Dr. Kurniasih Mufidayati, MSi
Anggota Komisi IX DPR-RI, FPKS
Sudah hampir dua tahun pandemi covid-19 melanda hampir seluruh dunia. Virus SARS Cov-2 yang berawal dari Wuhan, China di penghujung 2019 begitu mudah menyebar dan menjangkau hampir seluruh pelosok dunia. Sampai pertengahan Desember 2021, dalam data Worldometer lebih dari 273 juta orang di seluruh dunia sudah terinfeksi virus ini dan lebih dari 5,3 juta orang meninggal dunia. Saat awal kemuculannya, tidak ada yang menduga bahwa covid-19 ini kemudiaan menjadi pandemi global dan memberikan dampak yang sangat dahsyat terhadap kehidupan manusia khususnya di sektor perekonomian.
Kebijakan pembatasan sosial, pengetatan mobilitas serta pembatasan kontak fisik dan kerumunan membuat perekonomian nyaris lumpuh. Banyak pusat perbelanjaan, pertokoan, rumah makan kawasan pusat bisnis dan perniagaan yang harus tutup diawal-awal pandemi dan kemudian mengurangi kegiatannya setelah upaya New Normal mulai dilakukan. Sebanyak 108 ribu pembatasan perjalanan internasonal juga terjadi dan jumlah penumpang perjalanan udara menurun sampai 60%.
Pandemi Covid-19 dan Nasib Pekerja Migran
Salah satu sektor yang terdampak cukup berat akibat pandemi covid-19 dan berbagai pembatasan yang dilakukan adalah sektor pekerja migran. Padahal pekerja migran ini memainkan peran penting baik di negara tempatnya bekerja dan terutama bagi negara asalnya. Jumlah pekerja migran ini juga cukup besar.
PBB memperkirakan jumlah migran di seluruh dunia pada tahun 2020 sebanyak 281 juta orang dengan 169 juta diataranya adalah pekerja migran. Data World Bank tahun 2020 juga menyebutkan setidaknya ada 9 juta pekerja migran dari Indonesia yang bekerja di berbagai negara di dunia. Tujuan utama para pekerja migran asal Indonesia berdasarkan data BP2MI adalah Hongkong, Taiwan, Singapura, Malaysia dan Timur Tengah
Bagi negara asal pekerja nya, pekerja migran ini memiliki peran penting dalam perekonomian. Selain sebagai sumber devisa bagi negara sesuai dengan julukannya sebagai pahlawan devisa, pilihan menjadi pekerja migran juga membantu mengatasi masalah pengangguran di negaranya ketika kesempatan kerja terutama di sektor formal semakin sulit.
Apalagi Indonesia juga mengalami peningkatan pengangguran akibat pandemi dan dibayang-bayangi ancaman meningkatnya pengangguran muda akibat pandemi covid-19 ini. Data Sakernas BPS Agustus 2020, menunjukkan tingkat penganggur umur muda di Indonesia sebesar 20,46 persen dan menjadi yang tertinggi di ASEAN. Pada saat yang sama para pekerja migran juga menjadi andalan bagi keluarganya dalam memberikan penghasilan keluarga dan sekaligus membantu mengentaskan kemiskinan.
Pandemi covid-19 memberikan pukulan yang cukup berat bagi pekerja migran, termasuk juga calon pekerja migran yang akan berangkat keluar negeri untuk bekerja. Secara global, dalam setahun pertama pandemi saja, data IOM menunjukkan sudah terjadi penurunan 2 juta migrasi. Di Indonesia, pengiriman pekerja migran juga mengalami penurunan yang tajam akibat pandemi.
Data BP2MI menunjukkan pengiriman pekerja migran formal menurun sebesar 72,5% dari 2019 ke 2020. Sementara pengiriman sampai semester 1 tahun 2021 baru sebesar 16,8% dari pengiriman tahun sebelumnya. Sedangkan untuk pekerja informal, pengiriman menurun sebesar 46,4% dari 2019 ke 2020 dan pengiriman sampai semester 1 2021 baru mencapai 30,3% dari tahun sebelumnya.
Penurunan juga terlihat dari kegiatan yang dilakukan oleh BP2MI selama masa pandemi. Realisasi kegiatan Orientasi Pra Pemberangkatan (OPP) bagi pekerja migran Indonesia (PMI) pada tahun 2020 hanya 59,7% dan pada 2021 baru 10%. Disisi lain, kita juga menghadapi masalah penanganan pekerja migran yang terdampak akibat pandemi covid-19 ini terutama terkait penanganan pemulangan PMI. Pada tahun 2020 terjadi lonjakan penanganan pemulangan PMI yang mencapai 300% dari yang direncanakan.
