PENYEBARAN virus corona (Covid-19) semakin mengkhawatirkan di Indonesia. Sampai dengan 10 April 2020 atau sebulan lebih seminggu setelah kasus pertama diumumkan Presiden, jumlah yang positif terpapar dalam data yang dirilis Gugus Tugas Covid-19 telah mencapai angka 3.512 kasus.
Dari jumlah itu, 306 orang meninggal dunia. Pada tanggal 9 April juga tercatat penambahan kasus per hari terbesar yaitu sebanyak lebih dari 300 kasus positif.
Ini semua adalah data resmi yang dilansir oleh pemerintah. Jumlah kasus meninggal juga berdasarkan yang sudah terkonfirmasi positif berdasarkan pemeriksaan hasil swab dengan PCR dan tidak termasuk yang meninggal dalam status Pasien Dalam Pemantauan (PDP) atau yang masih menunggu hasil pengujian dengan PCR.
Banyak pihak pun meyakini, kasus positif Covid-19 yang unreported dan jumlah yang sebetulnya terjadi, jauh lebih besar dari yang dilansir pemerintah.
Antara Gamang Kebijakan dan Terlalu Percaya Diri
Presiden secara resmi mengumumkan kasus pertama positif Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020. Namun, sebetulnya banyak pihak meyakini bahwa Covid-19 sudah masuk di Indonesia dan sudah ada penduduk Indonesia yang terjangkit Covid-19.
Namun, alih-alih mendengarkan masukan berbagai pihak, pemerintah baik melalui Menteri Kesehatan maupun berbagai pihak, justru bersikeras mengatakan kasus Covid-19 belum ada dan tidak ada di Indonesia.Pada 15 februari misalnya, peneliti dari Harvard University sudah mengingatkan bahwa Covid-19 sudah masuk di Indonesia. Namun, ungkapan peneliti dari Harvard ini dibantah oleh pernyataan Menteri Kesehatan.
Menkes malah menantang peneliti tersebut untuk menunjukkan bukti bahwa Covid-19 sudah masuk Indonesia. Padahal, Harvard dikenal sebagai lembaga pendidikan bergengsi di dunia.
WHO sejak 30 Januari juga sudah menetapkan 2019-nCoV sebagai public health Emergency of International Concern (PHEIC) yang berarti semua negara perlu memberikan perhatian serius terhadap penyebaran virus Corona ini. Namun, saat itu Indonesia belum menunjukkan perhatian dan kewaspadaan yang tinggi terhadap merebaknya Covid-19 ini.
LP3ES bahkan menilai pemerintah terkesan menolak peringatan-peringatan yang disampaikan lembaga dunia dan penelitian-penelitian berbagai universitas dunia bahwa Covid-19 bisa saja menyerang Indonesia.
Upaya memulangkan WNI yang berada di Wuhan yang menjadi pusat penyebaran wabah covid-19 pada 2 Februari 2020 juga baru dilakukan setelah adanya tekanan kuat dari berbagai pihak. Apalagi, beberapa negara juga mengevakuasi warganya dari Wuhan dan berhasil dilakukan.
Awalnya, di media, Menkes RI menunjukkan keengganan untuk melakukan evakuasi dengan bertanya bagaimana cara mengevakuasinya, karena di Wuhan diberlakukan lock down.
Setelah beberapa negara terbukti berhasil mengevakuasi warganya, barulah pemerintah RI bergerak menjemput WNI di Wuhan dan membawanya ke Natuna untuk menjalani karantina.
Penempatan di Natuna sebagai lokasi karantina pun awalnya menimbulkan polemik karena terkesan tidak melalui koordinasi dengan pemerintah daerah setempat yang keberatan.
Selanjutnya, pada 27 Februari 2020, pemerintah Arab Saudi sudah memasukkan Indonesia dalam negara yang jemaah umrahnya dilarang masuk. Dengan kata lain, pemerintah Arab Saudi sudah meyakini bahwa sudah ada kasus Covid-19 di Indonesia. Namun, inipun dibantah pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama yang masih berusaha melobi agar jemaah umroh dari Indonesia tetap dibolehkan masuk ke Arab Saudi.
Berbagai pernyataan petinggi negara bahkan justru menjadikan belum masuknya covid-19 ini sebagai bahan candaan dari mulai corona belum masuk karena izin yang sulit, penduduk Indonesia senang minum jamu, makan nasi kucing, melawan corona dengan goyang TikTok dan sebagainya.
