Pendapat F-PKS DPR RI terhadap RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual/Penghapusan Kekerasan Seksual

PENDAPAT

FRAKSI PARTAI KEADILAN SEJAHTERA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

TERHADAP

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

TENTANG

TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL/

PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL

==============================================================

Disampaikan oleh      : Dr Hj Kurniasih Mufidayati, M.Si

Nomor Anggota          : A-425

 

Bismillahirrahmanirrahiim;

Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Salam Sejahtera untuk kita semua

 Yang kami hormati:

Pimpinan dan Anggota DPR-RI

– Rekan-rekan wartawan serta hadirin yang kami muliakan

Segala puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas limpahan kasih sayang dan rahmat-Nya, kita bisa menghadiri Rapat Paripurna sebagai bentuk tugas mulia kita dalam menjalankan amanah sebagai wakil rakyat. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam, insan pilihan yang mengkhidmat kebijaksanaan dan kesalehan sosial sebagai tuntunan untuk memanusiakan manusia dalam bermasyarakat dengan berkeadilan dan kesejahteraan.

Pimpinan dan Anggota DPR-RI serta hadirin yang kami hormati,

Menyikapi hasil Panja Badan Legislasi perihal harmonisasi Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual/RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dan penetapan sebagai RUU Usul DPR, kami Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) menyampaikan catatan-catatan sebagai berikut:

Pertama; Fraksi PKS mengapresiasi seluruh Pimpinan dan Anggota Panja yang telah mengakomodasi beberapa usulan kami terkait materi muatan RUU TPKS agar penyusunan RUU ini dilakukan secara cermat dan komprehensif. Di antaranya menambahkan klausul dalam poin “Menimbang” bahwa kekerasan seksual bertentangan dengan norma agama dan norma budaya bangsa Indonesia. Hal ini sejalan dengan landasan filosofis dalam Pancasila, khususnya sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab yang dijiwai oleh sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu, telah dimasukan juga asas-asas dalam pengaturan Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang didasarkan salah satunya iman dan takwa serta akhlak mulia.

Juga masukan kami yang berkaitan dengan peran keluarga dan pendekatan pendidikan dalam pencegahan kekerasan seksual. Fraksi PKS juga mengapresiasi diakomodasinya usulan kami dalam penjelasan umum di alinea terakhir yang berbunyi: “sebagai negara yang berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka undang-undang ini tidak dimaksudkan untuk membenarkan perilaku seks bebas dan seks menyimpang karena hal tersebut tidak sesuai dengan Pancasila, norma agama, dan nilai-nilai budaya bangsa;

Kedua; Fraksi PKS mengutuk keras dan menolak segala bentuk kejahatan seksual. Bahkan mengingat semakin tingginya eskalasi kejahatan seksual dan adanya kecenderungan dilakukan secara keji dan tidak manusiawi, juga dilakukan dengan penyiksaan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, maka Fraksi PKS mendukung terhadap upaya-upaya pemberatan pidana termasuk pemberlakuan hukuman mati bagi pelaku kejahatan seksual. Fraksi PKS juga sangat mendukung terhadap upaya-upaya penanganan, perlindungan, dan pemulihan terhadap korban kejahatan seksual yang meliputi layanan pengaduan, layanan kesehatan, bantuan hukum, pemenuhan hak dan pemberian bantuan bagi korban, serta pemulihan untuk mengembalikan kondisi fisik, mental, spiritual, dan sosial korban. Hal ini dibuktikan dengan PKS memiliki lembaga yang khusus memberikan advokasi, pendampingan, dan konsultasi yang berkaitan dengan kejahatan seksual yang menyebar di seluruh wilayah Indonesia bahkan jauh sebelum RUU ini dibahas. Selain itu, Fraksi PKS juga mendukung pengesahan RUU tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sebagai bukti keseriusan Fraksi PKS untuk melindungi Pekerja Rumah Tangga yang mayoritas perempuan dari tindakan diskriminasi, eksploitasi, dan kekerasan, termasuk kekerasan seksual;

Ketiga; Fraksi PKS juga sangat prihatin dengan semakin maraknya tindakan perzinaan dan gaya hidup seks bebas di kalangan remaja Indonesia. Menurut survei yang dilakukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Kementerian Kesehatan pada Oktober 2013, menemukan sebanyak 63 % remaja sudah pernah melakukan hubungan seksual dalam hubungan yang belum sah. Sementara itu, menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017 mengungkapkan bahwa sekitar 2 % remaja wanita dan 8 % remaja pria usia 15-24 tahun mengaku telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah, dan 11 % di antaranya mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Menurut studi kualitatif yang dilakukan oleh Pusat Kesehatan Reproduksi Fakultas Kedokteran UGM (2017), sebagian besar remaja perempuan muda belum menikah yang mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) akan memilih untuk melakukan aborsi. Fenomena penyimpangan seksual pun semakin mengkhawatirkan bahkan menyebabkan risiko penularan HIV/AIDS. Berdasarkan Data Ditjen P2P Kementerian Kesehatan Tahun 2019 menunjukan bahwa terjadi peningkatan kasus HIV/AIDS yang mengalami puncak pada tahun 2019. Data UNAIDS 2019 menunjukan bahwa penyebab risiko penularan tertinggi HIV/AIDS ini berasal dari laki-laki seks dengan laki-laki (homoseksual). Dengan demikian, diperlukan undang-undang yang mengatur larangan perzinaan dan penyimpangan seksual berikut sanksi hukumnya;

