Kembalikan Fokus untuk Kesehatan Ibu dan Anak

Dr. Kurniasih Mufidayati, MSi.
Anggota Komisi IX DPR RI

Tahun 2020 dan 2021 adalah tantangan besar bagi kesehatan nasional. Munculnya pandemi Covid-19 berdampak langsung kepada sistem kesehatan. Bukan hanya pada penanggulangan bahaya Covid-19, persoalan kesehatan di sektor lain juga terimbas.

Subjek yang paling mendapatkan imbas dengan ekses berlapis adalah ibu dan anak. Ibu dan anak adalah komponen prioritas dalam kebijakan kesehatan. Baiknya kesehatan ibu dan anak menjadi parameter baiknya sistem kesehatan sebuah bangsa.

Selama pandemi Covid-19, ibu dan anak menjadi korban langsung dari keganasan virus Covid-19. Pada Juli 2021 misalnya, Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) mencatat sebanyak 536 ibu hamil dinyatakan positif Covid-19 selama setahun terakhir. Dari jumlah tersebut, tiga persen diantaranya dinyatakan meninggal dunia.

Sampai 11 November 2021 data dari covid-19.go.id, 51,3 persen dari total 4,249,759 yang terpapar covid adalah perempuan dan 47,7 persen dari 143,608 yang meninggal karena covid adalah perempuan. Dengan proporsi 74,9 persen yang terpapar covid berada pada rentang usia 19-59 tahun, maka ibu menjadi kelompok yang terbanyak terpapar covid-19.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebut kasus Covid-19 pada anak di Indonesia dalam rentang Desember 2020 hingga Maret 2021 adalah tertinggi di Asia. Jumlahnya diperkirakan sebanyak 260 ribu.

Ibu dan anak bukan hanya mendapat satu ‘pukulan’ karena kasus Covid-19. Jumlah yatim karena orang tua meninggal (baik ibu, ayah atau keduanya) juga meningkat tajam. Kementerian Sosial RI memperkirakan ada 30 ribu anak yatim karena Covid-19 per September 2021. Jumlah ini amat terbuka bertambah.

Kelompok paling rentan

Dampak langsung maupun tak langsung pandemi terhadap ibu dan anak menegaskan jika kelompok ini adalah yang paling rentan dalam sistem kesehatan.

Pekerjaan rumah dalam persoalan kesehatan ibu dan anak masih menjadi indikator utama dalam perbaikan sistem kesehatan nasional. Angka Kematian Ibu (AKI) dan angka stunting masih jadi tanggungan persoalan yang tak kunjung sesuai harapan.

Memastikan kesehatan ibu dan anak seharusnya menjadi kebijakan yang prioritas. Target-target kesehatan ibu dan anak secara global baik dalam parameter Sustainable Development Goals (SDGs) maupun target di PBB juga menjadi target pemerintahan secara nasional.

Pada tahun 2030, kita memiliki target Angka Kematian Ibu berkurang menjadi 70 per 100.000 kelahiran hidup. Akan tetapi tercatat ada 305 ibu meninggal per 100 ribu orang menurut data Kementerian Kesehatan 2015.

Di negara serumpun Asia Tenggara, AKI di Indonesia tergolong tertinggi. WHO pada 2014 pernah melaporkan AKI Indonesia 214 per 100 ribu kelahiran hidup, sementara Malaysia 39 per 100 ribu, Thailand 44 per 100 ribu, Brunei 60 per 100 ribu dan Filipina 170 per 100 ribu.

Target stunting pada 2024 adalah 14 persen. Sementara Kemenkes melansir, capaian prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2019 mencapai 27,7 persen. Menurut WHO, masalah kesehatan masyarakat dapat dianggap kronis bila prevalensi stunting lebih dari 20 persen.

Kembali fokus ke ibu dan anak

Adanya gap besar antara target dan capaian dalam dua indikator kesehatan ibu dan anak harus jadi perhatian serius. Belum lagi kita bicara soal penyebab kematian ibu dan perempuan seperti kanker payudara dan kanker serviks.

Pandemi Covid-19 memang berdampak terhadap capaian target peningkatan kesehatan ibu dan anak. Bersyukur situasi mulai menunjukkan penurunan kasus setelah gelombang kedua pada Juli-September 2021.

Tetap dengan diiringi kewaspadaaan dan mitigasi gelombang ketiga, fokus dan perhatian kebijakan harus mulai dilakukan terhadap kelompok ibu dan anak. Dua tahun berjalannya pandemi seharusnya lebih dari cukup untuk melakukan adaptasi.

Kebijakan-kebijakan bisa disusun lebih adaptif dan agile. Masyarakat sebenarnya tetap tinggi antusiasme untuk menjaga kesehatan ibu dan anak.

Contoh kasus pada imunisasi. Layanan imunisasi sempat terhenti terutama di Posyandu dan Puskesmas. Hal ini tentu berdampak pada kesehatan anak yang ‘sedikit’ terabaikan.

Tapi data survei dari Unicef dan Kementerian Kesehatan 2020 tentang imunisasi pada masa pandemi menunjukkan 51 persen responden tetap mendatangi pos pelayanan imunisasi selama pandemi. Sementara sisanya memilih tidak datang ke pos pelayanan imunisasi karena kondisi.

Minatnya tetap tinggi, tapi perilakunya yang berubah. Masih dalam survei yang sama, sebelum pandemi 90 persen anak diimunisasi di fasilitas umum. Sementara selama pandemi, survei menunjukkan klinik dan rumah sakit swasta jadi sumber utama mendapatkan layanan imunisasi.

Kebijakan yang adaptif ini perlu jadi semangat dalam pelaksanaan program. Jika pemerintah terlihat ‘ngotot’ ingin fleksibel dalam pengaturan keuangan negara dengan memaksakan Perpu No 1 Tahun 2021, maka seharusnya kebijakan di lapangan juga bisa dibuat jauh lebih fleksibel. Toh pemerintah amat suka mengubah-ubah kebijakan tanpa sebuah pertimbangan yang matang.

Momentum Hari Kesehatan Nasional 2021 ini harus dimaknai bangkitnya kembali sistem kesehatan nasional secara menyeluruh dengan tidak mengabaikan kewaspadaan terhadap dampak nyata Covid-19. Terutama kembali menjadikan ibu dan anak prioritas dalam peningkatan kualitas kesehatan masyarakat.