHK justru makin menghantui. Pemerintah perlu lebih bijak dan membuat keputusan yang tepat dalam menghadapi siuasi ini. DPR juga akan berusaha menghentikan dan meminta agar RUU CiKer ini ditarik kembali. Kita bersama berjuang untuk memperbaiki keadaan dan berharap wabah covid-19 ini segera berakhir dan ekonoi kembali pulih.
Selamat Hari Buruh Internasional.