Mufida: Dana JHT adalah Hak Pekerja, Aturan Pencairan Memberatkan Pekerja

Jakarta — Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKS Kurniasih Mufidayati menyoroti terbitnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT).

Beleid terbaru mengatur pencarian JHT 100 persen hanya bisa dilakukan pada usia pensiun 56 tahun. Pencarian JHT sebelum usia 56 bisa dilakukan dengan beberapa persyaratan dan kondisi.

Menurut Mufida, sebagai dana yang diambil dari pekerja, maka pada hakikatnya program dana JHT adalah hak pekerja. Jika hak untuk menggunakan dibatas harus sampai berusia 56 tahun, maka peraturan ini akan memberatkan pekerja yang membutuhkan jaring pengaman sosial di waktu yang serab sulit saat ini.

Menurut data BPJS Ketenagakerjaan, hingga Agustus 2021 ada 1,49 juta kasus klaim JHT didominasi oleh korban PHK dan pengunduran diri dengan peserta rentang di bawah 30 tahun atau usia produktif.

“Artinya pekerja yang mencairkan JHT karena memang butuh karena di PHK dan mundur dari perusahaan karena dampak pandemi. Mereka menggunakan dana JHT untuk bertahan sembari berusaha mencari pekerjaan baru. Kalau aturan JHT kini hanya bisa dicarikan saat usia pensiun, jaring pengaman untuk mereka yang di PHK belum ada,” sebut Mufida dalam pernyataannya, Sabtu (12/2/2022).

Pada sisi lain, sudah ada Jaminan Pensiun bagi pekerja penerima upah yang manfaatnya bisa dirasakan saat usia pensiun yang menjadi alasan pemerintah mengubah aturan pencairan JHT ini.

“Manfaat bagi pekerja penerima upah sudah tercover di program Jaminan Pensiun jika memang semangatnya memberikan perlindungan setelah usia pensiun. Sementara jaminan hari tua memang faktanya masih digunakan para pekerja yang kena PHK atau mengundurkan diri sehingga bisa menjadikan dana JHT sebagai jaring pengaman atau modal usaha,” terang Mufida.

Bagi Mufida, peraturan ini tidak sensitif atas kondisi masyarakat saat ini. Setelah pekerja tersebut mengalami PHK dengan kesempatan kerja yang semakin sulit, serta kebijakan pengusaha yang lebih memilih menjadikan pekerjanya sebagai pegawai kontrak (PKWTT), maka dana JHT tersebut merupakan harapan tersebesar dari pekerja sebagai dana bahkan untuk menyambung hidup dan modal usaha.

“Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dana uang pesangon dari pengusaha sangat sulit dan perlu waktu yang lama bagi pekerja untuk mendapatkannya. Oleh karena itu JHT menjadi harapan terbesar karena langsung cair setelah 1 bulan masa tunggu,” kata dia.

Lebih jauh Mufida menyoroti peraturan ini masih merupakan lanjutan kebijakan yang tercantum dalam UU Cipta Kerja. JHT dalam perspektif pemerintah adalah dana yang bisa diatur-atur oleh pemerintah yang diserahkan kepada pemerintah untuk digunakan sesuai dengan kebijakan pemerintah.

“Peraturan ini semakin menegaskan filosofi dan politik kebijakan ketenagakerjaan pemerintah saat ini yang mementingkan ekonomi (investasi). Dimana dengan perlambatan pencairan JHT tersebut, maka akan menyebabkan semakin besarnya dana terparkir di BP Jamsostek. Hal ini tentu saja menyebabkan kecurigaan yang semakin besar kepada pemerintah,” kata dia.

Ia mengungkapkan, dana peserta hakikatnya tetap milik pekerja. Sebab itu, kebijakan tentang proses penggunaan dana peserta BPJS Ketenagakerjaan harus berpihak kepada pekerja sebagai pemilik dana utama.