Jatuhnya 11 korban jiwa dan 530 kasus kerusakan paru di Amerika Serikat (AS) yang diduga berhubungan dengan penggunaan rokok elektrik (vape) telah menyebabkan penggunaan vape di AS menimbulkan kontroversi. Di Indonesia juga muncul wacana untuk pelarangan vape terutama vape dengan perasa. Di Indonesia sendiri sudah ada dua temuan yang diduga juga terkait dengan penggunaan vape yang makin marak. Satu temuan pada pria berusia 23 tahun yang meskipun sudah 8 tahun merokok, namun baru mengalami keluhan sesak napas dan temuan hidropneumothoraks setelah 6 bulan menggunaan vape. Satu kasus lagi pada remaja usia 18 tahun yang sudah 3 bulan mengkonsumsi vape denga gejala sesak nafas dan batuk dan temuan inflitrat di hasil foto rontgen.
Di Indonesia sendiri, seiring dengan semakin derasnya peringatan akan bahaya rokok melaalui berbagai media, serta perkembangan tren gaya hidup, penggunaan vape semakin marak terutama di kalangan muda. Vape bukan hanya sebagai alternatif rokok, namun juga telah menjadi gaya hidup. Apalagi sejauh ini belum banyak himbauan tentang potensi bahaya yang ditimbulkan oleh vape, apalagi sampai tingkat pelarangan. Sehingga penggunaan vape ini berpotensi (jika tidak ingin disebut dikhawatirkan) akan semakin meningkat. Pengguna vape ini akan datang dari mereka yang dulunya perokok dan mencoba mencari alternatif yang dinilainya lebih aman dan sehat, dan mereka yang belajar merokok terutama kalangan remaja.
Potensi Masalah dibalik Meningkatnya Penggunaan Vape
Salah satu penyebab meningkatnya penggunaan vape adlah anggapan bahwa Vape aman dan tidak membahayakan kesehatan sebagaimana rokok. Apalagi dari pemerintah sendiri hampir tidak ada pernyataan maupun himbauan terkait dengan bahaya vape. Padahal Vape ini mulai menyasar remaja dan menjadi pintu masuk untuk mulai merokok. Sejauh ini juga belum ada regulasi untuk membatasi penggunaan vape maupun himbauan untuk tidak menggunakan vape. Regulasi yang terkait dengan penggunaan Vape masih sangat umum yaitu masuk dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia pernah menyampaikan bahwa setidaknya ada tiga kandungan vape yang membayakan kesehatan yaitu nikotin, karsinogen yang keduanya juga terdapat pada rokok, dan yang ketiga adalah kandungan yang bersifat iritatif dan toksik yang menyebabkan kerusakan sel akut termasuk paru. Zat toksik dan iritatif sepertu gliserol, aldehyde, logam dan particulate matter (PM) ini menjadi penyebab banyak kerusakan paru akibat vape seperti yang terjadi di AS.
Lemahnya payung hukum untuk pengendalian penggunaan vape ini menyebabkan upaya sosialisasi dan penyuluhan tentang bahaya vape ini masih sangat kurang. Pendekatan yang dilakukan masih sebatas mendorong perluasan kawasan tanpa rokok. Sementara di kalangan pengguna sendiri menilai vape bukanlah rokok. Apalagi belum ada temuan yang terpublikasi luas di Indonesia terkait penggunaan vape yang menyebabkan gangguan kesehatan atau organ tubuh yang serius. Akibatnya Kementerian Kesehatan hanya bisa memberikan sebatas sosialisasi dalam bentuk pengetahuan untuk menghindari penggunaan vape dan tidak dilakukan dengan massif sebagaimana kampanye terhadap rokok.
Memperkuat Regulasi untuk Pengendalian Penggunaan Vape
Kunci dari upaya untuk mulai mensosialisasikan tentang bahaya vape adalah perhatian pada bahan-bahan yang digunakan dalam vape. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi IX dengan BPOM terungkap bahwa ada peluang untuk pengendalian vape melalui pengawasan terhadap bahan cairan yang digunakan dalam vape melalui pengawasan oleh BPOM. Temuan medis juga menunjukkan bahwa bahan cair yang digunakan untuk vape yang berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan karena kandungan bahan cair yang ditambahkan perasa yang bisa mengandung zat yang poisoning /toksik, karsinogen, sampai iritatif dan menimbulkan alergi.
Namun dengan kewenangan yang terbatas, BPOM tidak bisa melakukan penindakan terhadap produsen zat cair yang digunakan dalam vape, apalagi pelarangan vape dari sisi kesehatan. BPOM hanya bisa meminta produsen melakukan penarikan jika terbukti zat tersebut mengandung bahan berbahaya. Oleh karena itu adanya payung hukum untuk mengatur penggunaan zat cair dalam Vape menjadi sangat penting untuk mengendalikan penggunaan Vape. Payung ini setidaknya berasal dari dua bentuk yaitu revisi PP No. 109 Tahun 2012 dengan lebih menjangkau zat-zat berbahaya yang digunakan alam cairan Vape yang dilanjutkan dengan penyusunan peraturan turunan dari PP tersebut untuk mengendalikan penggunaan bahan-bahan Vape. Kedua adalah dengan Undang-Undang Pengawasan Obat dan Makanan yang memberikan kewenangan kepada BPOM untuk melakukan tindakan termasuk terhadap penyalahgunaan cairan untuk Vape.
Vape tidak 100 persen aman karena rawan penyalahgunaan. Banyak negara di Asia, Amerika Latin, Timur Tengah bahkan Australia sudah menetapkan Vape sebagai barang illegal dan berbahaya bagi kesehatan, sampai memberikan denda bagi penggunanya. Sebagian negara lain membatasi usia penggunaannya. Maka Indonesia dengan penduduk besar dan kualitas kesehatan yang masih buruk, jangan diperburuk lagi dengan membiarkan secara bebas penggunaan vape yang kian marak dan menjadi gaya hidup. Jangan sampai korban berjatuhan baru kita disadarkan akan bahaya vape ini. Bikin dan perkuat payung hukum untuk mengedalikan vape. Sehingga tidak ada alasan bagi pihak berwenang di bidang kesehatan untuk tidak melakukan upaya pengendalian terhadap penggunaan rokok elektrik ini.