Penurunan pemberangkatan PMI maupun rendahnya realisasi OPP menunjukkan banyaknya PMI kita yang gagal berangkat. Bahkan yang sudah mendapatkan orientasi pun masih belum mendapat kepastian akan diberangkatkan.
Kegagalan keberangkatan PMI ke beberapa negara tujuan bekerja, termasuk negara tujuan favorit seperti Taiwan dan Korea Selatan juga disebabkan oleh penanganan pandemi covid-19 di Indonesia yang dinilai buruk oleh negara lain. Pada saat yang sama, PMI yang berada di luar negeri juga mengalami berbagai permasalahan seperti perlakuan deskriminatif dalam akses kesehatan, beban kerja yang semakin berat dan pemotongan gaji, bahkan ada yang tidak menerima gaji seperti yang dialami PMI di beberapa negara.
PMI yang bekerja di sektor informal dengan jumlah yang cukup besar mengalami masalah dalam mendapatkan akses pelayanan kesehatan. Sementara untuk kembali ke tanah air juga bukan hal yang mudah. Apalagi kondisi perekonomian di dalam negeri juga memburuk akibat pandemi covid-19.
Pembenahan Kebijakan Pekerja Migran Untuk Pemulihan
Memasuki penghujung 2021, kasus covid secara global memang mulai melandai. Beberapa negara bahkan sudah membuat kebijakan untuk mencabut pembaasan sosial, membuka tempat-tempat umum dan mengizinkan kegiatan keramaian termasuk pertandingan olahraga. Mobilitas antara negara juga sudah mulai lebih longgar.
Kasus harian di Indonesia yang sempat menembus angka 50 ribu dan kematian harian mencapai 5000, saat ini kasus harian sudah dibawah 500 dan kematian dibawah 100. Namun demikian, belum bisa dikatakan bahwa pandemi sudah berakhir. Apalagi saat ini WHO memberikan perhatian khusus akan munculnya varian baru yaitu Omicron. Meskipun begitu, kita patut berharap untuk adanya pemulihan sosial-ekonomi termasuk di sektor pekerja migran ini.
Pemerintah melalui BP2MI juga telah melakukan beberapa upaya untuk pemulihan sektor ini seperti melakukan pertemuan dengan Duta Besar dari beberapa negara yang menjadi tujuan PMI Indonesia seperti Korea Selatan. Tentu saja pembenahan terhadap kondisi dan kebijakan di sektor pekerja migran ini tetap dibutuhkan termasuk dengan memperbaiki cara pandang terhadap pekerja migran ini.
Pekerja migran jangan hanya dilihat sebagai dirinya saja, namun juga keluarga yang ditinggalkan di dalam negeri. Pun demikian, kebijakan jangan hanya dibuat untuk saat mereka bekerja di negeri orang, namun juga pada saat mereka sudah kembali ke Indonesia dan melanjutkan kehidupan di negeri sendiri dengan lebih baik.
Pertama adalah meningkatkan kualitas dan jangkauan orientasi pra pemberangkatan (OPP) yang diarahkan pada migrasi aman (safe migration). Langkah ini sejalan dengan upaya untuk terus mengurangi pemberangkatan PMI secara ilegal dan mengarah ke human trafficking. OPP harus menjangkau seluas mungkin para calon PMI di berbagai pintu dan saluran pemberangkatan.
