Oleh Dr.Hj. Kurniasih Mufidayati, M.Si
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI/Fraksi PKS
Bidang Kesehatan
Tahun 2023 menjadi tahun yang cukup monumental bagi sektor kesehatan. Hal ini ditandai dengan lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan dinyatakan berakhirnya Pandemi Covid-19 oleh Presiden pada 21 Juni 2023. Pandemi covid-19 yang mendera Indonesia selama lebih dari 3 tahun telah menyebabkan korban meninggal dunia mencapai 161.872 orang atau terbesar kedua di Asia dan 2172diantaraya adalah tenaga medis. Pandemi yang nyaris memprorak-porandakan sistem kesehatan kita pada akhirnya bisa dilalui dan tentu banyak pelajaran penting yang harus dipetik terutama dalam membuat kebijakan dan membangun sistem kesehatan kita. Sementara UU Kesehatan yang resmi diundangkan pada 8 Agustus 2023 bukan UU biasa karena UU ini berbentuk Omnibus Law yang menggabungkan UU yang berkaitan dengan Kesehatan. UU No. 17 Tahun 2023 ini telah mencabut 9 undang-undang dan mengubah 4 undang-undang terkait dengan kesehatan.
Tahun 2023 juga diawali dengan munculnya kembali penyakit gangguan ginjal akut pada anak (GGPA) yang ditemukan pada dua anak dan satu diantaranya meninggal dunia. GGPA sempat dinyatakan nihil kasus pada November 2022 setelah sebelumnya dialami 326 anak dengan 204 diantaranya meninggal dunia. Munculnya kembali kasus GGPA mengindikasikan belum tuntasnya upaya razia obat demam anak yang mengandung zat berbahaya penyebab GGPA serta masih lemahnya pengawasan terhadap peredaran obat berbahaya.
Pada 2023 juga ditandai merebaknya kembali kasus cacar monyet (Monkey Pox). Meskipoun cacar monyet ini sudah mulai merebak sejak 2022 dan pemerintah menyatakan sudah bersiap menghaapi wabah cacar monyet. namun kenyataannya kasus cacar monyet meningkat lagi terutama pada Oktober 2023. Upaya penanganan cacar monyet agar tidak semakin melus dilakukan pemerintah dengan melakukan pelacakan kontak erat, pemeriksaan laboratorium, isolasi dan perawatan pasien. Pemerintah juga memberikan vaksin cacar monyet secara bertahap bagi orang-orang beresiko tinggi tertular dengan menggunakan vaksin impor hasil produksi Bavarian Nordic.
Munculnya kembali Cacar Momyet menunjukkan tidak tuntasnya penanganan wabah ini saat muncul di tahun 2022. Pelacakan kontak erat dan vaksinasi kepada kelompok yang rentan tidak dilakukan secara tuntas sehingga kasus muncul lagi. Sosialisasi dan edukasi terhadap cacar monyet ini juga kurang diberikan kepada kelompk rentan dan kontak erat dari kasus yang ada.
Sementara stunting juga masih menjadi pekerjaan rumah besar di tahun 2023 karena angka prevalensi stunting yang masih tinggi. Padahal Indonesia punya target menurunkan pravelensi stunting ini sampai 14% di tahun 2024 yang hanya tinggal setahun lagi. Koordinasi penanganan stunting yang semula dipimpoin oleh Kementerian Kesehatan yang kemudian dialihkan ke BKKBN belum memberikan dampak yang signifikan dalam upaya percepatan penanganan stunting. Bahkan terkait dengan kecukupan pangan dan gizi ini, pada tahun 2023 kita dikejutkan dengan beberapa temuan keluarga yang meninggal dunia karena kelaparan, desa yang mengalami kelaparan atau adanya kekurangan gizi kronis di suatu wilayah. Tampaknya masih sulit bagi pemerintah untuk mencapai target prevalensi stunting 14% pada 2024 jika pemerintah jujur dengan fakta dan data yang ada di lapangan.