Bahkan, ketika dari dalam negeri, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengingatkan tentang ancaman Covid-19 dengan menunjukkan peningkatan jumlah pasien disertai gangguan paru-paru dan pneumonia di rumah sakit-rumah sakit Jakarta dan mengingatkan untuk membatasi kedatangan dari luar, justru dibantah oleh Menteri Kesehatan.
Di saat yang sama, Singapura juga mengajukan komplain karena penambahan kasus positif covid-19 di negaranya adalah imported case, atau berasal dari mereka yang baru datang dari Indonesia. Sehingga, patut diduga di Indonesia sudah banyak orang terjangkit Covid-19.
Akhirnya, Presiden baru mengumumkan kasus pertama Covid-19 secara resmi pada tanggal 2 Maret 2019 dengan imported case yang berasal dari WNA Jepang yang menghadiri sebuah acara di Jakarta dan menularkan Covid-19 ke warga Depok yang mengikuti acara tersebut.Setelah diumumkannya kasus pertama tersebut, sampai hampir 2 minggu, tidak ada kebijakan pemerintah yang signifikan untuk mencegah dan mengendalikan penyebaran virus SARS-Cov 2 ini. Pemerintah justru lebih menonjol berusaha menenangkan masyarakat untuk tidak panik dengan lebih mengkampanyekan bahwa Covid-19 ini bisa disembuhkan, fatality rate yang rendah yaitu hanya 3 persen, bisa minum jamu untuk memperkuat daya tahan dan sejenisnya.
Berbagai pernyataan yang dibuat lebih mengarahkan pada upaya kuratif, padahal dengan status pandemi, membutuhkan tindakan preventif atau pencegahan yang bisa dikatakan ekstrem seperti yang dilakukan di berbagai negara. Apalagi, Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar dan beberapa kota memiliki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi.
Pembatasan Pendatang yang Serba Tanggung
Kebijakan pembatasan pendatang dari luar juga belum ketat dilakukan. Pembatasan yang dibuat pemerintah pada 2 Maret 2020 baru terbatas pada pendatang yang berasal dari penerbangan langsung dari China Mainland dan 2 wilayah di Korea. Sementara pendatang dari China yang merupakan sumber penyebaran Covid-19 melalui negara lain (transit) maupun pendatang dari negara lain yang sudah terjangkit Covid-19 tidak dilakukan pembatasan.
Bahkan pemerintah justru sibuk mempromosikan daerah tujuan wisata di Indonesia untuk mengundang wisatawan dari luar datang ke Indonesia dengan berbagai diskon dan didukung buzzer untuk ikut mempromosikan. Padahal, negara-negara lain sudah mulai melakukan pembatasan kedatangan orang dari luar.
Baru pada 20 Maret, ketika jumlah orang yang terjangkit covid-19 semakin banyak dan pertambahan per hari juga sudah menunjukkan grafik yang eksponensial, pemerintah baru memperketat kedatangan dari luar negeri. Melalui pernyataan menteri Luar Negeri, Indonesia membuat kebijakan untuk tidak mengizinkan pendatang dari negara yang sedang terjangkit covid-19 cukup parah seperti Italia, Vatikan, Spanyol, Jerman, Swiss, Prancis, dan Inggris.
Indonesia juga untuk sementara tidak menerima visa on arrival dan bebas visa diplomatik untuk membatasi kedatangan dari negara-negara tersebut.
Pembatasan ini pun masih dirasakan tanggung dan sangat kurang, mengingat negara-negara tetangga sudah melakukan pembatasan kedatangan dari luar yang sangat ketat, bahkan penumpang yang transit pun dilarang. Sementara dengan pembatasan yang dibuat Indonesia, masih memungkinkan pendatang dari luar negeri khususnya WNA dari China untuk masuk ke Indonesia selama bukan berasal dari penerbangan langsung dari China atau masuk melalui pelabuhan laut dan penyebrangan.
Media pun memberitakan kedatangan WNA asal China yang tetap masuk ke beberapa daerah yang kedatangannya melalui transit atau penyeberangan di saat pembatasan sudah dilakukan.
Maju Mundur Penerapan Karantina Kewilayahan
Lambannya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah juga terlihat dalam menetapkan status keadaan penyebaran Covid-19 untuk menentukan tindakan selanjutnya. Sejak 10 Maret 2020, WHO yang memantau persebaran Covid-19 di seluruh dunia sudah mengingatkan Pemerintah Indonesia agar segera menetapkan Status Darurat Nasional terhadap wabah Covid-19.