OPP juga harus dilakukan untuk memastikan para calon PMI memahami proses rekrutmen sebagai PMI, hak-hak dan kewajibannya selama bekerja, kontrak yang ditandatangani, kondisi ketika mereka mengalami sakit dan sebagainya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kedua, secara konsisten menjalankan apa yang telah diamanatkan dalam UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran. Beberapa point dalam peraturan ini masih kurang dijalankan seperti perlindungan terhadap keluarga PMI, perlindungan menyeluruh sebelum, selama dan setelah penempatan, pembatasan peran Perusahan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) maupun peran dan tanggjungjawab pemerintah pusat dan daerah. Masih lemahnya implementasi UU No. 18 Tahun 2017 ini menyebabkan masih banyak ditemui kasus agen atau sponsor yang memiliki peran yang besar dan memicu terjadinya ekspolitasi terhadap PMI dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Pada 2021, IOM mencata ada sekitar 70 kasus TPPO yang ditanganinya dengan 38 diantaranya adalah PMI perempuan. Belum lagi kasus-kasus calon PMI yang dibebani berbagai biaya sebelum penempatan. PMI harus dipastikan terlindungi hak-haknya sejak proses perekrutan, kontrak kerja yang jelas dan transparan dan tidak mengalami pelanggaran HAM. Konsistensi dalam menjalankan UU No. 18 Tahun 2017 ini jika perlu dilakukan dengan memperbaiki dan memperkuat aturan turunannya berupa Peraturan Pemerintah, Perpres maupun Peratutan Menteri/Peraturan Kepala BP2MI
Ketiga, memperkuat dan memperluas jaminan sosial untuk PMI dan keluarga mereka agar PMI betul-betul berperan dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga dan membantu upaya pengentasan kemiskinan. Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM) dan Jaminan Hari Tua (JHT) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang harus dijalankan dengan konsisten dan diberikan kepada pekerja sesuai haknya sekaligus mendorong PM untuk ikut dalam kepesertaan jaminan ini.
Saat ini dari 9 juta PMI, baru 335.542 orang yang sudah menjadi peserta atau hanya 3,7% PMI yang sudah terlindungi. Itupun dalam realitasnya, tidak jarang PMI yang sudah menjadi peserta tidak mendapatkan hak jaminan tersebut atau kesulitan mengurusnya ketika kecelakaan terjadi di negara tempat kerja karena proses harus dilakukan di Indonesia. Ditambah lagi PMI tidak teredukasi mengenai tata cara klaim dan persyaratan administratif yang perlu dipersiapkan untuk pross klaim tersebut. Berbagai jaminan ini maupun asuransi kesehatan di negara tempat kerja juga belum menjangkau PMI di sektor informal
Menuju PMI yang Sukses di Rantau dan Mandiri di Negeri Sendiri
Pemerintah perlu lebih serius dalam memberikan bekal pengetahuan maupun perlindungan bagi PMI sejak pra penempatan, selama berada di negera tujuan dan saat kembali ke tanah air. Bekal pengetahuan dan pemahaman kondisi bekerja di luar negeri maupun aturan bagi PMI serta berbagai pengalaman sukses bekerja di luar negeri di berbagai sektor akan membuat PMI memiliki perencanan yang baik sebelum dan selama bekerja di luar negeri.
PMI juga akan bisa lebih mampu mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi serta tahu kemana harus menyampaikan permasalahan yang dihadapi. Apalagi jika ini juga didukung dengan support dari pemerintah melalui BP2MI maupun KBRI/KJRI di negara tempat bekerja. Dukugan ini akan sangat membantu bagi para PMI untuk bisa sukses di rantau.
Di sisi lain, bekalan ketika mereka sudah tidak lagi menjadi PMI juga perlu dipersiapkan dengan baik. PMI yang sudah bekerja di luar negeri dalam waktu cukup lama, bahkan ada yang sampai 10-20 tahun tentu menginginkan saat kembali ke tanah air mereka bisa hidup dengan berkecukupan bahkan lebih dan menjalani hari tua dengan bahagia. Oleh karena itu jaminan bahwa mereka bisa memperoleh JHT nya sebagai bekal setelah kembali juga menjadi sangat penting. Mekanisme jaminan hari tua untuk PMI perlu disiapkan dengan professional dan mendapatkan ‘trust’ yang tinggi oleh PMI dan banyak PMI lain yang mau ikut program JHT.
Pada saat yang sama para purna PMI ini juga mendapatkan bimbingan dan pelatihan yang baik untuk persiapan menghadapi purna PMI. Pemerintah perlu bekerjasama dengan berbagai pihak dalam menyiapkan program purna PMI untuk para PMI ini untuk menyiapkan mereka memiliki kegiatan produktif atau kegiatan usaha yang dapat mendukung kehidupan mereka pasca menjadi PMI.
Kegiatan pemberdayaan PMI sebagai salah satu program prioritas nasional perlu dijalankan dengan baik dan memberikan hasil yang nyata bagi para purna PMI, tidak sekedar menjalankan program saja. Sehingga para PMI kita betul-betul bisa menjadi PMI yang sukses di rantau dan mandiri di negeri sendiri.
Selamat Hari Migran Internasional.