Jakarta — Paspor vaksin yang diusulkan beberapa negara-negara di eropa, utamanya Yunani, Italia dan Spanyol masih menimbulkan perdebatan. Negara-negara Eropa tersebut yang sebagian besar pemasukannya bergantung pada devisa pariwisata, mengusulkan paspor vaksin yang tujuannya mempermudah persyaratan yang diperlukan bagi perjalanan antar wilayah dan negara.
Anggota Komisi IX DPR RI F-PKS Kurniasih Mufidayati menyebut, ide paspor vaksin masih jauh dari keperluan mendasar yang dibutuhkan oleh Indonesia.
“Persoalan kita di Indonesia adalah masih persoalan sangat mendasar, yaitu penerapan 3T, 5M dan vaksinasi. Jangan sampai keinginan dan cita-cita yang terlalu jauh ini malah mengacaukan dan atau menghambat pelaksanaan 3 hal mendasar tadi,” papar Mufida dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (2/3/2021).
Anggota DPR RI dari Dapil DKI Jakarta II ini mengingatkan, pada moment 1 tahun Pandemi, Indonesia saat ini belum bisa dikatakan berhasil dalam menangani penyebaran virus Covid-19. Menurut Mufida, kemampuan 3T oleh pemerintah masih sangat rendah. Penurunan jumlah kasus yang saat ini tercatat diduga bukan dikarenakan sudah terkendalinya penyebaran virus ini akan tetapi lebih kepada penurunan jumlah tes yang dilakukan.
Mufida juga menekankan, capaian vaksinasi di Tanah Air juga masih rendah dan masih jauh dibawah target yang ditentukan sendiri oleh Pemerintah. “Karena itu, saya berpesan, janganlah kita disibukan dengan hal-hal lain dan melupakan serta menunda hal-hal yang mendasar,” ungkap dia.
Mufida mengatakan, paspor vaksin ini perlu dikaji secara lebih mendalam dan serius. Dengan paspor ini berarti akan banyak perjalanan keluar masuk Indonesia. Hal ini akan semakin menyulitkan proses karantina vaksin dan juga proses tracingnya.
Ia menekankan masih banyak PR mendasar soal penanganan Covid yang masih belum tuntas. Sebab itu, ide dan gagasan paspor vaksin ini jangan buru2 diterapkan di Indonesia karena masih perlu peningkatan hal-hal yang mendasar penanganan pandemi.
“Jangan sampai Indonesia mengalami gelombang ke-2, ke-3 an bahkan tsunami karena kebijakan yang belum tutas dilaksanakan sudah terganggu dengan kebijakan yang kurang memperhatikan kebutuhan penjaminan kesehatan diatas ekonomi,” tegasnya.
Mufida berpesan, jika pemerintah sepakat salah satu upaya pengendalian Covid-19 adalah 3T, disiplin protkes dan vaksinasi maka lakukan 3 upaya tersebut dengan sebaik-baiknya, sebanyak-banyaknya untuk masyarakat Indonesia.
“Dengan catatan besar harus gratis serta jangan lupa untuk tetap melakukan sosialisasi vaksin, agar kelompok masyarakat yang masih ragu dan mungkin menolak bisa teredukasi,” ungkap Mufida.
Sekedar mengingatkan, sebelumnya pemerintah melalui Menteri Kesehatan pernah menyampaikan pemerintah berencana menerbitkan “e-sertifikat vaksin”. Lewat e-sertifikat vaksin ini akan terdata siapa saja yang telah menerima dan selesai divaksinasi. Akan tetapi saat ini peraturan dan teknis atas serifikat ini belum dikeluarkan sehingga belum diketahui mekanisme yang ditentukan oleh pemerintah.
Selain manfaat untuk pemantauan, sertifikasi vaksin ini juga menyimpan berbagai permasalahan seperti potensi kebocoran data peserta sebagai bagian dari dokumen pasien Kesehatan.
“Jangan sampai terjadi kebocoran atas pasien ini yang akn berpotensi melanggar UU. Selain itu, jangan juga dengan sertifikasi vakin ini, masyarakat menjadi ‘yakin’ bahwa dia telah bebas Covid, ingat bahwa setelah divaksin bukan berarti bebas dari Covid, baik sebagai pasien maupun sebagai carrier, tetap harus mematuhi dan protokol Kesehatan tanpa kecuali,” papar Mufida.