Ini adalah peringatan WHO yang kesekian kalinya kepada Indonesia dalam menyikapi kebijakan pemerintah Indonesia yang lambat. Namun, baru pada 16 Maret Pemerintah melalui Presiden, akhirnya menetapkan wabah Covid-19 ini sebagai bencana nasional.
Sayangnya, itupun belum ada aturan yang tegas terkait langkah-langkah yang akan dilakukan, khususnya dalam mencegah penyebaran dan perluasan wabah Covid-19.
Pemerintah hanya menyerukan imbauan untuk melakukan social distancing dan physical distancing serta menghindari kerumunan. Sekali lagi, ini masih bersifat imbauan.
Padahal, banyak pihak terutama kalangan medis sudah menyerukan agar Indonesia melakukan lock down atau Karantina Kewilayahan dengan menggunakan Undang-Undang Karantina Kesehatan. Bahkan ketika Pemda DKI membuat pembatasan mobilitas dengan mengurangi operasional transportasi publik yang dikelolanya seperti Bus Transjakarta, MRT dan LRT untuk mengurangi kedatangan ke Jakarta dan mobilitas warga, justru mendapat teguran dari pemerintah pusat dan meminta kebijakan tersebut dibatalkan.
WHO juga meminta Pemerintah Indonesia menambah laboratorium untuk melakukan pengujian infeksi positif Covid-19 dengan PCR, mengingat potensi yang tertular di Indonesia sangat besar dengan pembatasan mobilitas dan berkumpul manusia yang masih belum tegas.
Saat itu, hanya satu Laboratorium yang diizinkan melakukan pengujian dengan PCR. Padahal, ada beberapa laboratorium di Jakarta maupun daerah lain yang sudah memenuhi persyaratan dan standar BSL 2 untuk bisa melakukan pengujian dengan PCR seperti Laboratorium Mikrobiologi FKUI, Laboratorium di Lembaga Eijkman yang sudah diakui dunia maupun Laboratorium d Balai Kesehatan Daerah Pemprov DKI Jakarta.
Baru pada tanggal 13 Maret akhirnya pemerintah menunjuk 10 Laboratorium lagi untuk bisa melakukan pengujian spesimen dengan metode PCR.
Padahal, dengan 11 laboratorium ini pun, antrean spesimen untuk melakukan pengujian juga masih panjang dan petugas di Lab juga sudah kewalahan.
Apalagi, untuk bisa melakukan pengujian spesimen dengan metode PCR dibutuhkan keahlian khusus. Belum lagi alat swab dan reagen yang juga stoknya terbatas untuk mendukung pengujian.
Padahal kecepatan pengujian ini sangat penting untuk memastikan seseorang yang masih berstatus suspect covid-19, PDP atau bahkan ODP apakah positif terjangkit atau tidak, sehingga bisa mendapatkan penanganan yang lebih lanjut.
Ditambah lagi, sudah mulai banyak ditemukan mereka yang masih berstatus PDP kemudian tidak tertolong dan akhirnya meninggal dunia karena keterlambatan atau kurangnya penanganan.
Mereka yang meninggal saat berstatus PDP ataupun yang saat ini berstatus PDP atau ODP bisa jadi sebetulnya sudah positif terjangkit Covid-19, sehingga harusnya mendapat penanganan khusus atau ditangani di ruang isolasi.
Masih tidak tegasnya kebijakan pemerintah dalam menangani wabah covid-19 yang semakin meluas dan mencapai daerah-daerah lain di luar Jabodetabek, membuat berbagai kalangan sejak pertengahan Maret sudah meminta pemerintah menetapkan status Darurat Kesehatan Masyarakat terhadap pandemi Covid-19 ini.
Status Darurat Kesehatan ini sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam UU No. 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan. Mengatasi kondisi penyebaran covid-19 yang makin luas dan kurang efektifnya imbauan untuk social distancing dan tetap di rumah, membuat status darurat kesehatan ini harus dilakukan dan bukan dengan menerapkan darurat sipil atau darurat militer.
Melalui Darurat Kesehatan Masyarakat ini, pelibatan kepolisian dan TNI harus dilakukan dengan proporsional dan profesional, misalnya dalam jumlah terbatas dan bersifat perbantuan kepada otoritas kesehatan dalam menjalankan misi kemanusiaannya.Pemerintah baru menetapkan status Darurat Kesehatan pada tanggal 31 Maret 2020. Penetapan ini diikuti dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan pedoman teknisnya melalui Peraturan Menteri Kesehatan No. 9 tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19.
Penetapan darurat kesehatan ini sekaligus menunjukkan Pemerintah lebih memilih penerapan pembatasan melalui PSBB daripada Karantina seperti yang diharapkan banyak kalangan.
