Satu Semester Covid-19 di Indonesia: Jangan Hanya Dilihat Sebatas Angka

Oleh : Dr Kurniasih Mufidayati, M.Si.
Anggota Komisi IX DPR RI

Memasuki pekan pertama bulan September, menandakan satu semester sejak diumumkannya kasus pertama covid-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020. Sementara sampai 10 September 2020, tercatat sudah tembus 200 ribu atau tepatnya 207.203 orang terinfeksi covid-19, 8.456 orang yang meninggal dunia dan 147.510 yang sembuh

Jika pada awal April lalu kita sudah cukup terkejut dengan jumlah kasus harian yang tembus 300 orang, maka dalam 3 hari terakhir, kasus positif baru di seluruh Indonesia sudah menembus angka 3.000 kasus. Jangankan bicara gelombang kedua, dengan penambahan kasus harian yang semakin tinggi, bahkan kita tidak tahu kapan gelombang pertama covid-19 di Indonesia ini mencapai puncaknya.

Sampai pekan lalu, sudah 105 dokter yang gugur dalam menjalankan tugas menangani covid-19. Dokter yang gugur pun bervariasi usianya, dari yang memang sudah tua, maupun yang kasih muda. Tidak hanya dokter spesialis paru atau spesialis penyakit dalam, namun juga dari berbagai spesialis, bahkan dokter umum dan dokter gigi juga turut meninggal dunia akibat terpapar covid-19.

Belum lagi tenaga kesehatan lain seperti perawat, petugas laboratorium, bahkan petugas ambulans juga wafat terpapar covid-19. Mengapa penyebaran covid-19 di Indonesia menjadi begitu tidak terkendali ?

Polemik Kebijakan Penanganan Covid-19: Terlalu Percaya Diri di Awal

Sejak awal pandemi covid-19 di Indonesia, kebijakan penanganan dan pengendalian penularan covid-19 sudah menimbulkan polemik dan kontraversi. Pemerintah dinilai terlalu percaya diri dalam menghadapi oandemi covid-19 meskipun kalangan medis sudah banyak memperingatkan serangan pandemi ini di Indonesia tidak lama setelah masus infeksi SARS Cov-2 ini mulai berkembang di Wuhan dan belum diberi nama covid-19.

Ketika beberapa pakar bahkan juga peneliti Harvard University menenggarai covid-19 sudah masuk Indonesia sejak Februari, Menteri Kesehatan bersikeras bahwa covid-19 belum masuk Indonesia. Ketika WHO sejak 30 Januari menetapkan covid-19 sebagai Public Health Emergency of International Concern (PHEIC), saat itu Indonesia masih belum menunjukkan perhatian dan kewaspadaan tinggi.

Pemerintah juga lebih menonjolkan upaya pemulangan WNI dari Wuhan pada 2 Februari 2020 untuk menunjukkan kesiapan Indonesia menghadapi wabah covid-19 dibanding mempersiapkan kebijakan pengendalian penyebaran dan kesiapan fasilitas kesehatan.

Bahkan ketika pemerintah Arab Saudi pada 27 Februari memasukan Indonesia dalam negara yang jamaah umrahnya dilarang masuk karena diduga covid-19 sudah masuk Indonesia, tidak dijadikan sebagai peringatan untuk membangun kewaspadaan yang tinggi. Bahkan Indonesia justru memprotes kebijakan pemerintah Arab Saudi ini.

Begitu juga ketika dari dalam negeri, ada kepala daerah mengingatkan ancaman Covid-19 dengan menunjukkan peningkatan jumlah penderita gangguan paru dan pneumonia di rumah sakit dan kematian yang diakibatkannya, justru dibantah oleh Menteri Kesehatan.

Setelah diumumkannya kasus pertama tersebut, sampai hampir dua pekan, tidak ada kebijakan pemerintah yang signifikan untuk mencegah dan mengendalikan penyebaran virus SARS-Cov 2 ini. Kebijakan pembatasan yang dibuat pemerintah untuk pendatang dari luar juga masih sebatas pendatang langsung dari China Mainland dan dua wilayah di Korea Selatan.

Alih-alih melakukan pembatasan, pada periode tersebut pemerintah justru sibuk mempromosikan daerah tujuan wisata di Indonesia untuk mengundang wisatawan dari luar datang dengan berbagai diskon dan buzzer. Peningkatan pembatasan kedatangan dari luar baru dilakukan pada 20 Maret

Pembatasan Yang Terlambat, Pelonggaran Yang Terlalu Cepat

Pada 16 Maret Pemerintah Indonesia baru menetapkan pandemi covid-19 sebagai bencana nasional. Namun penetapan ini tidak diiringi dengan kebijakan pembatasan yang jelas dan tegas untuk mengurangi penularan covid-19.