Keempat; Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara nomor 46/PUU-XIV/2016, yang diajukan oleh AILA Indonesia bersama sejumlah pihak, pemohon meminta Mahkamah Konstitusi (MK) memperjelas rumusan delik kesusilaan yang diatur dalam Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP. Dalam putusannya, 5 Hakim Konstitusi berpendapat bahwa substansi permohonan dimaksud sudah menyangkut perumusan delik atau tindak pidana baru yang merupakan wilayah “criminal policy” yang kewenangannya ada pada pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden). Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi sudah menegaskan agar langkah perbaikan perlu dibawa ke pembentuk undang-undang untuk melengkapi pasal-pasal yang mengatur tentang delik kesusilaan tersebut;

Kelima; Fraksi PKS juga mengusulkan agar penyusunan materi muatan dalam RUU TPKS ini harus disesuaikan dengan RKUHP, terutama berkaitan dengan ketentuan tentang Norma Larangan Perzinaan dan Penyimpangan Seksual. Pengaturan tentang Tindak Pidana Perzinaan ini dengan memperluas rumusan delik zina yang telah diatur dalam Pasal 284 KUHP serta mencakup perzinaan yang dilakukan oleh laki-laki dan Perempuan, baik yang keduanya terikat perkawinan dengan orang lain, salah satunya terikat perkawinan dengan orang lain, maupun yang keduanya sama-sama belum terikat perkawinan.

Fraksi PKS juga mengusulkan untuk memasukan ketentuan larangan hubungan seksual berdasarkan orientasi seksual yang menyimpang (LGBT) dalam RUU TPKS, dengan mengakomodasi pemidanaan bagi pelaku penyimpangan seksual baik dilakukan terhadap anak maupun dewasa, melarang segala bentuk kampanye penyimpangan seksual, dengan memberikan pengecualian bagi pelaku penyimpangan seksual karena kondisi medis tertentu yang harus direhabilitasi. Selain itu, Fraksi PKS juga mengusulkan untuk menambahkan kategori pemberatan pidana (ditambah 1/3) sebagaimana diatur dalam RUU TPKS ini yaitu apabila Tindak Pidana Kesusilaan dilakukan secara Penyimpangan Seksual;

Keenam; Fraksi PKS menilai bahwa dasar pemidanaan dalam RUU TPKS ini masih menggunakan tolok ukur hanya adanya kekerasan atau ancaman kekerasan, sehingga tidak komprehensif untuk menjangkau tindak pidana perzinaan dan penyimpangan seksual. Dengan demikian, hanya perbuatan yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan saja yang dapat dipidana menurut RUU ini. Akibatnya, perbuatan seksual yang dilakukan di luar perkawinan yang sah, dilakukan tanpa paksaan atas dasar suka sama suka, dilakukan tanpa kekerasan, termasuk segala bentuk penyimpangan seksual, tidak dijangkau oleh pengaturan dalam RUU ini. Maka kami menyimpulkan bahwa RUU TPKS jika berdiri sendiri tanpa adanya aturan hukum Indonesia yang melarang perzinaan (perluasan pasal 284 KUHP) dan larangan LGBT (perluasan pasal 292 KUHP), maka muatan RUU TPKS berisi norma sexual consent, yakni persetujuan seksual yang berarti menyetujui untuk melakukan hubungan seksual dengan seseorang, atau perjanjian untuk berpartisipasi dalam akivitas seksual berdasarkan mau sama mau dan suka sama suka, sejauh tidak ada kekerasan maka hubungan seksual dibolehkan. Padahal hal tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, norma agama, dan budaya yang dianut bangsa Indonesia;

 Ketujuh; Fraksi PKS mengusulkan untuk menambahkan kurikulum pendidikan dan menetapkan kebijakan pencegahan tindak pidana kesusilaan dalam lingkungan lembaga pendidikan berlandaskan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia yang terintegrasi dalam Sistem Pendidikan Nasional. Dalam kurikulum pendidikan tersebut dijabarkan mengenai larangan untuk melakukan perbuatan seksual yang dilarang oleh agama dan norma masyarakat Indonesia yaitu seks bebas dan seks menyimpang. Selain itu juga dijabarkan mengenai upaya-upaya pencegahan agar terhindar dari tindak pidana seksual yaitu dengan mengenal fungsi tubuh secara biologis, fisiologis, dan spiritual; menghindari pergaulan bebas yang bisa menjerumuskan ke dalam penyalanggunaan narkoba dan minuman beralkohol yang bisa memicu terjadinya tindak pidana kesusilaan; serta penguatan karakter generasi muda Indonesia agar beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia.

Pimpinan dan Anggota DPR-RI serta hadirin yang kami hormati,

Berdasarkan catatan kami tersebut terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual/RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, dengan memohon taufik Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan mengucap Bismillahirrahmanirrahim, kami Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) MENOLAK Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual/RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual untuk ditetapkan sebagai RUU Usul DPR-RI, bukan karena kami tidak setuju perlindungan terhadap korban kekerasan seksual terutama kaum perempuan, melainkan karena RUU TPKS ini tidak memasukan secara komprehensif seluruh Tindak Pidana Kesusilaan yang meliputi: kekerasan seksual, perzinaan, dan penyimpangan seksual yang menurut kami menjadi esensi penting bagi pencegahan dan perlindungan dari kekerasan seksual.

Demikian Pendapat Fraksi PKS ini kami sampaikan. Semoga Rapat Paripurna hari ini memperoleh kesimpulan yang terbaik, sebagai ikhtiar kita untuk menyusun undang-undang yang komprehensif memberikan perlindungan berkaitan dengan Tindak Pidana Kesusilaan. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala meridhoi dan mencatat ikhtiar kita bersama dalam Rapat ini sebagai bagian dari amal terbaik kita untuk kemajuan bangsa dan negara Indonesia tercinta.

Atas perhatian Pimpinan dan Anggota DPR-RI serta hadirin sekalian kami ucapkan terima kasih.

 Billahi taufiq wal hidayah

Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.