Mufida: Angka Kematian Ibu dan Perceraian Pekerja Migran Memprihatinkan

JAKARTA – Para ibu Indonesia yang diharapkan menjadi pendidik anak-anak bangsa, masih menghadapi problem besar. Angka Kematian Ibu (AKI) Indonesia masih tinggi dibanding negara-negara ASEAN. Sementara para ibu yang menjadi pekerja migran, menghadapi ancaman meningkatnya angka perceraian setiap tahun terus.


Demikian diungkapkan Anggota Komisi IX DPR RI, Kurniasih Mufidayati dalam siaran persnya, Minggu (22/12/2019). Mufida menyampaikan keprihatinannya karena Angka Kematian Ibu saat melahirkan di Indonesia nomor 2 tertinggi di ASEAN.


“Kita masih memprihatinkan, di level ASEAN saja rata-rata AKI 197 per 100 ribu kelahiran. Sedang di Indonesia 305 per 100.000 kelahiran hidup, tidak lebih baik dari Filipina. Bahkan menempati posisi kedua dengan AKI tertinggi,” papar Mufida.


Menurut Mufida, penyadaran sejak dini perlu dilakukan secara menyeluruh. Untuk pemahaman, lanjut Mufida, di kota-kota mungkin sudah cukup bagus.


“Tetapi di desa-desa masih cukup memprihatinkan. Penyebab kematian ibu ini kan banyak variasinya, ada karena hipertensi, perencanaan kelahiran yang kurang baik misal di usia rawan atau di usia yang terlalu dini dan lain-lain,” papar Mufida.


Sementara itu, para ibu yang menjadi pekerja migran juga menghadapi ancaman yang tak kalah berat. Dipaparkan Mufida, berdasarkan dokumen dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Hong Kong yang disampaikan pada Seminar Hasil Penelitian Pencataan Perkawinan WNI di Luar Negeri, pengajuan gugat cerai pada 2014 tercatat 2971 kasus. Meningkat menjadi 3280 kasus di tahun 2015. Meningkat lagi pada 2016 menjadi 3579 kasus.
“Setiap tahun, ada peningkatan 300an kasus perceraian menimpa perempuan pekerja migran. Pada tahun 2019 diperkirakan ada sekitar 4600 kasus,” ungkap Mufida.


Mufida menambahkan, banyak perempuan Pekerja Migran Indonesia (PMI) terbebani dengan banyak masalah keluarga sebelum memutuskan menjadi PMI. Perempuan PMI banyak yang tidak siap secara skill yang menjadi tuntutan pekerjaan dan juga dari sisi bahasa.


“Sementara kepercayaan diri mereka juga rendah, sehingga cenderung tidak percaya diri jika ada yg mengintimidasi dan tidak mau repot memperpanjang dengan urusan hukum atau melapor ke kepolisian setempat, padahal pada posisi yang benar,” papar Mufida.


Problem makin berat karena banyak dari perempuan PMI hadir di negara penempatan dengan sejuta rindu kepada anak, orangtua, suami, teman temannya. Akibatnya, cenderung prestasi kerjanya kurang.
Mufida menambahkan, sementara di tanah air, dengan para ibu pergi bekerja di LN juga menjadi beban bagi anaknya karena peran pendidikan yang seharusnya dijalankan para ibu menjadi tidak dapat berjalan,”
“Belum lagi dengan angka perceraian yang sangat tinggi, berakibat ketidakjelasan hak asuh dan anak lagi-lagi menjadi korban,” tandas Mufida. (*).