Pemerintah hanya memberikan himbauan untuk melakukan social distancing. Inisiatif pembatasan yang lebih ketat justru datang dari daerah dengan meliburkan sekolah dan menurutu beberapa area publik dan tempat hiburan. Bahkan ketika banyak pihak menyerukan untuk melakukan lockdown atau Karantina Kewilayahan di episentrum pandemi seperti Jabodetabek, pemerintah pusat belum bergeming.

Beberapa rencana pembatasan oleh pemerintah daerah juga ditolak dan dianulir oleh pemerintah pusat. Pemerintah pusat juga belum menetapkan status Darurat Kesehatan Masyarakat sebagaimana amanat UU No. 6 Tahun 2018 ketika penyebaran covid-19 sudah meluas ke daerah-daerah dan himbauan social distancing kurang efektif dijalankan.

Baru pada 31 Maret pemerintah menetapkan status Darurat Kesehatan. Namun pilihan pembatasan yang dilakukan bukanlah karantina kewilayahan melainkan hanya dalam bentuk Pembatasan Sosial Bersakala Besar (PSBB) melalui PP No. 21 Tahun 2020 dan pedoman teknisnya melalui Permenkes No. 9 Tahun 2020.

Pelaksanaanya pun diserahkan kepada pemerintah daerah, beserta implikasi yang timbul. Ini juga berarti bahwa Pemerintah lebih memilih pembatasan daripada karantina yang sebetulnya banyak diharapkan kalangan medis untuk membatasi penyebaran covid-19.

Pembatasan penduduk yang akan melakukan mudik untuk mencegah penyebaran covid-19 ke daerah juga tidak dilakukan secara tegas. Presiden malah membuat pernyataan yang membingungkan antara mudik dengan pulang kampung.

PSBB juga dinilai serba tanggung untuk melakukan pembatasan kegiatan dan penerapan social distancing untuk mencegah meluasnya penulatran covid-19 karena upaya pembatasan transportasi publik oleh pemerintrah daerah untuk membatasi mobilitas orang justru ditolak oleh pemerintah pusat. Beberapa negara seperti di Eropa dan Amerika sudah menunjukkan bahwa pembatasan yang longgar menyebabkan peningkatan kasus yang cepat.

Setelah lebih dari dua bulan dari pengumuman kasus pertama, ketika covid-19 belum lagi mereda dan secara nasional penambahan kasus harian menujukkan peningkatan, pemerintah justru menggaungkan New Normal. New normal yang dimaksudkan untuk melakukan pelonggaran pembatasan agar ekonomi bisa bergerak namun dengan penerapan protokol kesehatan, pada praktiknya di lapangan hampir diterjemahkan sebagai kembali ke kondisi normal seperti sebelum pandemi.

Masyarakat yang jenuh denga pembatasan selama dua bulan lebih, kemudian banyak beraktivitas di luar dengan banyak mengabaikan protokol kesehatan. Padahal selama penerapan PSBB pun, banyak tempat-tempat publik maupun di pemukiman padat banyak yang tidak menerapka protokol kesehatan.

Pelonggaran yang terlalu cepat menimbulkan euforia di masyarakat untuk kembali beraktivitas normal. Pasar, terminal, stasiun dan jalan-jalan kembali ramai. Ruang-ruang publik kembali didatangi warga, akivitas kantor mulai berjalan yang sayangnya penerapan protokol kesehatannya sebagian tidak ketat. Pemahaman New Normal yang tidak sama diantara berbagai pihak menyebabkan protokol kesehatan yang seharusnya diterapkan banyak yang tidak berjalan dan PSBB menjadi longgar.

Masing-masing sektor membuat aturan sendiri untuk pelonggaran aktivitas. Ketika dalam perjalanan kemudian semakin melonggar dan kedisiplinan penerapan protokol kesehatan juga melemah, sementara covid-19 sudah menyebar luas, maka lahirlah klaster-klaster penularan di berbagai sektor.

