Mufida: Pandemi Momentum Kemandirian Obat dan Alat Kesehatan

Jakarta — Anggota Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati menyebut pandemi Covid-19 adalah momentum bagi kemandirian industri obat dan alatg kesehatan.

Mufida menyebut, hingga saat ini 95 persen produksi obat dalam negeri masih bergantung pada Bahan Baku Obat (BBO) impor.

Bahan baku obat yang terdiri dari zat aktif dan eksipien mayoritas didatangkan dari Cina, India dan negara-negara Eropa.

Pada saat terjadi krisis, ucap dia, setiap negara pada akhirnya mengutamakan kepentingan negaranya sendiri dibanding mengirimkan produk bahan obat ke luar negeri termasuk Indonesia.

“Jadi pandemi ini mengajarkan kita pentingnya kemandirian untuk industri obat dan alat kesehatan. Terbukti kita mampu menghasilkan ventilator, rapid test dan Ge Nose yang merupakan produksi dalam negeri. Kita juga sedang menunggu Vaksin Merah Putih sebagai produk obat anak bangsa,” ucap Mufida dalam diskusi Indonesian Business Forum di TV One.

Mufida menambahkan, pentingnya harmonisasi aturan yang bersatunya seluruh pemangku kepentingan agar semangat kemandirian obat dan alat kesehatan ini bisa terwujud.

“Ini sudah perintah presiden melalui Inpres No 6 Tahun 2016 tentang Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan yang mengatur lintas kementerian dan lembaga. Kemenkes menindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Kesehatan No 17 Tahun 2017 tentang Rencana Aksi Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan. Tapi aplikasinya perlu harmonisasi,” ujar Mufida.

Ia menyebut, jangan sampai Inpres tersebut hanya berhenti di tataran regulasi tanpa semangat penerapan yang sama diantara semua stakeholder.

“Perlu juga melibatkan akademisi dalam hal ini universitas serta dari industri agar kebijakan dari hulu ke hilir bisa terus nyambung. UGM sudah memulai dengan pembentukan gugus tugas kemandirian industri farmasi dan alat kesehatan. Sekarang ada BRIN yang seharusnya bisa jadi dirigen untuk sektor penelitian,” ujar Mufida.

Mufida menyebut, Indonesia memiliki keuntungan dengan banyaknya sumber daya hayati yang bisa dikembangkan sebagai bahan utama pendukung bahan obat.

“Melihat potensi mungkin perlu dibuat roadmap yang terukur. Jika masih impor harus impor sampai kapan dengan kewajiban ada alih teknologi. Termasuk pengembangan hayati Indonesia sebagai bahan eksipien maupun obat alam yang sudah terstandar di medis,” tutur dia.