Di sisi lain, pemerintah daerah justru lebih berani dalam melakukan inisiatif-inisiatif pembatasan yang mengarah ke spatial lock down seperti yang dilakukan oleh Wali kota Tegal, Wali kota Jayapura dan beberapa daerah lain.
Inisiatif lebih awal yang dilakukan daerah juga terlihat pada kebijakan sebelumnya ketika beberapa daerah lebih dulu memutuskan meliburkan sekolah saat ditemukan kasus positif Covid-19 seperti yang dilakukan Depok, Solo, Jakarta dan beberapa daerah lain.
Gamang Pembatasan Mobilitas Warga dan Pemudik
Ketika penyebaran Covid-19 mulai meningkat cepat dan berbagai kebijakan juga memberikan dampak terhadap perekonomian masyarakat, muncul permasalahan baru dalam pembatasan mobilitas, yaitu meningkatnya arus pemudik dari Jakarta dan kota sekitarnya ke daerah asalnya.
Merespons fenomena mudik yang terjadi dan memperhatikan dampaknya terhadap penyebaran Covid-19, beberapa kepala daerah justru lebih dulu menyampaikan himbauan seperti Gubernur Jakarta yang meminta agar warga tidak meninggalkan Jakarta ke daerah asal agar tidak menyebarkan virus corona ini ke daerah.
Begitu pula Gubernur Jawa Barat yang meminta agar warga tidak mudik. Seruan yang sama juga disampaikan Gubernur Jawa Tengah.
Beberapa daerah juga mengambil inisiatif dengan melakukan isolasi terhadap pemudik yang baru datang dari daerah zona merah atau episentrum wabah Covid-19 ini, baik melakukan karantina mandiri maupun menyediakan tempat khusus di luar kota untuk melakukan karantina selama 14 hari.
Bagaimana dengan pemerintah pusat ? Pemerintah justru menunjukkan koordinasi dan pernyataan yang berbeda antar pejabat dalam menyikapi fenomena pemudik ini. Presiden sempat menyatakan bahwa pulang kampung di saat wabah melanda ini berpotensi menyebarkan covid-19.
Namun, juru bicara Presiden Fadjroel Rachman malah menyatakan tidak ada larangan untuk melakukan mudik, tetapi di daerah harus melakukan isolasi.
Pernyataan Fadjroel ini tak lama kemudian dibantah dan diklarifikasi oleh Menteri Sekretaris Negara yang menyatakan Presiden tidak menyatakan membolehkan mudik. Presiden juga menyatakan bahwa mudik akan diganti setelah lebaran.
Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) sempat meminta agar terminal bus antar kota ditutup dari arus pemudik, yang kemudian direspon oleh Gubernur Jakarta yang meminta operasional bus Antar Kota Antar Propinsi (AKAP) yang menuju dan dari Jakarta untuk stop operasional.
Namun, permintaan larangan operasional bus AKAP oleh Gubernur ini kemudian justru ditolak oleh Kementerian Perhubungan hanya dalam hitungan jam.Ini tentu saja membingungkan dan membuat publik menilai ini masalah rebutan kewenangan.
Terakhir Presiden menyatakan bahwa tidak melarang mudik, namun meminta daerah menyiapkan protokol ODP bagi pemudik yang baru datang. Sekali lagi, akhirnya dibebankan kepada daerah
PSBB yang serba Tanggung
Di tengah tekanan untuk melakukan lockdown atau menerapkan Karantina Kewilayahan dengan menggunakan Undang-Undang Karantina Kesehatan, pemerintah justru mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Padahal, dengan peningkatan kasus yang semakin cepat terutama di Jakarta, banyak pihak sudah meminta untuk dilakukan Karantina Wilayah minimal untuk DKI Jakarta atau diperluas sampai Jabodetabek yang menjadi episentrum penyebaran Covid-19.Bahkan, ketika Gubernur Jakarta mengajukan untuk memberlakukan Karantina Wilayah ke pemerintah pusat, ditolak oleh Pemerintah Pusat.
Penerapan Karantina Wilayah memang berimplikasi pada penyediaan kebutuhan logistik seperti pangan, obat-obatan kebutuhan pokok lainnya bagi warga di wilayah yang dilakukan Karantina Wilayah yang harus ditanggung pemerintah pusat.