Hal yang cukup mengkhawatirkan di 2023 adalah meningkatnya permasalahan kesehatan mental khususnya yang dialami remaja dan keluarga. Meningkatnya tekanan hidup, arus informasi yang nyarus tanpa filter terutama akibat transformasi digital yang tidak diikuti oleh edukasi ke masyarakat turun berperan dalam meningkatnya masalah kesehatan mental. Kasus-kasus remaja atau bahkan satu keluarga bunuh diri, kekerasan antar remaja dan di dalam keluarga menunjukkan permasalahan serius dalam kesehatan mental yang selama ini justru tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah. Negara harus sudah lebih serius dalam menangani permasalahan keseatan mental ini. Jangan ragu memasukan aspek keagamaan atau spiritualitas dalam menangani permasalahan kesehatan mental ini. Jangan justru mencurigai pembinaan keagamaan pada generasi muda.
Lahirnya Omnibus Law UU Kesehatan menjadi yang paling menjadi sorotan di tahun 2023. Pembahasan yang kilat dan cenderung tertutup dengan partisipasi masyarakat yang rendah menjadi kritik yang paling utama dari sisi proses pembuatan. Padahal produk Omnibus Law yang lain yaitu UU Cipta Kerja dengan proses yang mirip, terbukti kemudian bermasalah. Apalagi sektor kesehatan menyangkut nyawa dan kehidupan banyak orang dan melibatkan banyak ahli di dalamnya yang juga mengajukan keberatan atas proses maupun muatan dari UU Kesehatan ini. Dari sisi muatan, hilangnya mandatory spending menjadi yang paling mendapat sorotan dari UU Kesehatan. Hilangnya mandatory spending APBN untuk sektor kesehatan ini memberi kesan pemerintah tidak ingin lagi bertanggungjawab penuh untuk pembiayaan sektor kesehatan bagi masyarakat.
Di sisi lain pemerintah justru cenderung melakukan sentralisasi dalam pengaturan bidang kesehatan ini. Organisasi profesi di bidang kesehatan juga kurang didengar aspirasinya dan cenderung dikurangi perannya dalam UU Kesehatan ini. Pengawasan atas implementasi maupun peraturan pelaksana dari UU Kesehatan ini perlu terus dilakukan agar tidak merugikan masyarakat dan tenaga medis yang telah berjuang di sektor kesehatan terutama di masa pandemi covid-19 lalu.
Di akhir tahun, pemerintah kembali membuat permyataan yang cukup mengejutkan. DItengah kasus covid-19 yang kembali meningkat, pemerintah justru ingin merapkan vaksin berbayar untuk vaksin covid-19 yang sebelumnya digratiskan. Tentu saja hal ini tidak sesuai dengan tujuan pengadaan dan proses vaksinasi covid-19 yang gencar dilakukan selama masa pandemi. Vaksinasi covid-19 masih dibutuhkan terutama untuk kalangan masyarakat yang belum sempat melakukan vaskinasi atau belum melakukan booster vaksin covid-19 karena berbagai faktor.
Bidang Ketenagakerjaan
Dalam bidang ketenagakerjaan, lahirnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi catatan buruk pemerintah. UU Cipta Kerja yang dinilai inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan harus segera diperbaiki justru direspon pemerintah dengan terbitnya Perppu tersebut. Perppu tersebut tidak merubah keadaan dan nasib pekerja dari UU sebelumnya. Perppu ini tetap memberikan dampak merugikan terhadap pekerja, bahkan dalam waktu yang lama. Padahal di tahun 2023 juga ramai pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan-perusahaan karena ekonomi yang belum. Sementara jaminan terhadap kepastian dan perlindungan kerja dalam Perppu Cipta Kerja juga sangat lemah.
Isu lain yang mengemuka pada tahun 2023 juga adalah tentang upah minimum. Penetapan upah minimum yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 2021 tentang pengupahan juga membuat kenaikan upah yan diterima oleh pekerja semakin sulit mengimbangi kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok yang melonjak di 2023. Kalangan pekerja kembali menolak penetapan upah minimum 2024 karena dinilai terlalu rendah. Permasalahan upah ini ditambah lagi dengan dikeluarkannya Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan pada Perusahaan Industri Padat Karya Tertentu Berorientasi Ekspor. Permenaker ini berpotensi upah pekerja di lima industri padat karya berorientasi ekspor ini dipotong sampai 25% jika perusahaan industri padat karya tersebut terdampak perubahan ekonomi global. Permenaker ini pun mendapat penolakan dari beberapa serikat pekerja.
