Vaksin Covid19: Utamakan Keselamatan Rakyat, Harus Ada Transparansi Ketuntasan Uji Klinis

Jakarta — Pemerintah akhirnya menyampaikan penundaan target dimulainya vaksinasi Covid-19 dari rencana semula. Awalnya pemerintah menargetkan vaksinasi Covid-19 akan dimulai bulan November secara terbatas dengan target awal adalah para petugas medis yang menjadi garda terdepan penanganan Covid-19, juga kepada prajurit TNI, Polri, Satpol PP dan aparat penegak hukum yang berada di lapangan dalam pengendalian covid serta pasien dengan komorbid.

Bahkan pemerintah sudah menargetkan penyediaan 376 juta vaksin sampai dengan akhir 2021 dengan target vaksinasi untuk 160 juta orang.

Anggota Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati menyambut baik penundaan pelaksanaan vaksinasi Covid-19 ini karena masih menjadi kontroversi di masyarakat. Bahkan ia juga meminta pemerintah untuk tidak tergesa-gesa dalam pelaksaan vaksinasi Covid-19 serta betul-betul melalui pertimbangan yang matang dari berbagai aspek.

“Harus dipastikan bahwa vaksin yang akan dipastikan sudah layak sesuai ketentuan ilmiah,” kata Mufida di Jakarta, Rabu (28/10/2020).

Mufida menerangkan, untuk vaksin yang sudah terjalin kerjasama dengan PT. Biofarma dan Sinovac, sampai saat ini masih dalam tahap uji klinis tahap 3 yang bertujuan untuk melihat efektivitas dalam mencegah Covid-19. Itupun pelaksanaannya terlambat dibanding dengan beberapa negara lain.

Sementara analisa interim dari uji klinis tahap 3 ini paling cepat baru bisa selesai di Desember dan analisis totalnya paling cepat baru bisa selesai di bulan Maret 2021.

“Artinya Badan POM sebagai lembaga yang memiliki otoritas untuk memberikan izin penggunaan vaksin baru bisa mengeluarkan izin tersebut setelah semua proses analisis selesai dan vaksin dinyatakan aman dan efektif,” ungkap Mufida.

Bisa saja Badan POM mengeluarkan Emergeny Used Authorization (EUA) agar vaksin bisa segera digunakan untuk kepentingan mendesak. Namun untuk mengeluarkan UEA ini mensyaratkan adanya follow up dua bulan pasca injeksi terhadap objek yang telah diinjeksi dua kali. Dan pesyaratan ini yang belum dipenuhi dari uji klinis tahap 3. Sehingga penundaan pelaksanaan vaksinasi ini merupakan langkah yang tepat.

Namun lebih dari itu, Mufida meminta agar pelaksanaan vaksinasi Covid-19 tidak perlu tergesa-gesa jika keamanan dan efektivitas vaksin tersebut belum teruji. Demikian pula dengan vaksin yang akan diimpor langsung dalam bentuk jadi, mengingat pemerintah juga telah melakukan penjajakan pembelian dari beberapa produsen vaksin Covid-19. Meskipun vaksin tersebut dinyatakan aman, namun perlu ada pembuktian efektivitasnya.

Anggota DPR dari Fraksi PKS ini justru meminta agar untuk saat ini Pemerintah tetap fokus pada upaya pengendalian penularan melalui 3T yaitu meningkatkan jumlah tes kepada suspect Covid-19, melakukan tracing secara intensif dari hasil temuan kondirmasi positif serta treatment terhadap pasien.

“Pemerintah juga harus terus menggencarkan kampanye 3M dan melakukan pengawasan pelaksanaan 3M tersebut di berbagai sektor. Apalagi penambahan kasus baru harian masih cukup tinggi dengan rata-rata diatas 3000 kasus per hari,” papar Anggota DPR RI dari Dapil Jakarta II ini.

Mufida menilai sosialisasi dan kampanye massif tentang vaksinasi Covid-19 yang dilakukan pemerintah, jika tidak hati-hati bisa menimbulkan kesalahan pemahaman. Masyarakat bisa menganggap bahwa pandemi Covid-19 sebentar lagi selesai karena sudah ada vaksin dan tidak menyebabkan masyarakat menjadi longgar terhadap protokol kesehatan.

Padahal vaksin bukan solusi jangka pendek untuk hadapi pandemi ini, melainkan solusi jangka panjang. Dalam jangka pendek tetap harus dengan disiplin 3M oleh masyarakat dan disiplin surveilance dengan 3T oleh pemerintah. Apalagi dengan perhitungan berbasis sains medis, vaksin paling cepat baru bisa tersedia pada Maret 2021.

Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) mengkritisi sikap pemerintah yang mengeluarkan opini mengenai vaksin virus corona yang membuat terjadinya kesalahan pemahama