Dari mulai klaster perkantoran, klaster pabrik/industri, klaster pasar, klaster pusat perbelanjaan modern, bahkan klaster rumah sakit/fasilitas kesehatan. Akibat pelonggaran yang dilakukan dan semakin tidak pedulinya sebagian masyarakat akan penyebaran covid, maka klaster penularan menjadi semakin mengkhawatirkan dengan munculnya klaster pemukiman dan klaster keluarga yang korbannya semakin banyak karena intensitas kontak yang semakin dekat dan sering

Saat pemerintah menggaungkan New Normal, sesungguhnya Indonesia masih jauh dari kriteria WHO untuk bisa melakukan pelonggaran dan pembatasan. Penularan yang secara keseluruhan belum terkendali, kemampuan tes, tracing, ruang isolasi dan pengobatan yang masih kurang, upaya pencegahan di tempat publik yang belum berjalan baik masih terjadi di Indonesia saat itu.

Demikian pula dengan imported cases yang belum dapat dikendalikan karena pembatasan pendatang yang tidak tegas serta masyarakat yang masih belum terdidik untuk menerapkan protokol kesehatan dan pola hidup sehat dan bersih. Akibatnya, daerah seperti Jakarta pun yang saat itu sudah relatif terkendali dan membuat kebijakan PSBB Transisi kembali mengalami ledakan kasus akibat pelonggaran yang dilakukan.

*Bukan Sekadar Angka*

Presiden menyatakan bahwa fokus kita nomor satu tetap kesehatan. Namun, tak dapat dipungkiri dalam kenyataannya ekonomi masih mendominasi berbagai kebijakan yang dibuat, terutama berbagai upaya untuk melakukan pemulihan ekonomi. Pelonggaran yang dilakukan dengan gaung New Normal pun sangat terasa untuk kebutuhan pemulihan ekonomi.

Demikian pula dengan perubahan Gugus Tugas penanganan covid-19 menjadi Satuan Tugas Penanganan Covid-19 yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Perekonomian dan didominasi menteri-menteri. Padahal selama covid-19 masih terus mengganas, ribuan nyawa berpotensi untuk terus berguguran, termasuk orang-orang terbaik atau potensial di bidangnya, bahkan juga kepala daerah dan pejabat negara/daerah. Bukan tidak mungkin ketika penularan semakin tidak terkendali, kita akan dipaksa untuk menghentikan kembali semua jenis kegiatan.

Setelah satu semester pandemi covid-19 di Indonesia, sudah 181 tenaga kesehatan wafat dan 105 diantaranya adalah dokter dari berbagai bidang. Rasio kematian tenaga medis dan tenaga kesehatan Indonesia pun menjadi tertinggi ketiga du dunia setelah Rusia dan Mesir dan nomor 1 di Asia.

Kasus baru harian juga tidak lagi dalam julah ratusan atau seribuan. Data terakhir per 8 Agustus di situs covid19.go.id menunjukkan penambahan kasus harian sebanyak 2880 kasus. Pekan lalu bahkan mencapai 3300 kasus baru harian. Lebih dari 50 ribu pasien masih dalam perawatan maupun jalani isolasi mandiri.

Dokter dan tenaga medis tentu saja perlu diselematkan karena mereka menjadi benteng terakhir dalam penanganan covid-19 di Indonesia. Jika penularan semakin tinggi, beban kerja mereka menjadi semakin berat. Perlu perbaikan sistem beban kerja tenaga medis dan fase istirahatnya.

Pemerintah perlu menyadari beban kerja yang berat dan banyaknya tenaga medis yang sudah berguguran dalam membuat berbagai kebijakan. Masyarakat juga perlu sangat disadarkan akan beban kerja para tenaga kesehatan jika mereka terus mengabaikan protokol kesehatan dan menganggap remeh penularan covid-19. Pemerintah perlu lebih tegas kepada masyarakat dan memberikan penyadaran akan bahaya penularan covid-19 yang tidak jelas kapan berakhir

Dari sisi kebijakan, kalau pemerintah tidak mau memberlakukan karantina wilayah dalam situasi penyebaran yang semakin sulit dikendalikan, setidaknya PSBB kembali diberlakukan, bahkan perlu diperketat pelaksanaan dan pengawasannya. Jangan ada pelonggaran PSBB atas nama transisi, new normal atau apapun. Jika kemarin masyarakat maupun kalangan usaha sudah terlanjur kembali beraktivitas normal karena PSBB yang dilonggarkan, maka dengan pengetatatan kembali PSBB masyarakat, pelaku usaha maupun pegawai instansi pemerintah dan swasta harus kembali didisiplinkan dalam melaksanakan protokol kesehatan dan pembatasan aktivitas. Perhelatan politik seperti pilkada langsung juga perlu sangat ketat diawasi pelaksanaannya agar tidak menimbulkan klaster baru. Semua pihak harus saling bekerjasama untuk berdisiplin dan pemerintah menjadi komandan dalam kerjasama ini