Hal ini pula yang diduga membuat pemerintah lebih memilih untuk mengambil kebijakan penerapan PSBB melalui Peraturan Pemerintah. Penerapan PSBB melalui PP ini kemudian memberi kesan menyeramkan setelah Presiden dalam pernyataannya juga menyebutkan bahwa penerapan PSBB ini bisa diikuti dengan penerapan Darurat Sipil jika diperlukan.
Di sini, konsistensi dan koordinasi antar instansi pemerintah kembali diuji. Ketika Presiden menyatakan demikian, namun jajaran stafnya membuat pernyataan yang sedikit berbeda dengan mengatakan bahwa yang akan diterapkan adalah darurat kesehatan.
Pertanyaannya kemudian, PSBB seperti apa yang akan diterapkan ? Dalam praktiknya, beberapa hari setelah PP tentang PSBB ini diterapkan, yang banyak disampaikan masih sebatas himbauan untuk melakukan pembatasan sosial seperti himbauan untuk tidak membuat acara yang mendatangkan orang banyak, pembubaran kegiatan setelah melakukan pendekatan persuasif dan belum terlihat adanya tindakan yang tegas.
Bahkan untuk pembatasan mobilitas orang antara kota untuk mencegah penyebaran covid-19 ini menunjukkan ketidakjelasan, inkonsistensi dan koordinasi yang buruk. Sebagai contoh, ketika BPTJ mengeluarkan pernyataan untuk menutup terminal bus antar kota, yang direspon oleh Gubernur DKI Jakarta untuk menghentikan operasional bus antar kota antar propinsi (AKAP), namun dalam hitungan jam, rencana itu ditolak oleh Kementerian Perhubungan.
Jika PSBB yang diterapkan adalah seperti yang sudah dijalankan dalam beberapa hari setelah diterbitkannya PP tersebut, maka sesungguhnya tidak ada perbedaan signifikan dengan yang sudah dijalankan khususnya oleh beberapa daerah sebelum dikeluarkannya PP tersebut.
Bahkan ketika Gubernur Jakarta membuat kebijakan yang lebih tegas untuk membatasi mobilitas penduduk dengan mengurangi perjalanan MRT, LRT dan Bus Transjakarta, diminta dibatalkan oleh pemerintah pusat.
Padahal itu bertujuan untuk mengurangi warga untuk berpergian dan memang diperlukan shock therapy agar warga mau mengurangi kegiatan di luar secara bertahap, di tengah kebijakan yang masih ngambang.
PSBB juga dinilai kurang agresif dalam melakukan pembatasan pergerakan orang dan memaksa orang untuk tinggal di rumah
PSBB yang Terlalu Prosedural
Permasalahan kedua dari implementasi PP tentang PSBB ini adalah pada birokrasi penetapan PSBB. PSBB baru bisa diterapkan dan dilakukan oleh daerah setelah mendapat persetujuan dari BNPB sebagai koordinator Gugus Tugas Penanggulangan Wabah Covid-19 dan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Artinya masih dibutuhkan proses pembahasan atas pengajuan dari pemerintah daerah untuk bisa diberlakukan PSBB. Dalam sebuah kesempatan diskusi, Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan mengatakan, minimal perlu waktu dua hari dari pengajuan oleh daerah sampai dengan penetapan oleh Kementerian Kesehatan. Pengajuan PSSB yang disampaikan oleh daerah juga harus disertai dengan data-data penyebaran Covid-19 di daerahnya.
Prosedur penetapan PSBB ini jelas terlalu berbelit dan makan waktu. Apalagi, untuk mendapat persetujuan harus melalui tim kajian lintas bidang untuk menilai dari berbagai aspek. Padahal, daerah juga berpacu dengan waku dalam upaya mengendalikan penyebaran covid-19 di daerahnya. Belum lagi, sampai saat ini juga belum ada petunjuk teknis penerapan PSBB ini.
Dengan persebaran Covid-19 yang makin cepat dan meluas, jika dalam sehari misalnya ada 20 daerah saja yang mengajukan untuk penerapan PSSB, maka mungkin diperlukan waktu yang lebih lama untuk mendapatkan persetujuan.Ditambah lagi, tidak adanya kejelasan siapa yang harus menanggung berbagai implikasi yang timbul dari penerapan PSBB. Ketika akan diberlakukan dengan tegas, siapa yang akan menanggung biaya operasional? Siapa yang akan menanggung biaya pengaman sosial bagi masyarakat yang terdampak, terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok dan pemenuhan pendapatan yang hilang atau berkurang jauh.
Pilihan untuk menerapkan PSBB daripada karantina wilayah mengesankan pemerintah pusat mengalihkan beban biaya yang muncul kepada pemerintah daerah. (*)