Pada sektor pekerja migran, pemerintah juga mengeluarkan Permenaker Nomor 4 Tahun 2023 tentang Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia. Peraturan yang menggantikan peraturan lama masih memicu persoalan diantaranya masih memposisikan pembayar iuran jaminan sosial adalah buruh migran. Padahal Pasal 30 UU No.18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) mengamanatkan PMI tidak dapat dibebani biaya penempatan termasuk jaminan sosial PMI. Harusnya pembayara iuran adalah pelaksana penempatan yakni perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia atau BP2MI jika penempatan dilakukan secara G to G.
Dalam Permenaker ini juga pemberian bantuan biaya perawatan dan pengobatan akibat kecelakaan kerja di negara penempatan ditetapkan maksimal Rp50 juta. Artinya jika biaya yang dibutuhkan lebih dari 50 juta, pekerja harus menanggung biaya kelebihannya. Padahal manfaat bagi peserta korban kecelakaan kerja (JKK) di dalam negeri dibiayai tanpa ada pembatasan. Masih ada sederet point lagi dari Permenaker No. 4 Tahun 2023 yang dinilai merugikan pekerja migran.
Tahun 2023 juga diwarnai maraknya penipuan penempatan pekerja migran yang diberangkatkan secara illegal dan akhirnya dipekerjakan sebagai scammer (penipuan online) di beberapa negara ASEAN. Kasus ini bahkan sudah mengarah ke perdagangan manusia (human trafficking). KBRI di beberapa negara sudah menjadi tempat penampungan bagi korban penipuan kerja ini yang berhasil lolos dari penyekapan. Sulitnya lapangan pekerjaan di dalam negeri menyebabkan banyak orang tergiur tawaran bekerja di luar negeri yang berujung pada penipuan dan dipekerjakan sebagai scammer. Sampai saat ini belum ada upaya pencegahan yang komprehensif agar kasus serupa tidak muncul lagi.
Untuk mencegah banyaknya kasus-kasus yang menimpa PMI akibat keberangkatan yang ilegal, salah satu lamgkah positif yang dilakukan pemerintah di 2023 ini adalah memperluas penempatan pekerja migran Indonesia dengan skema Government to Government (G to G) hingga ke 19 negara pada 2024. Sepanjang 2023 BP2MI telah melakukan penempatan sebanyak 11.967 pekerja migran Indonesia dengan skema G to G dengan terbanyak di Korea Selatan.
Di akhir tahun, kita juga dikagetkan dengan kasus ledakan smelter nikel PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS)di Morowali, Sulawesi Tenggara. Ledakan yang menyebabkan 21 pekerja lokal meninggal dunia ini mengingatkan akan nasib banyak pekerja yang bekerja di smelter-smelter perusahaan asing dari dari aspek keselamatan kerja. Upaya meningkatkan investasi dan kapasitas produksi jangan sampai mengabaikan keselamatan pekerja. Para pekerja juga harus dipastikan memiliki jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JKM), jaminan hari tua (JHT) dan jaminan pemelihatraan kesehatan bagi kerja. Investor asing yang mempekerjakan pekerja lokal apalagi pada kegiatan usaha yang beresiko tinggi harus memberikan seluruh jaminan ini kepada pekerjanya.
Ketahanan Keluarga
Tahun 2023 juga ditandai dengan beberapa kejadian tragis yang menimpa keluarga dan menunjukkan masih rapuhnya ketahanan keluarga di Indonesia. Adanya kasus bunuh diri yang dilakukan remaja dan pelajar sekolah menengah, suami yang membunuh istrinya, orang tua yang membunuh empat anak dan melukai istri dan orang tua yang membanting balitanya sehingga meninggal dunia hanya sedikit kasus yang nuncul dari banyaknya oersoalan ketahanan keluarga di Indonesia. Masih ada pekerjaan rumah besar pemerintah dalam melakukan pembinaan dan penguatan keluarga di Indonesia.
Sementara upaya untuk memperkuat ketahanan keluarga Indonesia melalui regulasi masih menemui banyak kendala, termasuk di daerah-daerah dengan masih sulitnya diterima konsep Peraturan Daerah tentang ketahanan keluarga, karena dinilai belum menjadi prioritas. Pemerintah harus terbuka untuk bermitra dengan berbagai pihak dalam melakukan pendidikan dan pembinaan ketahanan keluarga kepada masyarakat. Kehidupan yang semakin keras membuat ketahanan keluarga juga menjadi lebih rentan. Sehingga dibutuhkan upaya untuk terus melakukan pembinaan kepada masyarakat dalam membangun ketahanan keluarga ini