PPKM 3 Nataru Batal, Kini Perubahan Karantina Mandiri, Mufida: Berulang Inkonsistensi Kebijakan

Jakarta — Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi Kurniasih Mufidayati mengkritik berulangnya kebijakan inkonsisten yang dibuat pemerintah terkait penanganan pandemi.

Usai batal menerapkan PPKM Level 3 nasional dan menjadi bentuk lain saat libur Nataru, kini kebijakan karantina mandiri terkait kedatangan luar negeri juga berubah.

Mulai dari karantina 3 hari, 7 hari, 10 hari dan 14 hari bagi kedatangan WNI dan WNA dari luar negeri.

Mufida menyebut inkonsistensi kebijakan ini membingungkan publik sekaligus memberatkan secara biaya bagi publik termasuk bagi APBN.

Publik mulai merasakan beratnya biaya yang mencapai puluhan juta untuk karantina 10 hari usai kedatangan dari luar negeri. Termasuk karantina 14 hari jika dari 11 negara yang telah ditetapkan.

Selain itu, papar dia, jika karantina di fasilitas pemerintah, juga akan menambah beban APBN karena harus menanggung biaya karantina lebih lama.

“Tarif paling murah dari PHRI 8 jutaan hingga bisa 25 jutaan untuk karantina mandiri ini. Tentu jumlah ini cukup memberatkan bagi masyarakat. Apalagi sekarang umrah sudah dibuka setelah sekian masyarakat rindu dan menunggu. Tentu biaya untuk umrah akan membengkak dua hingga tiga kali lipat karena harus karantina ini,” ujar Mufida dalam keterangannya, Selasa (14/12/2021).

Mufida mempertanyakan apakah karantina 10 dan 14 hari ini efektif dalam upaya penanganan Covid-19. Ia sering mempertanyakan apakah setiap kebijakan soal penanganan pandemi sudah berbasis sains dengan masukan para ahli kesehatan masyarakat dan epidemolog, virolog dan ahli terkait lainnya.

“Berubahnya kan cepat dari 3 hari, 7 hari, 10 hari dan 14 hari. Apa masukan dari para ahli tentang lama karantina ini? pertimbangan sains dan ahli kesehatan harus didahulukan,” papar Mufida.

Mufida menyebut apakah orang yang sudah divaksin lengkap juga harus menjalani karantina selama 10 hari lengkap. Sementara di beberapa negara bagi yang sudah vaksin lengkap karantina bisa kurang dari 10 hari seperti di Qatar. Bahkan di sejumlah negara tidak pake karantina ketika sudah vaksin dua kali dan hasil PCR negatif.

Jangan sampai, ujar dia, kebijakan karantina ini menimbulkan penilaian publik bahwa pemerintah sedang ‘berbisnis’ tempat penginapan setelah publik mempertanyakan terkait ‘bisnis PCR’.

“Ini pertanyaan yang harus dijawab karena memang berat bagi masyarakat umum dari segi biaya. Belum lagi di negara kedatangan juga harus melakukan karantina. Dari segi waktu dan biaya tentu sangat tidak efektif. Jangan sampai muncul dugaan kembali pertimbangannya ekonomi semata bukan kesehatan,” sebut Mufida.

Ia pun meminta pemerintah meninjau kembali kebijakan batas waktu karantina mandiri yang scientist based. Sementara di dalam negeri, pemerintah juga mengubah rencana aturan pembatasan PPKM 3 secara nasional pada momen Nataru menjadi bentuk lain.

“Penjelasannya belum terlihat dari sisi sains, kebijakan berubah apa dasar sainsnya harus detil dijelaskan kepada publik. Agar tidak memberatkan masyarakat,” ujar Mufida.